UKM, MEA, & Selamat Tahun Baru 2015
A
A
A
Tahun Baru nanti semestinya kita dapat “kado” istimewa bernama komunitas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Namun, berhubung beberapa negara belum cukup siap, implementasinya baru akan berjalan per 1 Januari 2016.
Satu tahun ke depan bukan waktu yang panjang untuk melakukan persiapan. Namun siap tidak siap, perjanjian ini akan kita hadapi. Kita sudah teken dan harus dijalankan. Harus diingat, embrio perdagangan bebas ini dulunya ikut “dibuahi” oleh pemerintah di saat Orde Baru sedang jayajayanya pada 1992.
Itu sebabnya kita teramat percaya diri saat itu meneken ASEAN Free Trade Area (AFTA). Indonesia saat itu sedang seksiseksinya dan dilanda euforia keberhasilan membangun perekonomian. Kita siap-siap mau jadi negara industri waktu itu.
Maka AFTA yang berisi pengurangan tarif melalui implementasi skema Common Effective Preferential Tariff (CEPT) dengan enteng dan optimis diteken. Tidak ada yang salah memang dari perjanjian AFTA tersebut. Sebab, kita lagi di atas angin. Daya saing kita saat itu masih menjadi salah satu yang terbaik di ASEAN.
Ditambah lagi negara mana yang tidak tergiur dengan potensi yang ditawarkan oleh ASEAN Bersatu. Ada 600 juta populasi (market size) di ASEAN, separuhnya di Indonesia. Pertumbuhan gross domestic product (GDP) ASEAN sebesar 6,7%. Diperkirakan, GDP ASEAN 2014-2018 akan sebesar USD2,2 triliun.
Faktor-faktor inilah yang membuat pengambil kebijakan lebih optimistis saat ini. Ditambah lagi dengan pembangunan ekonomi yang terencana, kebijakan- kebijakan pemerintah lebih mudah dijalankan untuk membangun daya saing industri dan manufaktur. Namun, krisis 1998 membalikkan semua harapan. Krisis membuat daya saing negara kita mundur sekian langka ke belakang.
Sementara, tahap-tahap menuju perdagangan bebas ASEAN terus berjalan sesuai apa yang telah diteken. Pada deklarasi Bali Concord II 2003, dipatok implementasi ASEAN Economic Community (AEC) baru akan dilaksanakan pada 2020. Belakangan, pada ASEAN Summit di Cebu, Filipina, Januari 2007, disepakati perdagangan bebas dipercepat lima tahun lebih awal, yakni pada 2015 dan kemudian dimundurkan lagi setahun.
Menurut Blueprint MEA, ASEAN diproyeksikan akan: i) membentuk pasar dan basis produksi tunggal, ii) membentuk satu kawasan yang sangat berdaya saing tinggi ekonominya, iii) sebuah wilayah yang ekonominya dibangun secara adil, dan iv) membangun sebuah kawasan yang sepenuhnya terintegrasi dengan ekonomi global.
Sebanyak 10 negara nanti akan otomatis terintegrasi dalam satu napas memudahkan keluar-masuk barang, jasa, modal, investasi, sumber daya manusia antarnegara ASEAN, walau judulnya tetap dipertahankan yakni setiap negara boleh membuat aturannya sendiri-sendiri. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, dengan waktu yang sangat mepet dan datangnya pemerintahan yang baru seumur jagung ini, tidak banyak hal yang dapat dituntut.
Yang penting, sementara ini, kita sudah menangkap adanya nyawa dan roh yang kuat rezim baru untuk segera melakukan pembenahan di sana-sini, utamanya soal logistik kita yang masih sangat mahal. Semangat pemerintah ini jangan sampai padam. Musti tetap dijaga dan didukung semua komponen bangsa. Siap tidak siap, tiba waktunya nanti, kita sudah disuguhi MEA lengkap dengan tantangan dan peluangnya.
