Arogansi Eksekutif Rusak Citra Legislatif
A
A
A
ADITYA ANUGRAH MOHA
Wakil Sekretaris Fraksi Partai Golkar DPR RI
Melarang menteri Kabinet Kerja menghadiri rapat kerja dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah tindakan Presiden Joko Widodo mengeskalasi persoalan. Jika berlarut-larut, pemerintah dan DPR akan terperangkap dalam sengketa mengurus diri sendiri, bukan mengabdi kepada rakyat dan negara.
Larangan tersebut resmi, tertuang dalam Surat Edaran bernomor SE-12/Seskab/XI/ 2014 per 4 November 2014. Ditandatangani Menteri Sekretaris Kabinet (Seskab) Andi Widjajanto, surat edaran ditujukan ke para menteri, Panglima TNI, Kapolri, Kepala Staf Angkatan, Kepala BIN, dan Plt Jaksa Agung.
Bahkan, Menteri BUMN Rini Soemarno langsung menindaklanjutinya dengan menerbitkan surat edaran kepada semua pimpinan BUMN dengan instruksi larangan yang sama. Menanggapi pertanyaan pers mengenai alasan larangan itu, presiden Joko Widodo (Jokowi) memberi kesan bahwa DPR masih terbelah sehingga pemerintah kikuk; kubu mana yang harus ditemui?
Alasan lainnya adalah menunggu DPR menuntaskan revisi Undang- Undang (UU) No. 17/2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3). Cara pandang Presiden Jokowi seperti itu praktis merusak etika ketatanegaraan. Ekstremnya, Presiden terang-terangan mengakui adanya dua institusi DPR di negara ini, yakni DPR bentukan Koalisi Merah Putih dan DPR versi Koalisi Indonesia Hebat (KIH).
Cara pandang ini merusak dan berbahaya, sebab fakta legal konstitusionalnya hanya ada satu DPR di republik ini, yakni DPR RI, yang kepemimpinannya telah disahkan dalam sidang Paripurna DPR RI pada 2 Oktober 2014. Konsekuensi logisnya, presiden Republik Indonesia, siapa pun dia dan dari partai politik mana pun asalnya, harus mengakui dan menghormati DPR RI yang legal konstitusionalnya tak bercacat.
Untuk alasan apa pun, presiden RI tak boleh memberi ruang, apalagi mengakui eksistensi DPR RI tandingan. Jika tetap berpandangan atau berasumsi bahwa ada dua DPR di negara ini, Presiden Jokowi bisa dikatakan mengambil posisi yang inkonstitusional, karena dia mengakui DPR tandingan yang legal konstitusionalnya jelas-jelas bercacat.
Sama artinya Presiden Jokowi tidak mengakui keabsahan Sidang Paripurna DPR RI pada 2 Oktober 2014 yang telah mengesahkan kepemimpinan DPR RI periode 2014-2019. Menyikapi posisi presiden seperti itu, DPR bisa saja langsung menghadap ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengajukan gugatan sengketa antarlembaga.
Tensi perpolitikan dalam negeri pasti akan sangat panas jika DPR menempuh langkah itu. Selain gugatan ke MK, DPR juga masih punya amunisi lain untuk membuat suasana makin tidak kondusif. UU MD3 dan tata tertib DPR telah menetapkan bahwa jika menteri tidak mau menghadiri undangan rapat kerja DPR, DPR akan melayangkan surat panggilan kedua.
Kalau panggilan itu tak digubris, DPR berhak melakukan pemanggilan paksa. Sudah barang tentu tak elok jika menteri harus dipanggil paksa untuk sekadar melakukan rapat kerja dengan DPR. Maka sebelum disharmoni DPR-Presiden sekarang ini berlarut- larut, Presiden Jokowi, Wapres Jusuf Kalla, serta para menteri Kabinet Kerja harus mengubah posisi mereka dalam menyikapi persoalan internal di DPR.
