Pahlawan Kesiangan
A
A
A
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia
Tulisan ini kesiangan. Hari Pahlawan sudah lewat, kok baru nulis tentang pahlawan? Dalam dunia pers istilahnya ”sudah lewat momentumnya”. Tetapi memang saya tidak bermaksud mengejar momentum, apalagi ”kejar tayang”.
Saya justru ingin melihat apa saja yang dilakukan oleh anak-anak bangsa ini untuk memperingati Hari Pahlawan di era Revolusi Mental ini. Adakah perubahan perilaku atau masih sama saja dengan yang dulu-dulu? Tetapi persis seperti yang sudah saya duga, acara Hari Pahlawan masih yang itu-itu juga: peragaan perang di Surabaya tanggal 10 November 1945.
Dengan Bung Tomo mengepalkan tangan ke atas, dan anak-anak sekolah berpakaian ala seragam tentara rakyat yangsudahtertanamdibenak mereka, yaitu seragam warna cokelat khaki , dengan simbol merah-putih di dada, dan ikat kepala merah-putih terbuat dari ikat leher Pramuka (walaupun zaman itu belum ada Pramuka). Tidak aneh, kalau keesokan harinya, pascaperingatannya, orang sudah lupa lagi pada hari Pahlawan, apalagi pada makna kepahlawanan itu sendiri.
Pada tahun 2008, di sebuah Kongres Psikologi Internasional di Berlin, Jerman, saya menghadiri sebuah paparan tentang heroisme (kepahlawanan) oleh psikolog sosial paling kondang saat ini, Dr Philip Zimbardo. Dalam paparan yang dihadiri sekitar 1.000 psikolog sedunia itu, Dr Zimbardo menayangkan sebuah rekaman CCTV singkat yang sangat mencekam.
Dalam CCTV itu, tampak suasana di sebuah stasiun Metro (kereta api bawah tanah) di London, dengan sebuah kereta api sedang meluncur dari kegelapan dan sudah terlihat lampunya akan segera masuk kawasan stasiun. Tiba-tiba seorang balita terjatuh dari kereta dorong ibunya yang berdiri terlalu di pinggir peron (tempat tunggu penumpang). Balita itu pun jatuh langsung masuk di tengah-tengah dua rel yang sekejap lagi akan dilewati kereta api.
Seketika semua orang menjerit histeris, dan tentu saja ibu yang malang itu berteriak paling histeris. Semua panik. Sebentar lagi si balita akan remuk digilas kereta api. Tetapi tiba-tiba sesosok laki-laki meloncat turun dari peron ke rel dan segera bertiarap dengan memeluk balita. Sekejap kemudian kereta api Metro menderu lewat di atas kepala mereka, dan ketika kereta itu berhenti, balita dan lakilaki itu sama-sama selamat, tidak ada yang terluka sedikit pun.
Pasca peristiwa itu laki-laki penolong itu diwawancara, dan ternyata dia sendiri punya dua anak. Satu di antaranya masih balita. Ia mengatakan bahwa tidak berpikir panjang ketika menolong balita. Spontan ia meloncat saja untuk melindungi balita, dan akhirnya memang balita itu selamat. Dr Zimbardo kemudian memberikan analisisnya tentang perilaku kepahlawanan.
Seorang pahlawan itu, kata Dr Zimbardo, hanya mau menolong orang lain, atau menyelamatkan orang banyak, tanpa memikirkan keselamatan, apalagi keuntungan untuk dirinya sendiri. Arti kepahlawanan (heroisme dari kata Yunani kuno hero) itu sendiri adalah keberanian atau pengorbanan diri sendiri yang ditunjukkan seseorang dalam keadaan yang sangat berbahaya, atau dari posisinya yang sangat lemah, namun tetap berani mengambil risiko demi kebaikan yang lebih besar untuk keseluruhan kelompok yang lebih besar atau umat manusia.
Awalnya istilah ini hanya untuk dunia militer/ perang, tetapi belakangan banyak digunakan dalam kaitannya dengan nilai-nilai moral. Dalam kaitannya dengan nilai-nilai moral inilah saya dan beberapa teman dari sebuah kelompok WA (WhatsApp ) pada hari Senin 10 November 2014 yang lalu, menyelenggarakan sebuah diskusi kecil di Gedung Joang, Jakarta, dengan para pemuka agama (lintas agama) untuk menggali nilai-nilai kepahlawanan baru untuk dikembangkan ke masa yang akan datang.
