Sisa Subsidi BBM: Tetap Salah Sasaran
A
A
A
PROF BAMBANG SETIAJI
Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) &
MUSLICH HARTADI PHD
Ketua Pusat Studi Transportasi
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Masalah utama subsidi BBM seperti disampaikan berulang kali oleh pemerintah adalah “salah sasaran”. Jadi dengan hanya menaikkan harga secara sama, masalah salah sasaran dari sisa subsidi sama sekali belum teratasi.
Artinya bahwa kelompok atas tetap menikmati sisa subsidi yang diperkirakan masih sebesar hampir 150 triliun. Dengan peningkatan harga BBM ini supaya tidak berulang di masa depan harus diakhiri dengan mendefinisikan target group. Subsidi di masa depan akan membengkak lagi karena dua hal.
Pertama, penurunan nilai rupiah yang selalu terjadi terhadap dolar sebagai patokan harga impor BBM; dan kedua, kenaikan permintaan akan BBM dalam negeri. Kenaikan harga BBM terjadi secara periodik sejak zaman Soekarno, Soeharto, Gus Dur, Megawati, SBY, dan sekarang pada pemerintahan Jokowi-JK.
Sebesar 50% BBM bersubsidi dibeli kelompok atas, sisanya diduga digunakan kelompok menengah, menengah-bawah, dan bawah yang pada masa depan setengahnya tidak perlu disubsidi lagi. Dengan pengidentifikasian, subsidi BBM bisa dikurangi pada tahap pertama 50% dan pada tahap berikutnya tinggal 25% lagi atau sekitar di angka 70-100 triliun.
Apa yang selalu disuarakan oleh gerakan anti neoliberalisasi adalah perlunya membuat diferensiasi bahwa rakyat memiliki daya beli yang berbeda. Lebih-lebih melihat Indonesia jurang antara kaya dan miskin, Indonesia barat dan timur, kota dan desa semuanya menunjukkan tanda jual ekonomi yang tidak makin reda, tetapi makin hebat.
Hal tersebut diperlihatkan oleh Gini rasio yang semakin meningkat pula. Dengan demikian membuat target group untuk diberi perlakuan harga yang berbeda adalah masuk akal dan sesuai dengan tata cara penggunaan uang negara. Di sektor listrik dan gas, juga diberlakukan harga yang berbeda.
Peran BBM dalam Defisit Neraca Berjalan
Dengan bermain pada kesamaan harga dan membuka berapa pun jumlah konsumsi, dalam jangka pendek efek harga tersebut akan mengurangi konsumsi BBM. Namun dalam beberapa bulan, konsumsi diduga akan normal kembali karena BBM adalah kebutuhan hampir pokok yang memiliki elastisitas harga tidak terlalu besar.
Dalam lima tahun ke depan diprediksi bahwa lifting minyak dalam negeri akan terus menurun dari 850.000 barel ke hanya 500.000 barel, sementara konsumsi akan terus meningkat mungkin mendekati 2 juta barel per hari, seiring dengan meningkatnya industri dan terutama konsumsi kendaraan bermotor.
Penjualan mobil pada 2013 dan 2014 sekitar 1,2 juta setahun dan penjualan sepeda motor lebih dari 8 juta setahun. Impor migas yang selalu meningkat menjadi sumber defisit neraca berjalan, menurut Bank Indonesia, pada akhir2011neraca berjalan masih positif USD1,6 miliar, dan pada 2012 turun menjadi minus USD24,4 miliar dan memburuk lagi menjadi USD28,4 miliar pada 2013 dan terus memburuk pada 2014.
Pada komoditi nonmigas, neraca perdagangan sebenarnya selalu positif, tetapi surplus itu tidak cukup untuk menutup defisit neraca migas dan juga neraca jasa yang secara tradisional selalu negatif. Sampai berapa lama kita dapat menanggung defisit ini? Jika konsumsi migas tidak dibatasi, dalamlimatahunkedepandefisit neraca berjalan bisa mencapai USD50 miliar (Rp600 triliun).
Defisit neraca berjalan akan ditutup dengan menyewakan aset kita yang berhubungan dengan kekayaan alam, misal batu bara dan perkebunan yang keduanya dengan cara membabat hutan, mengundang investasi asing untuk mengeksploitasi potensi industri yang tentu saja dipilih yang paling menguntungkan.