Tidak pernah boleh ada dalam benak Presiden Jokowi tentang DPR versi KMP atau DPR versi KIH. Pemerintah harus menerima satu institusi DPR RI yang utuh. Fakta persoalan tentang koalisi partai politik di DPR sejatinya tidak pernah bisa membelah DPR. Sejak dulu koalisi partai politik di DPR selalu ada, dan tak pernah memunculkan DPR tandingan. Mengapa sekarang harus berbeda?
Kualitas Kepemimpinan
Dengan begitu, melarang menteri memenuhi undangan DPR sama sekali tidak urgen, pun tak ada relevansinya. Apalagi, rivalitas KMP versus KIH sudah berakhir dengan islah. Presiden seharusnya proaktif membangun komunikasi dengan pimpinan DPR, semua fraksi di DPR dan bila perlu bersama para ketua partai sebagai lokomotifnya, demi mewujudkan kemitraan yang kondusif, efektif dan produktif.
Tak hanya itu, dari larangan itu, muncul juga pertanyaan tentang kualitas kepemimpinan Presiden Jokowi. Publik melihat bahwa dengan larangan itu, Presiden memperkeruh keadaan. Padahal, Presiden seharusnya mengambil inisiatif untuk mewujudkan kemitraan eksekutiflegislatif yang harmonis.
Presiden tak pernah mengambil inisiatif seperti itu. Di permukaan, yang terlihat justru ketiadaan iktikad baik Presiden terhadap DPR RI sebagai mitra kerjanya. Alih-alih jadi problem solver atau ikut urun rembuk membantu menyelesaikan masalah, Presiden Jokowi justru memperkeruh keadaan.
Sebagai institusi, DPR merasa citranya dirusak oleh Presiden, sebab larangan itu memunculkan gambaran tentang DPR yang destruktif dan harus dihindari. Beralasan jika DPR merasa dilecehkan oleh Presiden Jokowi. Selain itu, larangan Presiden itu bisa dimaknai sebagai manuver politik Presiden Jokowi untuk mendegradasi posisi DPR sebagai lembaga tinggi negara.
Ini menjadi preseden buruk ketatanegaraan. Tentu saja manuver seperti ini tidak elok, bahkan tidak produktif karena presiden pada dasarnya butuh DPR yang solid. Demi soliditas itu, Presiden hendaknya selalu berpegangan pada Pasal 20A UUD 1945 yang menegaskan bahwa DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.
Setiap anggota DPR juga punya hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas. Program pembangunan Presiden Jokowi tahun-tahun mendatang terbilang ambisius. Dari pembangunan infrastruktur di darat hingga realisasi Poros Maritim.
Realisasi proyek jalan tol Trans-Sumatera sepanjang 2.700 kilometer dari Lampung hingga Aceh, dan jalur kereta api Trans-Sumatera, juga Lampung–Aceh sepanjang 2.168 kilometer, akan dimulai tahun 2015. Jokowi mungkin akan membiayai dua mega proyek itu dengan dana yang bersumber dari hasil penghematan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang jumlahnya lebih dari Rp100 triliun lebih.
Tentu saja pemerintahan Presiden Jokowi tidak bisa jalan sendiri untuk merealisasikan mega proyek itu. Peran dan dukungan DPR amat dibutuhkan Presiden Jokowi. Paling tidak, Jokowi berharap fungsi anggaran yang digenggam DPR dapat memuluskan realisasi proyekproyek tersebut. Jokowi pasti menyadari bahwa jika DPR bersikap minimalis, realisasi proyek-proyek itu bisa saja tidak tepat waktu.
Maka itu, ada dua hal penting yang patut digarisbawahi Presiden Jokowi dan para menteri Kabinet Kerja. Pertama, buang jauh-jauh keinginan mempertontonkan ego dan arogansi eksekutif. Pemerintahan Jokowi harus mau mewujudkan kesetaraan eksekutif- legislatif.
Kedua, jangan menjadi pemerintah yang hanya respek pada kekuatan politik tertentu. Pemerintahan Jokowi harus mau menerima kenyataan bahwa semua unsur kekuatan politik di DPR sebagai mitra, walau tidak semuanya selalu sependapat dengan pemerintah.
