Format Baru Relasi Islam dan Pancasila
A
A
A
Tanggal 22-29 November 2014, Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP) FISIP UMJ melakukan survei nasional mengenai relasi Islam dan Pancasila. Survei melibatkan 100 responden di tingkat provinsi, yang terdiri atas pengurus Muhammadiyah 40%, NU 40%, FPI 1%, HTI 1%, MUI 17%, dan GPII 1%.
Untuk memperkuat hasil survei, dilakukan juga wawancara mendalam (in depth interview) dengan melibatkan 10 tokoh nasional yang berasal dari NU, Muhammadiyah, Persis, DDII, HTI, FPI, MUI, dan IJABI. Ditilik dari tingkat pendidikan responden, 50% lulusan S-1, 28% lulusan S-2, dan 22% lulusan S-3.
Survei ini bertujuan untuk mengetahui opini elite Islam tentang relasi Islam dan Pancasila; memetakan pandangan dan pemikiran elite Islam tentang Pancasila dalam konteks beragama; memberikan sumbangsih pemikiran dalam konteks penguatan pemahaman dan pengamalan Pancasila, serta mendorong partisipasi aktif para tokoh Islam dalam penguatan pemahaman dan pengamalan nilai-nilai Pancasila. Survei juga bertujuan untuk mengonfirmasi kevalidan penelitian yang hampir serupa, yang pernah dilakukan oleh lembaga lain.
Hasil Survei
Hasil survei ini cukup menggembirakan dalam konteks penguatan Pancasila sebagai ideologi negara. Diketahui 100% menyatakan setuju Pancasila menjadi dasar negara. Temuan ini menunjukkan perkembangan yang menarik. Di awal Reformasi banyak muncul gerakan yang ingin menerapkan syariah Islam atau mengusulkan kembali Piagam Jakarta, ternyata gerakantersebuttetapminoritas dan tak memiliki basis massa yang kuat.
Kokohnya Pancasila sebagai ideologi negara diperkuat dengan pandangan responden yang menyatakan bahwa nilainilai Islam tidak bertentangan dengan Pancasila sebanyak 95%. Hanya 5% yang menyebut Islam dan Pancasila saling bertentangan. Temuan ini menguatkan fakta Pancasila yang memang digali dari nilai-nilai sosial, budaya, dan agama masyarakat Indonesia.
Sebanyak 66% responden menyebut setuju Islam sebagai sumber nilai kehidupan berbangsa dan bernegara, dan hanya 33% yang menolak, dan 1% tanpa komentar. Meski dukungan terhadap Pancasila sangat tinggi, dalam survei ini didapati ketakkonsistenan, 33% responden rindu hadirnya kembali Piagam Jakarta. Sementara yang menolak 67%.
Pandangan ini menunjukkan bahwa di kalangan responden masih menyimpan imajinasi masa lalu tentang Piagam Jakarta, meski responden sadar bahwa keinginan tersebut tidak mudah direalisasi. Sebagian besar elite Islam setuju bahwa ormas Islam harus terlibat sosialisasi Pancasila, yaitu sebanyak 95%. Sementara yang menolak 4%, dan abstain 1%. Responden juga 90% setuju jika Pancasila menjadi bagian dari materi pengaderan ormasormas Islam. Hanya 10% yang tidak setuju.
Terkait Islam sebagai landasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, 68% responden juga menyatakan setuju. Sementara 32% menolak. Sepintas sikap responden ini ambigu. Satu sisi menghendaki Pancasila sebagai dasar negara, tetapi sisi lain juga menghendaki peran besar Islam dalam kehidupan bernegara.
Sikap responden ini sebaiknya dimaknai bahwa ada harapan besar agar Islam memiliki peran normatif dan menjadi sumber nilai. Konteks demokrasi tentu wajar ketika nilai-nilai mayoritas ingin mewarnai secara dominan pula dalam konteks kehidupan bernegara. Meski sepakat Pancasila sebagai ideologi negara, mereka tidak ingin Islam marjinal secarapolitik.
Mereka ingin nilai-nilai Islam dominan dalam kehidupan bernegara. Keinginan tersebut sangat mungkin diilhami oleh kenyataan bahwa Islam selama ini telah menjadi sumber nilai di Indonesia, bahkan jauh sebelum merdeka. Tergambar dari kerajaankerajaan Islam yang pernah hadir di Indonesia.
