Manusia Modern
A
A
A
Kabinet Jokowi berjudul “Kabinet Kerja”, semboyannya pun “Kerja, kerja, kerja!”. Bagus! Sejauh ini pun masyarakat sudah melihat kehadiran pemerintah dalam menyelesaikan berbagai masalah seperti pemulangan TKI dengan pesawat Hercules TNI AU, penenggelaman kapal-kapal ikan liar oleh TNI AL, pembangunan permukiman baru untuk pengungsi Gunung Sinabung, dan masih banyak yang lain.
Tetapi, membangun bangsa tidak cukup hanya oleh pemerintah. Rakyat harus terlibat, bahkan rakyatlah soko guru utama dari pembangunan. Tugas pemerintah adalah menciptakan suasana yang kondusif untuk rakyat bekerja optimal guna membangun negara di sektornya masing-masing. Tetapi, rakyat tidak cukup disuruh “Kerja, kerja, dan kerja!” saja. Banyak rakyat yang seumur hidupnya bekerja membanting tulang, setiap hari, sejak remaja sampai tua-renta, tetapi kehidupannya tidak beranjak dari “di bawah garis kemiskinan”.
Pada 1970-an, seorang sosiolog dari Universitas Harvard, AS, bernama Alex Inkeles, mengamati bahwa banyak negara berkembang yang tidak berkembang, alias macetcet , seperti Jalan Ciawi-Puncak pada masa liburan dan Lebaran. Inkeles kemudian meneliti lima negara berkembang dan satu negara maju (Argentina, Chili, India, Bangladesh, Nigeria, dan Israel) dan menyebarkan angket ke berbagai lapisan dari atas sampai paling bawah dan dari berbagai pekerjaan.
Dia menemukan bahwa negara-negara yang macet justru yang punya SDA (sumber daya alam) yang melimpah, tetapi SDM (sumber daya manusia) mereka tidak mempunyai “mentalitas modern” (pastinya Indonesia juga seperti itu).
Adapun mentalitas modern, menurut Inkeles ditandai oleh sembilan ciri yaitu (1) menerima ihwal yang baru dan terbuka untuk perubahan, (2) bisa menyatakan pendapat atau opini mengenai diri sendiri dan lingkungan sendiri atau hal di luar lingkungan sendiri serta dapat bersikap demokratis, (3) menghargai waktu dan lebih banyak berorientasi ke masa depan daripada masa lalu, (4) punya rencana dan pengorganisasian, (5) percaya diri, (6) punya perhitungan, (7) menghargai harkat hidup manusia lain, (8) lebih percaya pada ilmu pengetahuan dan teknologi, dan (9) menjunjung tinggi keadilan yaitu bahwa imbalan haruslah sesuai prestasi.
Sekarang marilah kita lihat bagaimana ciri-ciri mental orang Indonesia. Mochtar Lubis (budayawan Indonesia, pemenang penghargaan Ramon Magsasay) dalam pidato budayanya di Taman Ismail Marzuki pada 1977 menceritakan 10 sifat yang melekat pada manusia Indonesiayaitu(1) munafik atau hipokrit, (2) enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, (3) sikap dan perilaku yang feodal, (4) masih percaya pada takhayul, (5) artistik, (6) lemah dalam watak dan karakter, (7) malas, bekerja hanya kalau terpaksa, (8) suka menggerutu, (9) pencemburu, pendengki, dan (10) sok.
Tentu saja tidak semua manusia Indonesia seperti yang digambarkan oleh Mochtar Lubis. Karena itu, saya termasuk salah satu pengkritik beliau ketika pidato budaya itu diterbitkan sebagai buku Manusia Indonesia. Tetapi, setelah sekian puluh tahun berlalu, saya pikirpikir betul juga kata Mochtar Lubis, dan masih berlaku sampai hari ini. Tentu bukan untuk semua orang Indonesia, tetapi jelas untuk sebagian besar orang Indonesia.
Orang Indonesia masih memberlakukan “jam karet”, caleg dan calon kepala daerah minta dukungan dukun atau mandi di bawah air terjun keramat, koruptor yang ditangkap KPK malah senyumsenyum dan memakai baju koko atau berjilbab di pengadilan seakan-akan dia paling siap masuk surga, pejabat tingkat atas mewajibkan setoran dari pejabat-pejabat tingkat bawahnya, lebih percaya kepada “yang di atas” (baca: nasib) daripada perencanaan dan ilmu pengetahuan, merasa dirinya (baca: agama, etnik atau golongannya) sendiri yang benar dan seterusnya.