Tinggal bagaimana sambil menikmati MEA, kita segera melakukan percepatan pembangunan daya saing ekonomi kita. Perdagangan bebas adalah sebuah persaingan terbuka. Banyak hambatan dibabat (0 tarif), sekaligus muncul tantangan baru, yakni dibutuhkan kemampuan peningkatan mutu dan kualitas produk, jasa dan harga.
Tentu, mindset yang harus kita bangun adalah tidak menganggap MEA hanya sebagai sebuah ancaman asing masuk ke Indonesia. Lebih dari itu, kita harus mempersiapkan diri agar merebut akses pasar berikut 600 juta populasinya. Pada saat yang sama, kita juga harus mampu terlebih dulu memanfaatkan pasar kita yang besarnya 260 juta jiwa itu sebagai modal awal.
Satu hal lagi, bahwa tidak semua industri dapat menjadi andalan kita untuk mengisi pasar tersebut. Pemerintah dalam hal ini juga harus jeli melihat industri mana saja yang menjadi tumpuan kekuatan kita. Di belakangnya, kita harus bangun industri pendukung di dalam negeri sendiri agar lahan di negeri yang luas ini dapat menjadi basis produksi untuk pasar Asia Tenggara.
Dengan begitu, kita perlahan-lahan tidak hanya menjadi basis pasar produk-produk negeri tetangga, namun menjadi basis produk sendiri. Contoh industri yang paling siap berjaya di dalam negeri adalah industri kreatif. Pada tingkat produksi, kita punya sumber daya manusia (SDM), yakni anak-anak muda yang kreativitasnya tidak ada tandingannya di ASEAN. Ditopang oleh pasar dalam negeri saja, industri ini bakal lebih dari sekedar hidup, yakni menggeliat. Dengan catatan, industri ini mendapat dukungan dan keberpihakan dari pemerintah.
UKM
Selain industri kreatif, salah satu sektor yang mesti terus diperhatikan adalah bagaimana kita memperkuat usaha kecil dan menengah (UKM). Sektor ini semestinya tidak kalah diperbincangkan dan diperkuat. Mari kita lihat data-data berikut bahwa 96% usaha di ASEANadalahUKM. Sisanya4% merupakan usaha-usaha kakap yang kerap masuk ke majalahmajalah sekelas Forbes.
Kontribusinya bagi penciptaan lapangan kerja juga tidak bisa dipandang sebelah mata. Sebab, 85% lapangan kerja di ASEAN dari UKM. UKM juga memberikan kontribusi besar bagi perekonomian ASEAN. Sebanyak 30-53% PDB ASEAN dari UKM. Sayangnya, kontribusi UKM bagi ekspor ASEAN belum bagus-bagus amat hanya sekitar 19-31% dari total ekspor ASEAN.
Namun, kita satu suara bahwa UKM merupakan bagian integral dari pembangunan ekonomi dan pertumbuhan negara-negara ASEAN. UKM di ASEAN, selain pencipta lapangan kerja, juga mengurangi pengangguran dan kemiskinan, memberikan kontribusi kepada peningkatan PDB, pertumbuhan ekonomi, juga harus mendorong investasi.
Kita bersyukur bahwa potensi UKM Indonesia merupakan yang tertinggi di antara negara-negara ASEAN. Artinya, ada harapan bagi bangsa ini untuk membangun ekonomi dari sektor UKM. Namun, belajar dari kasus “berdarah-darahnya” UKM kita menghadapiperdaganganbebas dengan China, menghadapi MEA, UKM kita musti dipersiapkan. Kita tidak bisa membiarkan mereka bertarung sendiri menghadapi pemodal yang lebih besar dan lebih pengalaman.
Keberpihakan harus diperuntukkan kepada mereka, karena untuk itulah adanya negara. Negara tidak boleh absen. Belajar dari perdagangan bebas dengan China, sejak 1 Januari 2010 AFTA diberlakukan, dua tahun kemudian kita tidak melakukan perbaikan yang signifikan untuk mengatasi defisit perdagangan kedua negara.