Terkait apakah negara wajib menerapkan syariat Islam untuk semua Muslim, 51% responden menyatakan setuju, sementara 47% tak setuju dan abstain 2%. Pertanyaan ini diajukan terkait dengan maraknya ormas Islam baru di level lokal yang menuntut penegakan syariah Islam. Perlunya negara menerapkan syariat Islam diperkuat 50% responden yang menyatakan setuju penerapan perda-perda syariah, yang tidak setuju 44%, dan abstain 6%.
Format Baru Relasi
Memperhatikan hasil survei ini, bisa disimpulkan adanya optimisme besar terhadap Pancasila sebagai dasar negara. Dalam konteks ormas Islam, bisa dikatakan bahwa posisi Pancasila saat ini jauh lebih kuat dibandingkan dulu. Sangat mungkin jika survei dilakukan pada paruh 1940-an sampai paruh 1980-an hasilnya akan berbeda, karena saat itu polarisasi ideologinya begitu kuat.
Hal ini terlihat saat sidangsidang pembahasan dasar negara, baik di BPUPKI, PPKI, Panitia Sembilan, dan Konstituante maupun saat muncul kebijakan negara yang berwajah ideologis, seperti soal RUU Perkawinan, Aliran Kepercayaan, dan asas tunggal Pancasila, yang disikapi secara ekstrem oleh kekuatan Islam saat itu.
Dalam Pancasila terdapat nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan. Jika diterminologikan, nilai-nilai itu menjadi al-insanu, al-jamal-insanu, aljamatu, al-musyawarah, dan al-adl. Adapun ketuhanan bisa dikaitkan dengan banyak nama seperti Ar-Rahman, Al-Malik, Al- Quddus. Sementara terkait dengan Esa, dalam Islam dikenal terminologi Al-Wahid atau Al-Ahad.
Semua nilainilai itu sangat Islami. Dalam berbagai kesempatan, Soekarno menyampaikan bahwa nilainilai agama harus dilibatkan sepenuhnya, tidak setengah ataupun sebagian. Karena itu, agama menjadi pokok. Kehadirannya tak perlu dipersoalkan lagi. Jika berbicara mengenai penguatan Pancasila, nilai-nilai agama itu menjadi pokok satu kekuatan yang terlibat penuh.
Merujuk pandangan Soekarno, jelas bahwa agama harus diberi ruang untuk berkontribusi tanpa harus menjadi dasar negara. Nilai-nilainya harus dijadikan rujukan kehidupan berbangsa. Hal terpenting adalah diterimanya pesan moral Islam, yang mampu memberikan rambu-rambu tentang apa yang harus dilakukan dan tak dilakukan oleh negara demi terwujudnya kebaikan masyarakat (maslahati al-ammah).
Islam tak seharusnya dijadikan sebagai pesaing Pancasila. Umat Islam harus yakin bahwa Pancasila merupakan penjabaran dari nilai-nilai Islam. Membenturkan Pancasila dan Islam itu tindakan ekstrem dalam memahami Islam dan Pancasila. Mempertentangkan Islam dengan Pancasila sama halnya merendahkan marwah Islam karena menyejajarkan Islam dengan Pancasila.
Agama merupakan “produk langit”, sementara Pancasila adalah “produk bumi”. Kehadiran Islam tidak selayaknya dipertentangkan dengan Pancasila. Sebaliknya, Islam harus dijadikan rujukan sumber-sumber nilai untuk mengatur tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Dalam konteks ini, perlu ada tawaran format baru terkait relasi Islam dan Pancasila.
Format ini harus mengusung semangat rekonsiliasi, dengan mendudukan perannya masing-masing, tidak sebagaimana perdebatan yang terjadi menjelang kemerdekaan dan saat sidang-sidang di Konstituante. Saat itu ada dua kubu yang secara ekstrem terlibat perdebatan, yaitu kaum nasionalis sekuler yang menginginkan Pancasila sebagai dasar negara dan kaum nasionalis Islam yang menginginkan Islam sebagai dasar negara.
