Kewalian dan Gus Durian
A
A
A
Inikah yang disebut impian menjadi kenyataan? Di masa hidupnya, Gus Dur sudah disebut wali oleh sementara kalangan kaum nahdliyin.
Tapi yang disebut “sementara” ini jumlahnya berjuta-juta orang dan yang berjuta-juta ini pengaruh sosialpolitiknya tidak kecil. Kita tahu media nasional sangat terpengaruh. Ini boleh jadi karena mereka percaya Gus Dur memang wali sehingga media menyiarkannya bukan sekadar di kalangan kaum nahdliyin, melainkan di seluruh Indonesia. Media nasional “menyanyikan” lagu kewalian Gus Dur.
Kemudian media daerah mengikutinya. Ada orang-orang media yang mungkin skeptis, bahkan tak percaya Gus Dur wali, tapi mereka menyiarkannya juga karena fenomena kewalian itu jelas “laku” sekali dijual. Ada momen-momen penting pada tahun 1990-an dulu ketika ibaratnya Gus Dur terbatuk-batuk atau dehem-dehem pun menjadi berita penting dan diulas panjang lebar di media.
Dalam tiap kali muktamar NU Gus Dur menjadi pusat perhatian seluruh media. Kita ingat beliau disebut news maker. Berita apa pun, kalau Gus Dur sumbernya, dianggap penting. Dalam tiap muktamar itu, ketika Gus Dur berdiri dari kursinya dan sekadar mau ke belakang pun para insan pers yang duduk berkelompok di suatu tempat dengan sigap segera berdiri untuk dahulu-mendahului agar bisa mengajukan suatu pertanyaan penting.
Padahal bisa jadi saat itu Gus Dur betulbetul hanya ke belakang dan tak mungkin memberikan suatu wawancara. Gus Dur seorang wali resminya wali Allah diterima luas pula di kalangan media yang bukan komunitas kaum nahdliyin. Apalagi kalau di dalam media itu ada warga kaum nahdliyin yang menjadi wartawan.
Otomatis dia atau mereka akan tampil paling gigih untuk tiap kali mengulas dalam berita atau esai mereka tentang kewalian Gus Dur. Meski begitu, banyak di antara kawan-kawan Gus Dur sendiri, terutama dari kalangan Muhammadiyah atau punya tetesan darah Masyumi, sangat tak percaya pada apa yang mereka anggap “tahayul” belaka atau lelucon tak menarik itu. Almarhum Utomo Dananjaya salah satucontohnya.
Almarhum Muslim Abdurahman juga menganggapnya lelucon belaka. Lalu Gus Dur pun wafat pada tanggal 30 Desember tahun 2010. Jutaan umat NU, ditambah Muhammadiyah, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan komunitaskomunitas lain, tumplekblek di Jombang, mengantarkannya ke tempat pemakaman dan menunjukkan dengan tulus penghormatan terakhir mereka kepada beliau.
Pada saat itulah secara mengejutkan kedudukan beliau sebagai wali ke-10 dikukuhkan. Tentu saja tak seorang pun menjadi panitia pengukuhan itu. Kita hanya tahu mobil demi mobil, beribu-ribu banyaknya, ditempeli tulisan Gus Dur wali ke-10. Kita tidak tahu psikologi kaum nahdliyin.
Kita belum tahu bagaimana sebetulnya penghormatan kaum nahdliyin kepada Gus Dur. Dan pada hari pemakaman beliau itulah kita tahu betapa tulus sikap hormat mereka kepada beliau. Saya sendiri, di tengah kerumunan itu, merasa ada kejutan besar yang mengguncang jiwa; menjadi sebuah kesimpulan bahwa Gus Dur yang sudah dimahkotai kewalian di masa hidupnya kini mahkotanya itu dikukuhkan dengan resepsi besar-besaran di saat kematiannya.
Dengan merinding saya menafsirkan, tampaknya kewaliannya bukan lelucon, melainkan anugerah “duniaakhirat” yang tak perlu dipertanyakan, tak perlu diragukan. Di masa duka itu, tak mungkin ada rekayasa. Siapa orangnya yang siap dengan sebuah rekayasa untuk sebuah kematian yang datang mendadak. Siapa yang, diantaraorang-orang yang hidup dalam dunia rohani itu, siap membuat kebohongan dalam masa duka mendalam seperti itu?