Walaupun ekspor meningkat sekitar 3% dari biasanya, namun impor kita juga jauh lebih tinggi. Bahkan pada 2014 ini defisit ini akan terus berlanjut, tanpa ada kejelasan realisasi klausul China akan meningkatkan investasinya di Indonesia. Hebatnya lagi, China berhasil mengirim barangbarangnya ke Indonesia yang kebanyakan merupakan hasil industri kecil menengah (IKM).
Sedangkan kita masih bertumpu pada ekspor berbasis sumber daya alam yang akan segera menurun seiring telah diberlakukannya Undang- Undang Minerba. Demikian strategisnya peranan UKM ini, kami merekomendasikan sejumlah masalah klasik yang harus kita carikan solusi buat pelaku UKM kita. Pertama, akses permodalan yang berat. Bila pun ada, cost of fund -nya besar.
Cost of fund di negara kita ini merupakan yang terbesar di ASEAN. Kedua, masalah kelembagaan. Pelaku UKM kita rata-rata merupakan usaha informal. Biaya formalisme usaha di negara ini masih sangat membebani pelaku usaha. Itu pun pelaku usaha harus mengantongi beragam perizinan, yang berarti biaya juga. Kami pernah mengusulkanagarpelakuusahacukup memegang satu izin untuk semua jenis izin.
Dengan demikian UKM akan mudah dilembagakan dan lebih bankable, sehingga muda mendapat pinjaman dari bank. Terakhir, akses pasar dan sumberdaya manusia. Kelemahan UKM kita tak hanya soal produksi serta ketidaksediaan bahan baku yang berkelanjutan. Namun juga masih minim soal informasi pasar. Kita perlu meningkatkan promosi dan ekshibisi produk-produk UKM kita hingga ke luar negeri. Bila semua dapat kita kerjakan, insya Allah, UKM kita kelak mampu bersaing di ASEAN. Selamat Tahun Baru 2015.
Satu tahun ke depan bukan waktu yang panjang untuk melakukan persiapan. Namun siap tidak siap, perjanjian ini akan kita hadapi. Kita sudah teken dan harus dijalankan. Harus diingat, embrio perdagangan bebas ini dulunya ikut “dibuahi” oleh pemerintah di saat Orde Baru sedang jayajayanya pada 1992.
Itu sebabnya kita teramat percaya diri saat itu meneken ASEAN Free Trade Area (AFTA). Indonesia saat itu sedang seksiseksinya dan dilanda euforia keberhasilan membangun perekonomian. Kita siap-siap mau jadi negara industri waktu itu.
Maka AFTA yang berisi pengurangan tarif melalui implementasi skema Common Effective Preferential Tariff (CEPT) dengan enteng dan optimis diteken. Tidak ada yang salah memang dari perjanjian AFTA tersebut. Sebab, kita lagi di atas angin. Daya saing kita saat itu masih menjadi salah satu yang terbaik di ASEAN.
Ditambah lagi negara mana yang tidak tergiur dengan potensi yang ditawarkan oleh ASEAN Bersatu. Ada 600 juta populasi (market size) di ASEAN, separuhnya di Indonesia. Pertumbuhan gross domestic product (GDP) ASEAN sebesar 6,7%. Diperkirakan, GDP ASEAN 2014-2018 akan sebesar USD2,2 triliun.
Faktor-faktor inilah yang membuat pengambil kebijakan lebih optimistis saat ini. Ditambah lagi dengan pembangunan ekonomi yang terencana, kebijakan- kebijakan pemerintah lebih mudah dijalankan untuk membangun daya saing industri dan manufaktur. Namun, krisis 1998 membalikkan semua harapan. Krisis membuat daya saing negara kita mundur sekian langka ke belakang.