Perdebatan ini lahir akibat tidak adanya kesadaran bahwa Pancasila dan Islam merupakan dua entitas yang kehadirannya tak terelakkan, sehingga tak mungkin saling menegasikan. Dari hasil survei ini, terlihat bahwa masyarakat tidak banyak mendukung keberadaan negara Islam dan pendirian khilafah Islamiah di Indonesia.
Hal ini menunjukkan bahwa umat Islam sebenarnya lebih membutuhkan tawaran program politik yang lebih jelas dan konkret serta terkait dengan kebutuhan sehari-hari. Ide tentang negara Islam maupun khilafah merupakan hal yang mewah dan menarik sebagai wacana, namun sering berujung pada kebuntuan ketika menyasar hal-hal yang membutuhkan penyelesaian secara tepat.
Sementara dalam kerangka menghindari polemik Islam dan Pancasila yang tak berkesudahan, kiranya perlu memberikan kado “istimewa” kepada umat Islam. Perlakuan istimewa ini bukan dengan cara memasukkan kembali rumusan Piagam Jakarta ke dalam UUD 1945, tetapi lebih berupa sikap politik negara yang mengakomodasi kepentingan sosial-keagamaan umat Islam yang merupakan bagian dari kearifan lokal.
Namun apa yang disebut sebagai kearifan lokal, tetap harus tampil dengan memperhatikan sila-sila Pancasila. Seandainya kita menganggap kehadiran perda-perda syariah, misalnya, sebagai ekspresi kearifan lokal, maka perda-perda syariah tersebut harus disusun bukan hanya dengan pertimbangan menjalankan sila pertama, tetapi juga sila-sila lainnya.
Perda-Perda syariah tidak boleh bernuansa egois partikularis yang hanya mementingkan satu kelompok, melainkan harus berwawasan Nusantara dan berke-bhineka - tunggal-ika- an. Melalui format baru relasi Islam dan Pancasila ini, pertentangan Islam dan Pancasila diharapkan bisa diakhiri.
Baik Islam dan Pancasila bisa dijadikan sebagai inspirasi dan sumber nilai. Sudah saatnya energi bangsa ini tidak boleh lagi dicurahkan untuk hal-hal yang mubazir . Apalagi, hingga saat ini bangsa Indonesia masih dihadapkan pada persoalan-persoalan yang jauh lebih kompleks dari sekadar persoalan ideologis.
Untuk memperkuat hasil survei, dilakukan juga wawancara mendalam (in depth interview) dengan melibatkan 10 tokoh nasional yang berasal dari NU, Muhammadiyah, Persis, DDII, HTI, FPI, MUI, dan IJABI. Ditilik dari tingkat pendidikan responden, 50% lulusan S-1, 28% lulusan S-2, dan 22% lulusan S-3.
Survei ini bertujuan untuk mengetahui opini elite Islam tentang relasi Islam dan Pancasila; memetakan pandangan dan pemikiran elite Islam tentang Pancasila dalam konteks beragama; memberikan sumbangsih pemikiran dalam konteks penguatan pemahaman dan pengamalan Pancasila, serta mendorong partisipasi aktif para tokoh Islam dalam penguatan pemahaman dan pengamalan nilai-nilai Pancasila. Survei juga bertujuan untuk mengonfirmasi kevalidan penelitian yang hampir serupa, yang pernah dilakukan oleh lembaga lain.
Hasil Survei
Hasil survei ini cukup menggembirakan dalam konteks penguatan Pancasila sebagai ideologi negara. Diketahui 100% menyatakan setuju Pancasila menjadi dasar negara. Temuan ini menunjukkan perkembangan yang menarik. Di awal Reformasi banyak muncul gerakan yang ingin menerapkan syariah Islam atau mengusulkan kembali Piagam Jakarta, ternyata gerakantersebuttetapminoritas dan tak memiliki basis massa yang kuat.
Kokohnya Pancasila sebagai ideologi negara diperkuat dengan pandangan responden yang menyatakan bahwa nilainilai Islam tidak bertentangan dengan Pancasila sebanyak 95%. Hanya 5% yang menyebut Islam dan Pancasila saling bertentangan. Temuan ini menguatkan fakta Pancasila yang memang digali dari nilai-nilai sosial, budaya, dan agama masyarakat Indonesia.
