Masa Depan Golkar

Kamis, 27 November 2014 - 10:50 WIB
Masa Depan Golkar
Masa Depan Golkar
A A A
MOCH NURHASIM
Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI

Partai Golkar segera akan melakukan Munas IX pada 30 November 2014. Munas yang awalnya akan diselenggarakan pada Januari 2015, akhirnya dipercepat karena alasan-alasan khusus (KORAN SINDO, 20/11/2014). Dari segi penyelenggaraannya, munas akhir November nanti makin menarik karena kompetisi antarcalon ketua umum yang semakin memanas.

Perseteruan

Bentrok yang terjadi antaranggota AMPG menggambarkan suasana panas internal Golkar. Tensi politik yang tinggi tersebut dipicu perbedaan kepentingan antarkubu. Dari segi calon- calon yang beredar, saat ini Abu Rizal Bakrie (ARB) dapat dianggap sebagai “satu-satunya calon” yang memperoleh dukungan paling kuat di antara nama- nama calon lain.

Sebut saja Priyo Budi Santoso, Hajriyanto Y Thohari, Agung Laksono, MS Hidayat, Agus Gumiwang Kartasasmita, Airlangga Hartarto, dan Agun Gunanjar. Dinamika politik terakhir Golkar menunjukkan mulai ada gerakan asal bukan ARB. Ancaman beberapa calon seperti Agung Laksono, Priyo Budi Santoso, Hajriyanto Y Thohari, dan Agus Gumiwang Kartasasmita, yang akan membuat Munas Golkar tandingan karena tidak sejalan dengan kebijakan ARB, belum merupakan puncak dari kisah perebutan kekuasaan di partai beringin.

Munculnya gerakan asal bukan ARB makin “kencang” berembus. Masalahnya, mengapa ARB menjadi musuh bersama pada Munas Golkar mendatang? Sekurang-kurangnya ada tiga alasan mengenai itu. Pertama, ARB adalah calon yang paling kuat memperoleh dukungan dari DPP dan DPD.

Bukti dukungan itu ditampakkan dari “manutnya” DPDGolkartingkatprovinsi dan kabupaten/kota tidak meminta percepatan Munas Golkar sebelum Oktober 2014. Kedua, ketakutan para penentang ARB karena ancaman dipecat seperti beberapa kader yang tidak mengikuti kebijakan partai.

Ketiga, ARB dengan segala kelemahannya tetap membawa Golkar sebagaijawara kedua Pemilu 2014 walau perolehan suaranya mengalami penurunan. Sebagai ketua umum, ARB telah membawa arah politik Golkar berseberangan atau berbeda dengan pemerintah. Keempat, sebagai yang “terpenting” ARB akan tetap menjadi penentu kiprah politik Golkar lima tahun mendatang.

Selain karena kebijakankebijakan ARB yang “dianggap” tetap ingin menguasai Golkar dengan mempercepat Munas IX, ARB juga dituduh telah menghambat proses kaderisasi pada tubuh partai Golkar. Sikap politik ARB itu telah “memicu” adrenalin politik sebagian kader Golkar yang tidak setuju dengan kebijakannya.

Seperti telah diketahui oleh umum bahwa pasca-Pemilu Presiden 2014, politisi Golkar pecah dalam dua ide yang antagonis, satu kubu mendukung ide beroposisi dan kubu lain mendukung berada di pemerintahan. Dua kubu itu terus menjadi ikon perseteruan dalam tubuh politik Golkar sebelum pelantikan Presiden Jokowi hingga menjelang Munas Golkar mendatang. Perbedaan kepentingan itulah yang menjadikan Munas Golkar lebih menarik ketimbang Munas PDIP dan PKB. Alasannya sederhana, ketua umum Golkar yang baru akan menjadi penentu arah politik Golkar selanjutnya.