Sementara, tahap-tahap menuju perdagangan bebas ASEAN terus berjalan sesuai apa yang telah diteken. Pada deklarasi Bali Concord II 2003, dipatok implementasi ASEAN Economic Community (AEC) baru akan dilaksanakan pada 2020. Belakangan, pada ASEAN Summit di Cebu, Filipina, Januari 2007, disepakati perdagangan bebas dipercepat lima tahun lebih awal, yakni pada 2015 dan kemudian dimundurkan lagi setahun.
Menurut Blueprint MEA, ASEAN diproyeksikan akan: i) membentuk pasar dan basis produksi tunggal, ii) membentuk satu kawasan yang sangat berdaya saing tinggi ekonominya, iii) sebuah wilayah yang ekonominya dibangun secara adil, dan iv) membangun sebuah kawasan yang sepenuhnya terintegrasi dengan ekonomi global.
Sebanyak 10 negara nanti akan otomatis terintegrasi dalam satu napas memudahkan keluar-masuk barang, jasa, modal, investasi, sumber daya manusia antarnegara ASEAN, walau judulnya tetap dipertahankan yakni setiap negara boleh membuat aturannya sendiri-sendiri. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, dengan waktu yang sangat mepet dan datangnya pemerintahan yang baru seumur jagung ini, tidak banyak hal yang dapat dituntut.
Yang penting, sementara ini, kita sudah menangkap adanya nyawa dan roh yang kuat rezim baru untuk segera melakukan pembenahan di sana-sini, utamanya soal logistik kita yang masih sangat mahal. Semangat pemerintah ini jangan sampai padam. Musti tetap dijaga dan didukung semua komponen bangsa. Siap tidak siap, tiba waktunya nanti, kita sudah disuguhi MEA lengkap dengan tantangan dan peluangnya.
Tinggal bagaimana sambil menikmati MEA, kita segera melakukan percepatan pembangunan daya saing ekonomi kita. Perdagangan bebas adalah sebuah persaingan terbuka. Banyak hambatan dibabat (0 tarif), sekaligus muncul tantangan baru, yakni dibutuhkan kemampuan peningkatan mutu dan kualitas produk, jasa dan harga.
Tentu, mindset yang harus kita bangun adalah tidak menganggap MEA hanya sebagai sebuah ancaman asing masuk ke Indonesia. Lebih dari itu, kita harus mempersiapkan diri agar merebut akses pasar berikut 600 juta populasinya. Pada saat yang sama, kita juga harus mampu terlebih dulu memanfaatkan pasar kita yang besarnya 260 juta jiwa itu sebagai modal awal.
Satu hal lagi, bahwa tidak semua industri dapat menjadi andalan kita untuk mengisi pasar tersebut. Pemerintah dalam hal ini juga harus jeli melihat industri mana saja yang menjadi tumpuan kekuatan kita. Di belakangnya, kita harus bangun industri pendukung di dalam negeri sendiri agar lahan di negeri yang luas ini dapat menjadi basis produksi untuk pasar Asia Tenggara.
Dengan begitu, kita perlahan-lahan tidak hanya menjadi basis pasar produk-produk negeri tetangga, namun menjadi basis produk sendiri. Contoh industri yang paling siap berjaya di dalam negeri adalah industri kreatif. Pada tingkat produksi, kita punya sumber daya manusia (SDM), yakni anak-anak muda yang kreativitasnya tidak ada tandingannya di ASEAN. Ditopang oleh pasar dalam negeri saja, industri ini bakal lebih dari sekedar hidup, yakni menggeliat. Dengan catatan, industri ini mendapat dukungan dan keberpihakan dari pemerintah.
UKM
Selain industri kreatif, salah satu sektor yang mesti terus diperhatikan adalah bagaimana kita memperkuat usaha kecil dan menengah (UKM). Sektor ini semestinya tidak kalah diperbincangkan dan diperkuat. Mari kita lihat data-data berikut bahwa 96% usaha di ASEANadalahUKM. Sisanya4% merupakan usaha-usaha kakap yang kerap masuk ke majalahmajalah sekelas Forbes.