Wakil Sekretaris Fraksi Partai Golkar DPR RI
Melarang menteri Kabinet Kerja menghadiri rapat kerja dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah tindakan Presiden Joko Widodo mengeskalasi persoalan. Jika berlarut-larut, pemerintah dan DPR akan terperangkap dalam sengketa mengurus diri sendiri, bukan mengabdi kepada rakyat dan negara.
Larangan tersebut resmi, tertuang dalam Surat Edaran bernomor SE-12/Seskab/XI/ 2014 per 4 November 2014. Ditandatangani Menteri Sekretaris Kabinet (Seskab) Andi Widjajanto, surat edaran ditujukan ke para menteri, Panglima TNI, Kapolri, Kepala Staf Angkatan, Kepala BIN, dan Plt Jaksa Agung.
Bahkan, Menteri BUMN Rini Soemarno langsung menindaklanjutinya dengan menerbitkan surat edaran kepada semua pimpinan BUMN dengan instruksi larangan yang sama. Menanggapi pertanyaan pers mengenai alasan larangan itu, presiden Joko Widodo (Jokowi) memberi kesan bahwa DPR masih terbelah sehingga pemerintah kikuk; kubu mana yang harus ditemui?
Alasan lainnya adalah menunggu DPR menuntaskan revisi Undang- Undang (UU) No. 17/2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3). Cara pandang Presiden Jokowi seperti itu praktis merusak etika ketatanegaraan. Ekstremnya, Presiden terang-terangan mengakui adanya dua institusi DPR di negara ini, yakni DPR bentukan Koalisi Merah Putih dan DPR versi Koalisi Indonesia Hebat (KIH).
Cara pandang ini merusak dan berbahaya, sebab fakta legal konstitusionalnya hanya ada satu DPR di republik ini, yakni DPR RI, yang kepemimpinannya telah disahkan dalam sidang Paripurna DPR RI pada 2 Oktober 2014. Konsekuensi logisnya, presiden Republik Indonesia, siapa pun dia dan dari partai politik mana pun asalnya, harus mengakui dan menghormati DPR RI yang legal konstitusionalnya tak bercacat.
Untuk alasan apa pun, presiden RI tak boleh memberi ruang, apalagi mengakui eksistensi DPR RI tandingan. Jika tetap berpandangan atau berasumsi bahwa ada dua DPR di negara ini, Presiden Jokowi bisa dikatakan mengambil posisi yang inkonstitusional, karena dia mengakui DPR tandingan yang legal konstitusionalnya jelas-jelas bercacat.
Sama artinya Presiden Jokowi tidak mengakui keabsahan Sidang Paripurna DPR RI pada 2 Oktober 2014 yang telah mengesahkan kepemimpinan DPR RI periode 2014-2019. Menyikapi posisi presiden seperti itu, DPR bisa saja langsung menghadap ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengajukan gugatan sengketa antarlembaga.
Tensi perpolitikan dalam negeri pasti akan sangat panas jika DPR menempuh langkah itu. Selain gugatan ke MK, DPR juga masih punya amunisi lain untuk membuat suasana makin tidak kondusif. UU MD3 dan tata tertib DPR telah menetapkan bahwa jika menteri tidak mau menghadiri undangan rapat kerja DPR, DPR akan melayangkan surat panggilan kedua.
Kalau panggilan itu tak digubris, DPR berhak melakukan pemanggilan paksa. Sudah barang tentu tak elok jika menteri harus dipanggil paksa untuk sekadar melakukan rapat kerja dengan DPR. Maka sebelum disharmoni DPR-Presiden sekarang ini berlarut- larut, Presiden Jokowi, Wapres Jusuf Kalla, serta para menteri Kabinet Kerja harus mengubah posisi mereka dalam menyikapi persoalan internal di DPR.