Hanya sifat artistik orang Indonesia yang positif, yang sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan perekonomian Indonesia. Sisanya merugikan semua untuk pembangunan bangsa. Menyadari kenyataan bahwa mentalitas orang Indonesia masih jauh dari modern, dalam rangka “revolusi mental”, Presiden Jokowi meminta sebuah tim yang dipimpin Prof Dr Paulus Wirutomo, sosiolog UI, untuk merumuskan ciri-ciri mental yang paling diperlukan orang Indonesia untuk menjadikannya modern dan mampu bersaing.
Maka, tim itu pun mengundang berbagai golongan masyarakat dari pengusaha sampai rohaniwan, dari mahasiswa sampai cendekiawan, untuk dilibatkan dalam berbagai FGD (focus group discussion) sesuai bidangnya masing-masing, dengan tujuan untuk menjaring dan menyaring nilai-nilai yang paling diperlukan, yang konkret dan operasional untuk membangun bangsa ini.
Hasilnya adalah enam nilai modern versi Indonesia yaitu (1) citizenship (sebagai warga negara sadar akan hak dan kewajibannya dan aktif berpartisipasi untuk masyarakat), (2) jujur (dapat dipercaya), (3) mandiri (dapat menyelesaikan persoalan sendiri, tidak hanya bergantung kepada pemerintah atau pihak lain), (4) kreatif (mampu berpikir alternatif, mampu menemukan terobosan, berpikiran fleksibel), (5) gotong-royong, dan (6) saling menghargai (yang kuat menghargai yang lemah, yang mayoritas menghargai yang minoritas, yang laki-laki menghargai yang perempuan, yang generasi senior menghargai yang muda dan seterusnya, dan tentu saja sebaliknya).
Secara teoretis, di atas kertas, enam nilai modern untuk bangsa Indonesia sudah pas dengan kebutuhan Indonesia sekarang. Sudah sesuai dengan ciri-ciri manusia modern versi Alex Inkeles dan sangat kompatibel (saling melengkapi) dengan Pancasila. Masalahnya, bagaimana mengoperasionalkan nilai-nilai itu sampai ke tingkat lapangan?
Alex Inkeles mengusulkan proses pendidikan, tetapi pendidikan terlalu lama untuk bangsa ini, sementara kebutuhan di Indonesia sudah sangat mendesak. Perintah Presiden untuk menalangi dana ganti rugi kepada korban Lapindo belum apa-apa sudah dibom dengan formalitas (sumber dana dari mana dan sebagainya), apalagi di tingkat lapangan, pasti banyak permainan dari ketua RT/RW, lurah, camat, bahkan mungkin sampai bupati sehingga dana jatuh ke tangan yang tidak berhak. Alamaaak.....
Tetapi, membangun bangsa tidak cukup hanya oleh pemerintah. Rakyat harus terlibat, bahkan rakyatlah soko guru utama dari pembangunan. Tugas pemerintah adalah menciptakan suasana yang kondusif untuk rakyat bekerja optimal guna membangun negara di sektornya masing-masing. Tetapi, rakyat tidak cukup disuruh “Kerja, kerja, dan kerja!” saja. Banyak rakyat yang seumur hidupnya bekerja membanting tulang, setiap hari, sejak remaja sampai tua-renta, tetapi kehidupannya tidak beranjak dari “di bawah garis kemiskinan”.
Pada 1970-an, seorang sosiolog dari Universitas Harvard, AS, bernama Alex Inkeles, mengamati bahwa banyak negara berkembang yang tidak berkembang, alias macetcet , seperti Jalan Ciawi-Puncak pada masa liburan dan Lebaran. Inkeles kemudian meneliti lima negara berkembang dan satu negara maju (Argentina, Chili, India, Bangladesh, Nigeria, dan Israel) dan menyebarkan angket ke berbagai lapisan dari atas sampai paling bawah dan dari berbagai pekerjaan.
Dia menemukan bahwa negara-negara yang macet justru yang punya SDA (sumber daya alam) yang melimpah, tetapi SDM (sumber daya manusia) mereka tidak mempunyai “mentalitas modern” (pastinya Indonesia juga seperti itu).
Adapun mentalitas modern, menurut Inkeles ditandai oleh sembilan ciri yaitu (1) menerima ihwal yang baru dan terbuka untuk perubahan, (2) bisa menyatakan pendapat atau opini mengenai diri sendiri dan lingkungan sendiri atau hal di luar lingkungan sendiri serta dapat bersikap demokratis, (3) menghargai waktu dan lebih banyak berorientasi ke masa depan daripada masa lalu, (4) punya rencana dan pengorganisasian, (5) percaya diri, (6) punya perhitungan, (7) menghargai harkat hidup manusia lain, (8) lebih percaya pada ilmu pengetahuan dan teknologi, dan (9) menjunjung tinggi keadilan yaitu bahwa imbalan haruslah sesuai prestasi.