Golkar sebagai Roh KMP

Partai Golkar saat ini tetap menjadi partai yang sangat strategis. Sebagai pemenang kedua Pemilu 2014 dengan 14,75% atausetaradengan91kursi, kekuatan politik Partai Golkar dapat menjadi penentu politik di parlemen. Dengan kekuatan itu, Partai Golkar juga memiliki posisi yang strategis sebagai penggerak sekaligus motor Koalisi Merah Putih (KMP) di DPR dan beberapa DPRD daerah.

Arah politik Partai Golkar tersebut tak lepas dari garis politik ARB dan para pendukungnya. ARB telah membawa gerbong Golkar menjadi oposisi dengan tidak masuk dalam gerbong kekuasaan. Sikap dan agenda politik ARB dan para pendukungnya tersebut dapat disebut sebagai pemberi warna baru dalamsejarah politik Golkar, sekaligus menjadi ancaman “kepentingan” beberapa kadernya yang tetap ingin di pemerintahan.

Dalam sejarah politik kepartaian di Indonesia, Partai Golkar sejak didirikan oleh Soeharto bukanlah partai yang dirancang untuk beroposisi. Golkar lebih dipersiapkan sebagai the ruling party atau partai kaum penguasa. Inilah watak dasar dari gagasan para pendiri Partai Golkar dalam merancang bangun Golkar sebagai Golongan Karya.

Tradisi Golkar sebagai partai yang berkuasa dengan segala kelihaian strategi politiknya pun terus dikembangkan selama hampir tiga era pemerintahan pada masa transisi. Pada Era Reformasi dengan segala agenda politik perubahan yang terjadi, Partai Golkar tetap menjadi bagian penting setiap era presiden yang terpilih, mulai era Presiden Abdurrahman Wahid, Presiden Megawati Soekarno putri, dan era Presiden SBY.

Kader-kader Partai Golkar tetap masuk dalam gerbongpemerintahan. Garis sejarah Partai Golkar sebagai the ruling party itu berakhir pada kepemimpinan ARB yang telah membawa titik baru sejarah politik bagi Golkar keluar dari pakem sebagai the ruling party.

Dengan posisinya saat ini, Golkar sebagai koordinator sekaligus spirit bagi KMP, siapa yang dapat menguasai Partai Golkar akan dapat menghancurkan kekuatan oposisi KMP. Itulah mengapa menjelang Munas 30 November 2014 mendatang politik internal Golkar makin panas. Pertanyaannya bagaimana akhir dari kontestasi sengit tersebut?

Pecah Kongsi?

Akhir dari Munas IX Partai Golkar akan mengarah pada dua situasi. Pertama, Munas IX Golkar yang direncanakan di Nusa Dua Bali akan menjadi penentu arah politik Partai Golkar, tetap beroposisi atau merapat ke pemerintahan. Kedua, arah politik itu akan terjawab dari siapa yang menjadi ketua umum Partai Golkar yang baru.

Apabila ARB tetap memenangkan pertarungan, Golkar akan tetap berada di KMP, dan KMP tetap solid atau terselamatkan dari ancaman “perpecahan” atau bubaran. Namun, apabila ARB kalah, dapat dipastikan gerbong Partai Golkar akan mengalami perubahan haluan. Perubahan haluanitusudahdapatdipastikandan itu berarti nasib KMP juga menjadi pertaruhan karena dengan kehilangan Partai Golkar, KMP akan menjadi macan ompong.

Situasi yang kedua yang mungkin akan terjadi ialah pecah kongsi beberapa kader Partai Golkar, khususnya dari kubu asal bukan ARB yang dimotori Agung Laksono dan calon-calon ketua umum yang lain. Pola seperti itu sudah terjadi sejak sebelum 2004 dengan lahirnya dua partai yakni Gerinda dan Hanura dan pada pemilu terakhir 2014 dengan munculnya Nasional Demokrat yang dipelopori oleh Surya Paloh.

Kecenderungan orang-orang yang kecewa, Kelompok Tujuh (calon ketua umum Golkar) dapat saja mereka keluar dan membentuk partai politik baru seperti pendahulunya, Prabowo, Wiranto, dan Surya Paloh.
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0782 seconds (0.1#10.140)