Tak ada komando mewalikan Gus Dur. Jika hal itu ada, tampaknya dari langit datangnya. Pada hari itu, kewalian duniawinya dikukuhkan menjadi kewalian dunia-akhirat. Kita dibuat mengerti, beliau bukan sekadar pahlawan nasional. Kepahlawanan bukan apa-apa dibandingkan dengan kewalian. Ada wartawan sebuah televisi yang begitu mentah pendapatnya ketika siarannya membahas isu politik bahwa Gus Dur diusulkan menjadi pahlawan nasional.
Dia membandingkan Gus Dur dengan Pak Harto. Dia bilang Pak Harto belum dijadikan pahlawan, padahal berjasa, sedangkan Gus Dur, yang dilengserkan, malah dicalonkan sebagai pahlawan. Dia sama sekali tak tahu persoalan. Gus Dur dicalonkan sebagai pahlawan nasional atas kapasitas pribadinya dan tidak ada hubungan dengan kepresidenan. Sebagai pribadi Gus Dur sangat besar.
Orang bilang Gus Dur itu larger than life. Jadi, kalau toh beliau dijadikan pahlawan nasional, apa gunanya kepahlawanan dibandingkan, sekali lagi, kewalian tadi? Dawam Rahardjo, yang hampir tak pernah akur dengan Gus Dur, pada akhirnya, entah mengapa, percaya betul Gus Dur itu wali.
Mungkin beliau melihat dengan hati, sedangkan dua teman yang disebut di atas menganggap kewalian Gus Dur sebagai lelucon, mungkin, lebih karena mereka melihatnya dengan pikiran rasional. Tapi pengakuan atau penolakan sementara kalangan kelihatannya tak begitu penting dibandingkan gegap gempitanya penerimaan komunitas kaum nahdliyin yang begitu besar.
Selebihnya, saya kira bangsa kita memang membutuhkan sekali sesuatu yang dapat dijadikan sejenis “pujaan” hati seperti kewalian tadi. Fenomena ziarah kubur ke makam wali-wali membuktikan itu. “Menggilanya” kunjungan ke makan Gus Dur, yang hingga kini tetap membanjir, jelas membuktikan bahwa bangsa kita ini haus akan rohani.
Ini untuk menenteramkan hati yang dirusak oleh ekonomi kapitalistik yang serakah dan kejam, dan oleh politik, dengan segenap watak korup di kalangan pejabat partai maupun birokrasi yang membuat hancur kepercayaan kita atas apa yang mulia, agung, dan luhur di dalam hidup ini. Ketika masih hidup, Gus Dur mengobati jiwa masyarakat dengan berbagai sikap dan pandangan politik yang mengayomi.
Sesudah wafat, beliau masih juga tampil dengan kewaliannya dan menyiram kehausan maupun kekeringan rohani bangsa kita. Saya kira ini penting menjadi perhatian kaum muda yang tergabung di dalam “Gus Durian”. Mereka pengagum dan pengikut Gus Dur yang setia, bukan dengan kesetiaan buta, bukan dengan sikap taklid, tapi dengan rasio yang sehat wal-afiat. Tiap saat mereka berkumpul dan mengingat kembali kemuliaan Gus Dur.
Di Wisma Makara, Depok, belum lama ini mereka menyelenggarakan simposium. Apa yang penting di sana? Dalam forum kebudayaan, saya usulkan agar Gus Dur tidak dijadikan mitos. Dipuji baik sekali. Tapi dipuja apalagi dipujapuja buruknya bukan main. Jadi jangan lakukan itu.
Sebaliknya, gagasan bahwa Islam merupakan rahmat bagi semesta alam hendaknya dirumuskan sebagai suatu teori dan pemikiran kebudayaan, yang akan mengukuhkan gagasan itu pada tingkat tindakan-tindakan, bukan berhenti sebagai hafalan teologis yang bertakhta di alam kesadaran yang tak tersentuh. Kaum muda Gus Durian banyak yang hebat dan memiliki kapasitas akademik yang tinggi. Niscaya mereka bisa mewujudkan proses teoretisasi tadi.
Mungkin hal itu tidak mudah, tapi itu jawaban yang kita butuhkan sekaligus untuk menghindarkan diri dari pemitosan kewalian Gus Dur. Kita tahu, menjadi wali mungkin beliau senang. Tapi menjadi dongeng dalam mitologi bagi dirinya sendiri mungkin tidak.?