Kontribusinya bagi penciptaan lapangan kerja juga tidak bisa dipandang sebelah mata. Sebab, 85% lapangan kerja di ASEAN dari UKM. UKM juga memberikan kontribusi besar bagi perekonomian ASEAN. Sebanyak 30-53% PDB ASEAN dari UKM. Sayangnya, kontribusi UKM bagi ekspor ASEAN belum bagus-bagus amat hanya sekitar 19-31% dari total ekspor ASEAN.
Namun, kita satu suara bahwa UKM merupakan bagian integral dari pembangunan ekonomi dan pertumbuhan negara-negara ASEAN. UKM di ASEAN, selain pencipta lapangan kerja, juga mengurangi pengangguran dan kemiskinan, memberikan kontribusi kepada peningkatan PDB, pertumbuhan ekonomi, juga harus mendorong investasi.
Kita bersyukur bahwa potensi UKM Indonesia merupakan yang tertinggi di antara negara-negara ASEAN. Artinya, ada harapan bagi bangsa ini untuk membangun ekonomi dari sektor UKM. Namun, belajar dari kasus “berdarah-darahnya” UKM kita menghadapiperdaganganbebas dengan China, menghadapi MEA, UKM kita musti dipersiapkan. Kita tidak bisa membiarkan mereka bertarung sendiri menghadapi pemodal yang lebih besar dan lebih pengalaman.
Keberpihakan harus diperuntukkan kepada mereka, karena untuk itulah adanya negara. Negara tidak boleh absen. Belajar dari perdagangan bebas dengan China, sejak 1 Januari 2010 AFTA diberlakukan, dua tahun kemudian kita tidak melakukan perbaikan yang signifikan untuk mengatasi defisit perdagangan kedua negara.
Walaupun ekspor meningkat sekitar 3% dari biasanya, namun impor kita juga jauh lebih tinggi. Bahkan pada 2014 ini defisit ini akan terus berlanjut, tanpa ada kejelasan realisasi klausul China akan meningkatkan investasinya di Indonesia. Hebatnya lagi, China berhasil mengirim barangbarangnya ke Indonesia yang kebanyakan merupakan hasil industri kecil menengah (IKM).
Sedangkan kita masih bertumpu pada ekspor berbasis sumber daya alam yang akan segera menurun seiring telah diberlakukannya Undang- Undang Minerba. Demikian strategisnya peranan UKM ini, kami merekomendasikan sejumlah masalah klasik yang harus kita carikan solusi buat pelaku UKM kita. Pertama, akses permodalan yang berat. Bila pun ada, cost of fund -nya besar.
Cost of fund di negara kita ini merupakan yang terbesar di ASEAN. Kedua, masalah kelembagaan. Pelaku UKM kita rata-rata merupakan usaha informal. Biaya formalisme usaha di negara ini masih sangat membebani pelaku usaha. Itu pun pelaku usaha harus mengantongi beragam perizinan, yang berarti biaya juga. Kami pernah mengusulkanagarpelakuusahacukup memegang satu izin untuk semua jenis izin.
Dengan demikian UKM akan mudah dilembagakan dan lebih bankable, sehingga muda mendapat pinjaman dari bank. Terakhir, akses pasar dan sumberdaya manusia. Kelemahan UKM kita tak hanya soal produksi serta ketidaksediaan bahan baku yang berkelanjutan. Namun juga masih minim soal informasi pasar. Kita perlu meningkatkan promosi dan ekshibisi produk-produk UKM kita hingga ke luar negeri. Bila semua dapat kita kerjakan, insya Allah, UKM kita kelak mampu bersaing di ASEAN. Selamat Tahun Baru 2015.
(bbg)