Solusi yang Dimungkinkan
Perbedaan era Jokowi dan presiden-presiden sebelumnya dalam hal BBM, bahwa; Pertama, konsumsi BBM sudah sedemikian tinggi disertai penurunan produksi dalam negeri. Kedua, bahwa BBM menjadi sumber defisit neraca berjalan.
Oleh karena itu, Jokowi-JK tidak bisa hanya meniru presiden sebelumnya dengan secara periodik menaikkan harga BBM bila subsidi sudah membengkak. Jokowi-JK tidak mengalami permasalahan yang sama dengan presiden sebelumnya yang diselamatkan bukan hanya APBN, melainkan neraca berjalan yang bersumber migas. Apa inti dari defisit neraca berjalan?
Intinya adalah mengonsumsi melebihi kemampuan menghasilkan, bangsa kita hidup terlalu enak dibanding hasil karyanya. Malangnya bahwa hidup enak itu ditutup dengan menjual komoditi berbasis alam dan menambahnya dengan menjual atau menyewakan aset. Sambil menunggu perbaikan atau transformasi produksi, masalah riil defisit neraca berjalan yang disebabkan oleh neraca BBM tidak ada jalan lain kecuali dengan pembatasan konsumsi, hal yang tidak populer dalam era ekonomi liberal berbasis kebijakan harga.
Pertama setengah dari konsumen BBM bersubsidi adalah kelompok atas, ini harus dikeluarkan lebih dulu dari daftar konsumen BBM bersubsidi. Dengan kata lain, mereka ini harus membeli BBM nonsubsidi di pasar atau diberi wadah dengan premium plus pada harga keekonomian.
Subsidi yang masih Rp150 triliun bisa dikurangi lagi hanya Rp100 triliun saja, tetapi diperuntukkan untuk kalangan bawah. Misalnya pemilik kendaraan roda dua dan kendaraan umum. Jadi, kebijakan nonharga juga ampuh untuk menyelamatkan APBN. Inti dari kebijakan nonharga adalah membatasi konsumsi walaupun hal itu dibeli di pasar oleh konsumen swasta.
Kantor pajak kendaraan atau Samsat dengan bantuan kartu elektronik dimungkinkan menjalankan misi yang cukup rumit ini. Namun demikian, kantor ini sudah memiliki data yang lengkap.
Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) &
MUSLICH HARTADI PHD
Ketua Pusat Studi Transportasi
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Masalah utama subsidi BBM seperti disampaikan berulang kali oleh pemerintah adalah “salah sasaran”. Jadi dengan hanya menaikkan harga secara sama, masalah salah sasaran dari sisa subsidi sama sekali belum teratasi.
Artinya bahwa kelompok atas tetap menikmati sisa subsidi yang diperkirakan masih sebesar hampir 150 triliun. Dengan peningkatan harga BBM ini supaya tidak berulang di masa depan harus diakhiri dengan mendefinisikan target group. Subsidi di masa depan akan membengkak lagi karena dua hal.
Pertama, penurunan nilai rupiah yang selalu terjadi terhadap dolar sebagai patokan harga impor BBM; dan kedua, kenaikan permintaan akan BBM dalam negeri. Kenaikan harga BBM terjadi secara periodik sejak zaman Soekarno, Soeharto, Gus Dur, Megawati, SBY, dan sekarang pada pemerintahan Jokowi-JK.
Sebesar 50% BBM bersubsidi dibeli kelompok atas, sisanya diduga digunakan kelompok menengah, menengah-bawah, dan bawah yang pada masa depan setengahnya tidak perlu disubsidi lagi. Dengan pengidentifikasian, subsidi BBM bisa dikurangi pada tahap pertama 50% dan pada tahap berikutnya tinggal 25% lagi atau sekitar di angka 70-100 triliun.
Apa yang selalu disuarakan oleh gerakan anti neoliberalisasi adalah perlunya membuat diferensiasi bahwa rakyat memiliki daya beli yang berbeda. Lebih-lebih melihat Indonesia jurang antara kaya dan miskin, Indonesia barat dan timur, kota dan desa semuanya menunjukkan tanda jual ekonomi yang tidak makin reda, tetapi makin hebat.
Hal tersebut diperlihatkan oleh Gini rasio yang semakin meningkat pula. Dengan demikian membuat target group untuk diberi perlakuan harga yang berbeda adalah masuk akal dan sesuai dengan tata cara penggunaan uang negara. Di sektor listrik dan gas, juga diberlakukan harga yang berbeda.