Mohamad Sobary
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: [email protected]
Tapi yang disebut “sementara” ini jumlahnya berjuta-juta orang dan yang berjuta-juta ini pengaruh sosialpolitiknya tidak kecil. Kita tahu media nasional sangat terpengaruh. Ini boleh jadi karena mereka percaya Gus Dur memang wali sehingga media menyiarkannya bukan sekadar di kalangan kaum nahdliyin, melainkan di seluruh Indonesia. Media nasional “menyanyikan” lagu kewalian Gus Dur.
Kemudian media daerah mengikutinya. Ada orang-orang media yang mungkin skeptis, bahkan tak percaya Gus Dur wali, tapi mereka menyiarkannya juga karena fenomena kewalian itu jelas “laku” sekali dijual. Ada momen-momen penting pada tahun 1990-an dulu ketika ibaratnya Gus Dur terbatuk-batuk atau dehem-dehem pun menjadi berita penting dan diulas panjang lebar di media.
Dalam tiap kali muktamar NU Gus Dur menjadi pusat perhatian seluruh media. Kita ingat beliau disebut news maker. Berita apa pun, kalau Gus Dur sumbernya, dianggap penting. Dalam tiap muktamar itu, ketika Gus Dur berdiri dari kursinya dan sekadar mau ke belakang pun para insan pers yang duduk berkelompok di suatu tempat dengan sigap segera berdiri untuk dahulu-mendahului agar bisa mengajukan suatu pertanyaan penting.
Padahal bisa jadi saat itu Gus Dur betulbetul hanya ke belakang dan tak mungkin memberikan suatu wawancara. Gus Dur seorang wali resminya wali Allah diterima luas pula di kalangan media yang bukan komunitas kaum nahdliyin. Apalagi kalau di dalam media itu ada warga kaum nahdliyin yang menjadi wartawan.
Otomatis dia atau mereka akan tampil paling gigih untuk tiap kali mengulas dalam berita atau esai mereka tentang kewalian Gus Dur. Meski begitu, banyak di antara kawan-kawan Gus Dur sendiri, terutama dari kalangan Muhammadiyah atau punya tetesan darah Masyumi, sangat tak percaya pada apa yang mereka anggap “tahayul” belaka atau lelucon tak menarik itu. Almarhum Utomo Dananjaya salah satucontohnya.
Almarhum Muslim Abdurahman juga menganggapnya lelucon belaka. Lalu Gus Dur pun wafat pada tanggal 30 Desember tahun 2010. Jutaan umat NU, ditambah Muhammadiyah, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan komunitaskomunitas lain, tumplekblek di Jombang, mengantarkannya ke tempat pemakaman dan menunjukkan dengan tulus penghormatan terakhir mereka kepada beliau.
Pada saat itulah secara mengejutkan kedudukan beliau sebagai wali ke-10 dikukuhkan. Tentu saja tak seorang pun menjadi panitia pengukuhan itu. Kita hanya tahu mobil demi mobil, beribu-ribu banyaknya, ditempeli tulisan Gus Dur wali ke-10. Kita tidak tahu psikologi kaum nahdliyin.
Kita belum tahu bagaimana sebetulnya penghormatan kaum nahdliyin kepada Gus Dur. Dan pada hari pemakaman beliau itulah kita tahu betapa tulus sikap hormat mereka kepada beliau. Saya sendiri, di tengah kerumunan itu, merasa ada kejutan besar yang mengguncang jiwa; menjadi sebuah kesimpulan bahwa Gus Dur yang sudah dimahkotai kewalian di masa hidupnya kini mahkotanya itu dikukuhkan dengan resepsi besar-besaran di saat kematiannya.
Dengan merinding saya menafsirkan, tampaknya kewaliannya bukan lelucon, melainkan anugerah “duniaakhirat” yang tak perlu dipertanyakan, tak perlu diragukan. Di masa duka itu, tak mungkin ada rekayasa. Siapa orangnya yang siap dengan sebuah rekayasa untuk sebuah kematian yang datang mendadak. Siapa yang, diantaraorang-orang yang hidup dalam dunia rohani itu, siap membuat kebohongan dalam masa duka mendalam seperti itu?