Sebanyak 66% responden menyebut setuju Islam sebagai sumber nilai kehidupan berbangsa dan bernegara, dan hanya 33% yang menolak, dan 1% tanpa komentar. Meski dukungan terhadap Pancasila sangat tinggi, dalam survei ini didapati ketakkonsistenan, 33% responden rindu hadirnya kembali Piagam Jakarta. Sementara yang menolak 67%.
Pandangan ini menunjukkan bahwa di kalangan responden masih menyimpan imajinasi masa lalu tentang Piagam Jakarta, meski responden sadar bahwa keinginan tersebut tidak mudah direalisasi. Sebagian besar elite Islam setuju bahwa ormas Islam harus terlibat sosialisasi Pancasila, yaitu sebanyak 95%. Sementara yang menolak 4%, dan abstain 1%. Responden juga 90% setuju jika Pancasila menjadi bagian dari materi pengaderan ormasormas Islam. Hanya 10% yang tidak setuju.
Terkait Islam sebagai landasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, 68% responden juga menyatakan setuju. Sementara 32% menolak. Sepintas sikap responden ini ambigu. Satu sisi menghendaki Pancasila sebagai dasar negara, tetapi sisi lain juga menghendaki peran besar Islam dalam kehidupan bernegara.
Sikap responden ini sebaiknya dimaknai bahwa ada harapan besar agar Islam memiliki peran normatif dan menjadi sumber nilai. Konteks demokrasi tentu wajar ketika nilai-nilai mayoritas ingin mewarnai secara dominan pula dalam konteks kehidupan bernegara. Meski sepakat Pancasila sebagai ideologi negara, mereka tidak ingin Islam marjinal secarapolitik.
Mereka ingin nilai-nilai Islam dominan dalam kehidupan bernegara. Keinginan tersebut sangat mungkin diilhami oleh kenyataan bahwa Islam selama ini telah menjadi sumber nilai di Indonesia, bahkan jauh sebelum merdeka. Tergambar dari kerajaankerajaan Islam yang pernah hadir di Indonesia.
Terkait apakah negara wajib menerapkan syariat Islam untuk semua Muslim, 51% responden menyatakan setuju, sementara 47% tak setuju dan abstain 2%. Pertanyaan ini diajukan terkait dengan maraknya ormas Islam baru di level lokal yang menuntut penegakan syariah Islam. Perlunya negara menerapkan syariat Islam diperkuat 50% responden yang menyatakan setuju penerapan perda-perda syariah, yang tidak setuju 44%, dan abstain 6%.
Format Baru Relasi
Memperhatikan hasil survei ini, bisa disimpulkan adanya optimisme besar terhadap Pancasila sebagai dasar negara. Dalam konteks ormas Islam, bisa dikatakan bahwa posisi Pancasila saat ini jauh lebih kuat dibandingkan dulu. Sangat mungkin jika survei dilakukan pada paruh 1940-an sampai paruh 1980-an hasilnya akan berbeda, karena saat itu polarisasi ideologinya begitu kuat.
Hal ini terlihat saat sidangsidang pembahasan dasar negara, baik di BPUPKI, PPKI, Panitia Sembilan, dan Konstituante maupun saat muncul kebijakan negara yang berwajah ideologis, seperti soal RUU Perkawinan, Aliran Kepercayaan, dan asas tunggal Pancasila, yang disikapi secara ekstrem oleh kekuatan Islam saat itu.
Dalam Pancasila terdapat nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan. Jika diterminologikan, nilai-nilai itu menjadi al-insanu, al-jamal-insanu, aljamatu, al-musyawarah, dan al-adl. Adapun ketuhanan bisa dikaitkan dengan banyak nama seperti Ar-Rahman, Al-Malik, Al- Quddus. Sementara terkait dengan Esa, dalam Islam dikenal terminologi Al-Wahid atau Al-Ahad.
Semua nilainilai itu sangat Islami. Dalam berbagai kesempatan, Soekarno menyampaikan bahwa nilainilai agama harus dilibatkan sepenuhnya, tidak setengah ataupun sebagian. Karena itu, agama menjadi pokok. Kehadirannya tak perlu dipersoalkan lagi. Jika berbicara mengenai penguatan Pancasila, nilai-nilai agama itu menjadi pokok satu kekuatan yang terlibat penuh.