Peran BBM dalam Defisit Neraca Berjalan
Dengan bermain pada kesamaan harga dan membuka berapa pun jumlah konsumsi, dalam jangka pendek efek harga tersebut akan mengurangi konsumsi BBM. Namun dalam beberapa bulan, konsumsi diduga akan normal kembali karena BBM adalah kebutuhan hampir pokok yang memiliki elastisitas harga tidak terlalu besar.
Dalam lima tahun ke depan diprediksi bahwa lifting minyak dalam negeri akan terus menurun dari 850.000 barel ke hanya 500.000 barel, sementara konsumsi akan terus meningkat mungkin mendekati 2 juta barel per hari, seiring dengan meningkatnya industri dan terutama konsumsi kendaraan bermotor.
Penjualan mobil pada 2013 dan 2014 sekitar 1,2 juta setahun dan penjualan sepeda motor lebih dari 8 juta setahun. Impor migas yang selalu meningkat menjadi sumber defisit neraca berjalan, menurut Bank Indonesia, pada akhir2011neraca berjalan masih positif USD1,6 miliar, dan pada 2012 turun menjadi minus USD24,4 miliar dan memburuk lagi menjadi USD28,4 miliar pada 2013 dan terus memburuk pada 2014.
Pada komoditi nonmigas, neraca perdagangan sebenarnya selalu positif, tetapi surplus itu tidak cukup untuk menutup defisit neraca migas dan juga neraca jasa yang secara tradisional selalu negatif. Sampai berapa lama kita dapat menanggung defisit ini? Jika konsumsi migas tidak dibatasi, dalamlimatahunkedepandefisit neraca berjalan bisa mencapai USD50 miliar (Rp600 triliun).
Defisit neraca berjalan akan ditutup dengan menyewakan aset kita yang berhubungan dengan kekayaan alam, misal batu bara dan perkebunan yang keduanya dengan cara membabat hutan, mengundang investasi asing untuk mengeksploitasi potensi industri yang tentu saja dipilih yang paling menguntungkan.
Solusi yang Dimungkinkan
Perbedaan era Jokowi dan presiden-presiden sebelumnya dalam hal BBM, bahwa; Pertama, konsumsi BBM sudah sedemikian tinggi disertai penurunan produksi dalam negeri. Kedua, bahwa BBM menjadi sumber defisit neraca berjalan.
Oleh karena itu, Jokowi-JK tidak bisa hanya meniru presiden sebelumnya dengan secara periodik menaikkan harga BBM bila subsidi sudah membengkak. Jokowi-JK tidak mengalami permasalahan yang sama dengan presiden sebelumnya yang diselamatkan bukan hanya APBN, melainkan neraca berjalan yang bersumber migas. Apa inti dari defisit neraca berjalan?
Intinya adalah mengonsumsi melebihi kemampuan menghasilkan, bangsa kita hidup terlalu enak dibanding hasil karyanya. Malangnya bahwa hidup enak itu ditutup dengan menjual komoditi berbasis alam dan menambahnya dengan menjual atau menyewakan aset. Sambil menunggu perbaikan atau transformasi produksi, masalah riil defisit neraca berjalan yang disebabkan oleh neraca BBM tidak ada jalan lain kecuali dengan pembatasan konsumsi, hal yang tidak populer dalam era ekonomi liberal berbasis kebijakan harga.
Pertama setengah dari konsumen BBM bersubsidi adalah kelompok atas, ini harus dikeluarkan lebih dulu dari daftar konsumen BBM bersubsidi. Dengan kata lain, mereka ini harus membeli BBM nonsubsidi di pasar atau diberi wadah dengan premium plus pada harga keekonomian.
Subsidi yang masih Rp150 triliun bisa dikurangi lagi hanya Rp100 triliun saja, tetapi diperuntukkan untuk kalangan bawah. Misalnya pemilik kendaraan roda dua dan kendaraan umum. Jadi, kebijakan nonharga juga ampuh untuk menyelamatkan APBN. Inti dari kebijakan nonharga adalah membatasi konsumsi walaupun hal itu dibeli di pasar oleh konsumen swasta.
Kantor pajak kendaraan atau Samsat dengan bantuan kartu elektronik dimungkinkan menjalankan misi yang cukup rumit ini. Namun demikian, kantor ini sudah memiliki data yang lengkap.
(bbg)