Tak ada komando mewalikan Gus Dur. Jika hal itu ada, tampaknya dari langit datangnya. Pada hari itu, kewalian duniawinya dikukuhkan menjadi kewalian dunia-akhirat. Kita dibuat mengerti, beliau bukan sekadar pahlawan nasional. Kepahlawanan bukan apa-apa dibandingkan dengan kewalian. Ada wartawan sebuah televisi yang begitu mentah pendapatnya ketika siarannya membahas isu politik bahwa Gus Dur diusulkan menjadi pahlawan nasional.
Dia membandingkan Gus Dur dengan Pak Harto. Dia bilang Pak Harto belum dijadikan pahlawan, padahal berjasa, sedangkan Gus Dur, yang dilengserkan, malah dicalonkan sebagai pahlawan. Dia sama sekali tak tahu persoalan. Gus Dur dicalonkan sebagai pahlawan nasional atas kapasitas pribadinya dan tidak ada hubungan dengan kepresidenan. Sebagai pribadi Gus Dur sangat besar.
Orang bilang Gus Dur itu larger than life. Jadi, kalau toh beliau dijadikan pahlawan nasional, apa gunanya kepahlawanan dibandingkan, sekali lagi, kewalian tadi? Dawam Rahardjo, yang hampir tak pernah akur dengan Gus Dur, pada akhirnya, entah mengapa, percaya betul Gus Dur itu wali.
Mungkin beliau melihat dengan hati, sedangkan dua teman yang disebut di atas menganggap kewalian Gus Dur sebagai lelucon, mungkin, lebih karena mereka melihatnya dengan pikiran rasional. Tapi pengakuan atau penolakan sementara kalangan kelihatannya tak begitu penting dibandingkan gegap gempitanya penerimaan komunitas kaum nahdliyin yang begitu besar.
Selebihnya, saya kira bangsa kita memang membutuhkan sekali sesuatu yang dapat dijadikan sejenis “pujaan” hati seperti kewalian tadi. Fenomena ziarah kubur ke makam wali-wali membuktikan itu. “Menggilanya” kunjungan ke makan Gus Dur, yang hingga kini tetap membanjir, jelas membuktikan bahwa bangsa kita ini haus akan rohani.
Ini untuk menenteramkan hati yang dirusak oleh ekonomi kapitalistik yang serakah dan kejam, dan oleh politik, dengan segenap watak korup di kalangan pejabat partai maupun birokrasi yang membuat hancur kepercayaan kita atas apa yang mulia, agung, dan luhur di dalam hidup ini. Ketika masih hidup, Gus Dur mengobati jiwa masyarakat dengan berbagai sikap dan pandangan politik yang mengayomi.
Sesudah wafat, beliau masih juga tampil dengan kewaliannya dan menyiram kehausan maupun kekeringan rohani bangsa kita. Saya kira ini penting menjadi perhatian kaum muda yang tergabung di dalam “Gus Durian”. Mereka pengagum dan pengikut Gus Dur yang setia, bukan dengan kesetiaan buta, bukan dengan sikap taklid, tapi dengan rasio yang sehat wal-afiat. Tiap saat mereka berkumpul dan mengingat kembali kemuliaan Gus Dur.
Di Wisma Makara, Depok, belum lama ini mereka menyelenggarakan simposium. Apa yang penting di sana? Dalam forum kebudayaan, saya usulkan agar Gus Dur tidak dijadikan mitos. Dipuji baik sekali. Tapi dipuja apalagi dipujapuja buruknya bukan main. Jadi jangan lakukan itu.
Sebaliknya, gagasan bahwa Islam merupakan rahmat bagi semesta alam hendaknya dirumuskan sebagai suatu teori dan pemikiran kebudayaan, yang akan mengukuhkan gagasan itu pada tingkat tindakan-tindakan, bukan berhenti sebagai hafalan teologis yang bertakhta di alam kesadaran yang tak tersentuh. Kaum muda Gus Durian banyak yang hebat dan memiliki kapasitas akademik yang tinggi. Niscaya mereka bisa mewujudkan proses teoretisasi tadi.
Mungkin hal itu tidak mudah, tapi itu jawaban yang kita butuhkan sekaligus untuk menghindarkan diri dari pemitosan kewalian Gus Dur. Kita tahu, menjadi wali mungkin beliau senang. Tapi menjadi dongeng dalam mitologi bagi dirinya sendiri mungkin tidak.?
Mohamad Sobary
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: [email protected]
(ars)