Mengasingkan Manusia Indonesia Seutuhnya

Senin, 08 Desember 2014 - 09:33 WIB
Mengasingkan Manusia...
Mengasingkan Manusia Indonesia Seutuhnya
A A A
Kini kelas penuh sesak dengan buku pelajaran bahkan ada yang mencapai 21 jenis pelajaran, berarti ada 21 jenis buku.

Guru tak punya ekspresi, miskin ide imajinasi karena dia kini tidak lagi mewakili Tuhan penyampai obor kebenaran, tetapi lebih mewakili obor percetakan sehingga sorot matanya tak lagi bersinar dan lidahnya tak lagi tajam. Waktu yang terbatas dari pesan isi buku yang harus disampaikan membuat guru memberi tugas baru pada muridnya yang bernama pekerjaan rumah (PR), palebah dieu mah asa teu adil (di sini terasa tidak adil).

Bila kita punya pekerjaan yang tidak selesai di kantor lalu dibawa ke rumah namanya pekerjaan kantor, kenapa pelajaran sekolah dibawa ke rumah disebut pekerjaan rumah? Anak-anak pulang dengan lunglai tergambar dari raut muka yang penuh kesedihan. Mereka mengalami depresi yang cukup panjang. Ciri dari mereka depresi adalah kalau diumumkan besok libur mereka akan bersorak kegirangan.

Di rumah mereka mengalami kepenatan akibat selain pekerjaan sekolah yang harus dikerjakan, nonton sampai larut malam atau bermain permainan mekanikal, keluyuran keluar hingga larut malam dan menjelang subuh mereka buruburu pulang karena takut datangnya sang fajar.

Perasaan agak mirip hantu lagi nih. Pelajaran sekarang memang hebat-hebat. Bukunya lebih hebat lagi karena perubahannya sangat cepat, bahkan saking cepatnya ada yang belum sempat dibaca oleh murid harus ditarik lagi. Entah pemikir lulusan mana yang membuatnya, pikirannya sangat imajinatif sehingga kata-kata dan gambar yang berbau pornografi pun ia tuangkan, sangat inovatif hingga ingar-bingar politik bisa masuk dalam lembaran buku.

Tapi sangat disayangkan, kepandaian siswa diukur melalui kemampuan siswa dari jawaban ketika ujian. Hasilnya memang hebat. Matematikanya mendapat nilai 9, jajannya pun Rp50.000 sehari, Biologinya 9 tapi dirawat di rumah sakit karena asam lambung akibat kelebihan kebiasaan makan jajanan yang bercuka serta bersaus pedas tanpa diteliti di laboratorium sekolahnya.

Saya teringat ketika terjadi dialog dengan warga Badui. Mang, kunaon anak amang teu disakolakeun? Meureun engke jadi bodo hirupna. Naha ari dia, anak kula mah sakolana teu di kelas, anak kula disakolakeun di kebon jeung di leuweung, malah anak kula mah geus bisa ngitung kadu nu bakal murag jeung kadu nu bakal asak. Sabalikna kula rek nanya ka dinya, anak dinya nu sakola nu luhur bisaeun teu ngitung siga anak kula.

(Mang, kenapa anaknya tidak disekolahkan? Nanti jadi bodoh. Anda ini bagaimana, anak saya sekolahnya tidak di kelas, anak saya bersekolah di kebun dan di hutan, malah anak saya sudah bisa menghitung berapa durian yang akan jatuh dari pohon dan berapa durian yang akan matang. Sebaliknya saya bertanya pada Anda, anak Anda yang sekolahnya tinggi bisakah berhitung seperti anak saya?)

*** Pendidikan kita melahirkan sebuah jenjang, karena pendidikan dasar sembilan tahun dibagi ke dalam dua jenjang, SD dan SMP. Ironisnya kelas VI SD siswa harus menghadapi ujian nasional, setelah itu mereka masuk ke sekolah yang berbeda melalui proses seleksi. Yang menjadi pertanyaan dalam diri saya, kenapa anak diwajibkan sekolah sembilan tahun tetapi harus melewati masa seleksi untuk menuju kelas VII? Apanan wajib diajar 9 taun, tapi dijieun hese (kan wajib belajar 9 tahun, tapi dibuat sulit).

Andaikata saya boleh berkata, ujian nasional hanya layak dilaksanakan untuk kelas XII (kelas III SMA), tidak mesti ada penjenjangan antara SD-SMA dan SMA semuanya satu kesatuan sistem fase yang kedua, yaitu wajib belajar 12 tahun. Yang namanya wajib maka yang harus menyediakan seluruh fasilitas adalah yang mewajibkan. Rasa tidak percaya diri terhadap sistem yang kita miliki adalah produk kegenitan kaum intelektual yang sok luar negeri.