Tidak pernah boleh ada dalam benak Presiden Jokowi tentang DPR versi KMP atau DPR versi KIH. Pemerintah harus menerima satu institusi DPR RI yang utuh. Fakta persoalan tentang koalisi partai politik di DPR sejatinya tidak pernah bisa membelah DPR. Sejak dulu koalisi partai politik di DPR selalu ada, dan tak pernah memunculkan DPR tandingan. Mengapa sekarang harus berbeda?
Kualitas Kepemimpinan
Dengan begitu, melarang menteri memenuhi undangan DPR sama sekali tidak urgen, pun tak ada relevansinya. Apalagi, rivalitas KMP versus KIH sudah berakhir dengan islah. Presiden seharusnya proaktif membangun komunikasi dengan pimpinan DPR, semua fraksi di DPR dan bila perlu bersama para ketua partai sebagai lokomotifnya, demi mewujudkan kemitraan yang kondusif, efektif dan produktif.
Tak hanya itu, dari larangan itu, muncul juga pertanyaan tentang kualitas kepemimpinan Presiden Jokowi. Publik melihat bahwa dengan larangan itu, Presiden memperkeruh keadaan. Padahal, Presiden seharusnya mengambil inisiatif untuk mewujudkan kemitraan eksekutiflegislatif yang harmonis.
Presiden tak pernah mengambil inisiatif seperti itu. Di permukaan, yang terlihat justru ketiadaan iktikad baik Presiden terhadap DPR RI sebagai mitra kerjanya. Alih-alih jadi problem solver atau ikut urun rembuk membantu menyelesaikan masalah, Presiden Jokowi justru memperkeruh keadaan.
Sebagai institusi, DPR merasa citranya dirusak oleh Presiden, sebab larangan itu memunculkan gambaran tentang DPR yang destruktif dan harus dihindari. Beralasan jika DPR merasa dilecehkan oleh Presiden Jokowi. Selain itu, larangan Presiden itu bisa dimaknai sebagai manuver politik Presiden Jokowi untuk mendegradasi posisi DPR sebagai lembaga tinggi negara.
Ini menjadi preseden buruk ketatanegaraan. Tentu saja manuver seperti ini tidak elok, bahkan tidak produktif karena presiden pada dasarnya butuh DPR yang solid. Demi soliditas itu, Presiden hendaknya selalu berpegangan pada Pasal 20A UUD 1945 yang menegaskan bahwa DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.
Setiap anggota DPR juga punya hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas. Program pembangunan Presiden Jokowi tahun-tahun mendatang terbilang ambisius. Dari pembangunan infrastruktur di darat hingga realisasi Poros Maritim.
Realisasi proyek jalan tol Trans-Sumatera sepanjang 2.700 kilometer dari Lampung hingga Aceh, dan jalur kereta api Trans-Sumatera, juga Lampung–Aceh sepanjang 2.168 kilometer, akan dimulai tahun 2015. Jokowi mungkin akan membiayai dua mega proyek itu dengan dana yang bersumber dari hasil penghematan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang jumlahnya lebih dari Rp100 triliun lebih.
Tentu saja pemerintahan Presiden Jokowi tidak bisa jalan sendiri untuk merealisasikan mega proyek itu. Peran dan dukungan DPR amat dibutuhkan Presiden Jokowi. Paling tidak, Jokowi berharap fungsi anggaran yang digenggam DPR dapat memuluskan realisasi proyekproyek tersebut. Jokowi pasti menyadari bahwa jika DPR bersikap minimalis, realisasi proyek-proyek itu bisa saja tidak tepat waktu.
Maka itu, ada dua hal penting yang patut digarisbawahi Presiden Jokowi dan para menteri Kabinet Kerja. Pertama, buang jauh-jauh keinginan mempertontonkan ego dan arogansi eksekutif. Pemerintahan Jokowi harus mau mewujudkan kesetaraan eksekutif- legislatif.
Kedua, jangan menjadi pemerintah yang hanya respek pada kekuatan politik tertentu. Pemerintahan Jokowi harus mau menerima kenyataan bahwa semua unsur kekuatan politik di DPR sebagai mitra, walau tidak semuanya selalu sependapat dengan pemerintah.
(bbg)