Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Tolak Banding Akil Mochtar
A
A
A
JAKARTA - Majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menolak upaya hukum banding yang diajukan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dalam kasus dugaan suap dan pencucian uang penanganan sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK).
Kepala Hubungan Masyarakat Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Muhammad Hatta mengungkapkan, Ketua Majelis Hakim Syamsul Bahri Bapatua yang memimpin sidang banding memutuskan Akil tetap dihukum sesuai dengan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta yakni penjara seumur hidup.
"Putusan yang sudah ada adalah atas nama Akil Mochtar menguatkan putusan tingkat pertama, karena dianggap sudah tepat dan benar," ujar Hatta melalui pesan tertulis kepada wartawan, Selasa (25/11/2014).
Pada 30 Juni lalu, majelis hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, menjatuhkan putusan penjara seumur hidup kepada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Muhammad Akil Mochtar.
Bekas politikus Partai Golkar itu terbukti menerima suap dalam sepuluh sengketa pemilihan kepala daerah di MK dan pencucian uang. Akil juga diganjar pidana tambahan berupa pencabutan hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik.
Beberapa perbuatan pidana Akil terbukti menurut hakim yakni suap, gratifikasi, dan pemerasan. Antara lain dalam sengketa pilkada Kabupaten Gunung Mas Rp3 miliar, Pilkada Lebak Rp 1 miliar, Pilkada Kabupaten Empat Lawang Rp10 miliar dan USD500.000, Pilkada Kota Palembang Rp19.886.092.800.
Akil juga terbukti menerima uang terkait sengketa Pilkada Kabupaten Buton (Rp1 miliar), Kabupaten Pulau Morotai (Rp2.989.000.000), dan Kabupaten Tapanuli Tengah (Rp1,8 miliar).
Akil turut terbukti menerima janji atau pemberian sebesar Rp 10 miliar terkait keberatan hasil Pilkada Provinsi Jawa Timur. Kemudian, pada dakwaan ketiga, Akil juga terbukti meminta Rp125 juta pada Wakil Gubernur Papua periode tahun 2006-2011 Alex Hesegem.
Pemberian uang itu terkait sengketa Pilkada Kabupaten Merauke, Kabupaten Asmat, Kabupaten Boven Digoel, Kota Jayapura, dan Kabupaten Nduga.
Akil juga terbukti menerima uang dari adik Gubernur Banten Atut Chosiyah, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, sebesar Rp7,5 miliar. Pemberian uang itu terkait dengan sengketa Pilkada Banten.
Akil dikenakan Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto pasal 65 ayat (1) KUHPidana.
Kemudian dakwaan alternatif ketiga dan dakwaan keempat dengan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto 64 ayat 1 KUHPidana.
Kemudian dua dakwaan tentang pencucian uang serta dalam Pasal 3 UU nomor 8 tahun 2010 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto pasal 65 ayat (1) KUHPidana.
Kepala Hubungan Masyarakat Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Muhammad Hatta mengungkapkan, Ketua Majelis Hakim Syamsul Bahri Bapatua yang memimpin sidang banding memutuskan Akil tetap dihukum sesuai dengan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta yakni penjara seumur hidup.
"Putusan yang sudah ada adalah atas nama Akil Mochtar menguatkan putusan tingkat pertama, karena dianggap sudah tepat dan benar," ujar Hatta melalui pesan tertulis kepada wartawan, Selasa (25/11/2014).
Pada 30 Juni lalu, majelis hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, menjatuhkan putusan penjara seumur hidup kepada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Muhammad Akil Mochtar.
Bekas politikus Partai Golkar itu terbukti menerima suap dalam sepuluh sengketa pemilihan kepala daerah di MK dan pencucian uang. Akil juga diganjar pidana tambahan berupa pencabutan hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik.
Beberapa perbuatan pidana Akil terbukti menurut hakim yakni suap, gratifikasi, dan pemerasan. Antara lain dalam sengketa pilkada Kabupaten Gunung Mas Rp3 miliar, Pilkada Lebak Rp 1 miliar, Pilkada Kabupaten Empat Lawang Rp10 miliar dan USD500.000, Pilkada Kota Palembang Rp19.886.092.800.
Akil juga terbukti menerima uang terkait sengketa Pilkada Kabupaten Buton (Rp1 miliar), Kabupaten Pulau Morotai (Rp2.989.000.000), dan Kabupaten Tapanuli Tengah (Rp1,8 miliar).
Akil turut terbukti menerima janji atau pemberian sebesar Rp 10 miliar terkait keberatan hasil Pilkada Provinsi Jawa Timur. Kemudian, pada dakwaan ketiga, Akil juga terbukti meminta Rp125 juta pada Wakil Gubernur Papua periode tahun 2006-2011 Alex Hesegem.
Pemberian uang itu terkait sengketa Pilkada Kabupaten Merauke, Kabupaten Asmat, Kabupaten Boven Digoel, Kota Jayapura, dan Kabupaten Nduga.
Akil juga terbukti menerima uang dari adik Gubernur Banten Atut Chosiyah, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, sebesar Rp7,5 miliar. Pemberian uang itu terkait dengan sengketa Pilkada Banten.
Akil dikenakan Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto pasal 65 ayat (1) KUHPidana.
Kemudian dakwaan alternatif ketiga dan dakwaan keempat dengan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto 64 ayat 1 KUHPidana.
Kemudian dua dakwaan tentang pencucian uang serta dalam Pasal 3 UU nomor 8 tahun 2010 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto pasal 65 ayat (1) KUHPidana.
(hyk)