Sistem pendidikan kita dalam sejarahnya di tengah berbagai keterbatasan fasilitas yang dimiliki telah banyak melahirkan nama besar yang cukup dikagumi. Sederet orang ternama dalam sejarah peradaban Indonesia seperti Bung Karno, Bung Tomo, Bung Hatta, Bung Syahrir, Dr Supomo, Chairil Anwar, dr Wahidin Sudiro Husodo, Ki Hajar Dewantoro, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asyhari, Jenderal Sudirman, Jenderal HM Soeharto, Jenderal TNI M Yusuf adalah nama-nama yang merenda peradaban Nusantara.

Mereka dibangun dalam sistem pendidikan akademik yang berbasis tradisi. Bukankah BJ Habibie yang dilahirkan dari sistem akademik Indonesia ternyata dikagumi dalam teknologi pesawat terbang? Kini saya banyak menemui orang-orang pintar masa kini yang ciri-cirinya dapat dilihat dari ucapan dan tulisannya.

Mereka dalam berpendapat selalu berkata dengan kalimat awal “menurut”; menurut Aristoteles, menurut Darwin, menurut Socrates, menurut profesor doktor, dan menurut-menurut berdasarkan para pakar-pakar kenamaan yang dia yakini kebenarannya. Mendengar itu semua Mang Udin gugurutu (menggerutu),“ Ceukituceukieu, ariceukBapanaon?” (kata orangitukataorangini, kalaumenurutBapak apa?).

Menurut itu kata orang Sunda artinya “Katanya”. Katanya itu cenah. Kalau ilmunya katanya, ditanam di pohon barangkali, dahannya mungkin, bunganya belum tentu, buahnya entahlah... entahhidup entah mati. Kan banyak orang pintar yang pakar di bidangnya katanya, tapi hidup harus segala membeli, daging beli, beras beli, gula beli, listrik juga beli, negara juga ikut-ikutan segala beli ke luar negeri, sampaigaramsaja beli dari luar negeri, yang paling baru kita beli listrik dari Malaysia padahal di Kalimantan berlimpah batu bara.

*** Kebanggaan terhadap asing telah merambah sampai pedesaan bukan hanya dalam metodologi, melainkan juga istilah yang terus menerus berubah serba luar negeri. Di kampung saya kini ada playgroup yang diajarkan oleh para pakar pendidikan dari kota. Di playgroup, anakanak didik diantar oleh ibu, nenek atau pembantunya.

Saat anak-anak mengikuti kegiatan playgroup, ibunya sibuk berkerumun dan bercerita tentang suaminya, tentang tetangganya sambil menghabiskan uang untuk jajan persis seperti anaknya. Sering kali suaminya pulang ke rumah dalam keadaan marah-marah sebab nasi idaman sudah dua hari mendekam di dalam tahanan magic jar, ketika dibuka kepanasan tanpa rasa, sambel beledag, sambel goang, sambel tarasi, sambel jahe, sambel kutat, pokona mah sambel we lah dengan seribu nama dan rasa berubah menjadi chili sauce, sambal yang terkurung dalam botol bertahun-tahun, sayur diganti dengan mi instan.

Akhirnya suami dan anak-anak tidak betah lagi makan di rumah, penghasilan tiap bulan hanya tinggal catatan karena dipotong berbagai pinjaman hampir di seluruh mata angin, gajih tinggal setrukna, akhirnya menjadi depresi, sebagai bagian penyumbang terbesar penyakit stroke.

Ceu Nining bertanya pada saya, “Kang Dedi ari playgroup teh naon?”. “Ceu, ari playgroup teh kelompok bermain bagi anakanak yang orang tuanya supersibuk sehingga tidak punya waktu untuk mengasuh dan mengurus mereka. Lahir dari tanah barat yang individualistis sehingga dengan terpaksa mereka menitipkan anak-anaknya di sanggar atau kelompok bermain agar bisa bersosialisasi dengan teman sebayanya.”

Dahi Ceu Nining berkerut seraya berkata, “kan di kampung kita mah alamnya masih terbuka luas, ibunya banyak yang tinggal di rumah, anak-anaknya memiliki sahabat sekampung bahkan sedesa.

Mereka bebas bermain sepuasnya tanpa biaya seperti bancakan, dam-daman, kecor, egrang, ucing sumput, gagajahan, sorodot gaplok, dampuh, sondah, dan masih banyak lagi permainan yang tidak memerlukan biaya, diciptakan sendiri, alatnya dibuat sendiri dan tidak memerlukan pengawasan, karena mereka sudah punya sistem permainan yang diatur oleh semangat kejujuran, blep blep blep ketika main kelereng, cak cak cak ketika petak umpet.

Ibunya tenang memasak di dapur menyiapkan makan yang serba alami untuk anak-anaknya tanpa harus berutang ke warung.” Ceu Nining menggerutu lieur (pusing). Pendidikan yang serbaasing teh, membuat kita semakin terasing dan pusing tujuh ke-liling karena mikirin utang ke bank keliling.
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1400 seconds (0.1#10.140)