Sekarang marilah kita lihat bagaimana ciri-ciri mental orang Indonesia. Mochtar Lubis (budayawan Indonesia, pemenang penghargaan Ramon Magsasay) dalam pidato budayanya di Taman Ismail Marzuki pada 1977 menceritakan 10 sifat yang melekat pada manusia Indonesiayaitu(1) munafik atau hipokrit, (2) enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, (3) sikap dan perilaku yang feodal, (4) masih percaya pada takhayul, (5) artistik, (6) lemah dalam watak dan karakter, (7) malas, bekerja hanya kalau terpaksa, (8) suka menggerutu, (9) pencemburu, pendengki, dan (10) sok.
Tentu saja tidak semua manusia Indonesia seperti yang digambarkan oleh Mochtar Lubis. Karena itu, saya termasuk salah satu pengkritik beliau ketika pidato budaya itu diterbitkan sebagai buku Manusia Indonesia. Tetapi, setelah sekian puluh tahun berlalu, saya pikirpikir betul juga kata Mochtar Lubis, dan masih berlaku sampai hari ini. Tentu bukan untuk semua orang Indonesia, tetapi jelas untuk sebagian besar orang Indonesia.
Orang Indonesia masih memberlakukan “jam karet”, caleg dan calon kepala daerah minta dukungan dukun atau mandi di bawah air terjun keramat, koruptor yang ditangkap KPK malah senyumsenyum dan memakai baju koko atau berjilbab di pengadilan seakan-akan dia paling siap masuk surga, pejabat tingkat atas mewajibkan setoran dari pejabat-pejabat tingkat bawahnya, lebih percaya kepada “yang di atas” (baca: nasib) daripada perencanaan dan ilmu pengetahuan, merasa dirinya (baca: agama, etnik atau golongannya) sendiri yang benar dan seterusnya.
Hanya sifat artistik orang Indonesia yang positif, yang sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan perekonomian Indonesia. Sisanya merugikan semua untuk pembangunan bangsa. Menyadari kenyataan bahwa mentalitas orang Indonesia masih jauh dari modern, dalam rangka “revolusi mental”, Presiden Jokowi meminta sebuah tim yang dipimpin Prof Dr Paulus Wirutomo, sosiolog UI, untuk merumuskan ciri-ciri mental yang paling diperlukan orang Indonesia untuk menjadikannya modern dan mampu bersaing.
Maka, tim itu pun mengundang berbagai golongan masyarakat dari pengusaha sampai rohaniwan, dari mahasiswa sampai cendekiawan, untuk dilibatkan dalam berbagai FGD (focus group discussion) sesuai bidangnya masing-masing, dengan tujuan untuk menjaring dan menyaring nilai-nilai yang paling diperlukan, yang konkret dan operasional untuk membangun bangsa ini.
Hasilnya adalah enam nilai modern versi Indonesia yaitu (1) citizenship (sebagai warga negara sadar akan hak dan kewajibannya dan aktif berpartisipasi untuk masyarakat), (2) jujur (dapat dipercaya), (3) mandiri (dapat menyelesaikan persoalan sendiri, tidak hanya bergantung kepada pemerintah atau pihak lain), (4) kreatif (mampu berpikir alternatif, mampu menemukan terobosan, berpikiran fleksibel), (5) gotong-royong, dan (6) saling menghargai (yang kuat menghargai yang lemah, yang mayoritas menghargai yang minoritas, yang laki-laki menghargai yang perempuan, yang generasi senior menghargai yang muda dan seterusnya, dan tentu saja sebaliknya).
Secara teoretis, di atas kertas, enam nilai modern untuk bangsa Indonesia sudah pas dengan kebutuhan Indonesia sekarang. Sudah sesuai dengan ciri-ciri manusia modern versi Alex Inkeles dan sangat kompatibel (saling melengkapi) dengan Pancasila. Masalahnya, bagaimana mengoperasionalkan nilai-nilai itu sampai ke tingkat lapangan?
Alex Inkeles mengusulkan proses pendidikan, tetapi pendidikan terlalu lama untuk bangsa ini, sementara kebutuhan di Indonesia sudah sangat mendesak. Perintah Presiden untuk menalangi dana ganti rugi kepada korban Lapindo belum apa-apa sudah dibom dengan formalitas (sumber dana dari mana dan sebagainya), apalagi di tingkat lapangan, pasti banyak permainan dari ketua RT/RW, lurah, camat, bahkan mungkin sampai bupati sehingga dana jatuh ke tangan yang tidak berhak. Alamaaak.....
(bbg)