Merujuk pandangan Soekarno, jelas bahwa agama harus diberi ruang untuk berkontribusi tanpa harus menjadi dasar negara. Nilai-nilainya harus dijadikan rujukan kehidupan berbangsa. Hal terpenting adalah diterimanya pesan moral Islam, yang mampu memberikan rambu-rambu tentang apa yang harus dilakukan dan tak dilakukan oleh negara demi terwujudnya kebaikan masyarakat (maslahati al-ammah).
Islam tak seharusnya dijadikan sebagai pesaing Pancasila. Umat Islam harus yakin bahwa Pancasila merupakan penjabaran dari nilai-nilai Islam. Membenturkan Pancasila dan Islam itu tindakan ekstrem dalam memahami Islam dan Pancasila. Mempertentangkan Islam dengan Pancasila sama halnya merendahkan marwah Islam karena menyejajarkan Islam dengan Pancasila.
Agama merupakan “produk langit”, sementara Pancasila adalah “produk bumi”. Kehadiran Islam tidak selayaknya dipertentangkan dengan Pancasila. Sebaliknya, Islam harus dijadikan rujukan sumber-sumber nilai untuk mengatur tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Dalam konteks ini, perlu ada tawaran format baru terkait relasi Islam dan Pancasila.
Format ini harus mengusung semangat rekonsiliasi, dengan mendudukan perannya masing-masing, tidak sebagaimana perdebatan yang terjadi menjelang kemerdekaan dan saat sidang-sidang di Konstituante. Saat itu ada dua kubu yang secara ekstrem terlibat perdebatan, yaitu kaum nasionalis sekuler yang menginginkan Pancasila sebagai dasar negara dan kaum nasionalis Islam yang menginginkan Islam sebagai dasar negara.
Perdebatan ini lahir akibat tidak adanya kesadaran bahwa Pancasila dan Islam merupakan dua entitas yang kehadirannya tak terelakkan, sehingga tak mungkin saling menegasikan. Dari hasil survei ini, terlihat bahwa masyarakat tidak banyak mendukung keberadaan negara Islam dan pendirian khilafah Islamiah di Indonesia.
Hal ini menunjukkan bahwa umat Islam sebenarnya lebih membutuhkan tawaran program politik yang lebih jelas dan konkret serta terkait dengan kebutuhan sehari-hari. Ide tentang negara Islam maupun khilafah merupakan hal yang mewah dan menarik sebagai wacana, namun sering berujung pada kebuntuan ketika menyasar hal-hal yang membutuhkan penyelesaian secara tepat.
Sementara dalam kerangka menghindari polemik Islam dan Pancasila yang tak berkesudahan, kiranya perlu memberikan kado “istimewa” kepada umat Islam. Perlakuan istimewa ini bukan dengan cara memasukkan kembali rumusan Piagam Jakarta ke dalam UUD 1945, tetapi lebih berupa sikap politik negara yang mengakomodasi kepentingan sosial-keagamaan umat Islam yang merupakan bagian dari kearifan lokal.
Namun apa yang disebut sebagai kearifan lokal, tetap harus tampil dengan memperhatikan sila-sila Pancasila. Seandainya kita menganggap kehadiran perda-perda syariah, misalnya, sebagai ekspresi kearifan lokal, maka perda-perda syariah tersebut harus disusun bukan hanya dengan pertimbangan menjalankan sila pertama, tetapi juga sila-sila lainnya.
Perda-Perda syariah tidak boleh bernuansa egois partikularis yang hanya mementingkan satu kelompok, melainkan harus berwawasan Nusantara dan berke-bhineka - tunggal-ika- an. Melalui format baru relasi Islam dan Pancasila ini, pertentangan Islam dan Pancasila diharapkan bisa diakhiri.
Baik Islam dan Pancasila bisa dijadikan sebagai inspirasi dan sumber nilai. Sudah saatnya energi bangsa ini tidak boleh lagi dicurahkan untuk hal-hal yang mubazir . Apalagi, hingga saat ini bangsa Indonesia masih dihadapkan pada persoalan-persoalan yang jauh lebih kompleks dari sekadar persoalan ideologis.
(bbg)