Nilai kepahlawanan zaman sekarang adalah antikorupsi. Semua orang tahu bahwa bukan barang gampang untuk tidak korupsi di tengah lingkungan yang semua orang korupsi. Diperlukan keberanian, kenekatan, dan yang jelas pengorbanan untuk bersikap antikorupsi di zaman sekarang.
Karena itu, tokoh-tokoh yang berani antikorupsi seperti Ahok harus kita dorong, karena mereka itulah pahlawan yang sebenarnya. Tokoh seperti inilah yang harus dijadikan ikon pahlawan hari ini, yaitu tokoh yang jadi fans- nya generasi muda, bukan lagi Bung Tomo yang (dengan segala hormat kepada beliau) sudah menjadi masa lalu.
Berdasarkan definisi Dr Zimbardo seperti di atas, siapa pun bisa tiba-tiba menjadi pahlawan kalau ada situasi-situasi yang mendadak mendesak seperti yang dialami bapak penolong tadi. Dengan definisi Dr Zimbardo, setiap orang bisa jadi pahlawan asalkan dia mau mengorbankan dirinya sendiri untuk kepentingan yang lebih besar atau orang lain.
Namun, tampaknya bukan itu yang dipahami oleh para penggembira di perayaan 10 November 2014 yang baru lalu di Jakarta. Di ruangan lain dari Gedung Joang, ada beberapa ibu yang katanya mau demo ke salah satu direktorat jenderal, karena katanya rumah salah satu ibu itu digusur oleh instansi ditjen itu, padahal ibu itu janda pahlawan yang mendapat bintang jasa dari pemerintah.
Di jalanan, ribuan buruh berdemo minta kenaikan UMR, karena mereka merasa sudah berjasa bekerja untuk negeri ini sehingga layaklah kalau upahnya dinaikkan. Dan, lebih banyak lagi anggota ormas yang berdemo karena merasa sudah menertibkan Ibu Kota dari kemaksiatan sehingga merasa dirinya sudah jadi pahlawan dan menuntut agar Ahok turun dari jabatan gubernur DKI.
Seperti itulah orangorang Indonesia yang merayakan Hari Pahlawan. Mereka merasa dirinya adalah pahlawan, padahal tidak ada pahlawan yang merasa dirinya sendiri pahlawan, kecuali pahlawan kesiangan.
Guru Besar Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia
Tulisan ini kesiangan. Hari Pahlawan sudah lewat, kok baru nulis tentang pahlawan? Dalam dunia pers istilahnya ”sudah lewat momentumnya”. Tetapi memang saya tidak bermaksud mengejar momentum, apalagi ”kejar tayang”.
Saya justru ingin melihat apa saja yang dilakukan oleh anak-anak bangsa ini untuk memperingati Hari Pahlawan di era Revolusi Mental ini. Adakah perubahan perilaku atau masih sama saja dengan yang dulu-dulu? Tetapi persis seperti yang sudah saya duga, acara Hari Pahlawan masih yang itu-itu juga: peragaan perang di Surabaya tanggal 10 November 1945.
Dengan Bung Tomo mengepalkan tangan ke atas, dan anak-anak sekolah berpakaian ala seragam tentara rakyat yangsudahtertanamdibenak mereka, yaitu seragam warna cokelat khaki , dengan simbol merah-putih di dada, dan ikat kepala merah-putih terbuat dari ikat leher Pramuka (walaupun zaman itu belum ada Pramuka). Tidak aneh, kalau keesokan harinya, pascaperingatannya, orang sudah lupa lagi pada hari Pahlawan, apalagi pada makna kepahlawanan itu sendiri.
Pada tahun 2008, di sebuah Kongres Psikologi Internasional di Berlin, Jerman, saya menghadiri sebuah paparan tentang heroisme (kepahlawanan) oleh psikolog sosial paling kondang saat ini, Dr Philip Zimbardo. Dalam paparan yang dihadiri sekitar 1.000 psikolog sedunia itu, Dr Zimbardo menayangkan sebuah rekaman CCTV singkat yang sangat mencekam.
Dalam CCTV itu, tampak suasana di sebuah stasiun Metro (kereta api bawah tanah) di London, dengan sebuah kereta api sedang meluncur dari kegelapan dan sudah terlihat lampunya akan segera masuk kawasan stasiun. Tiba-tiba seorang balita terjatuh dari kereta dorong ibunya yang berdiri terlalu di pinggir peron (tempat tunggu penumpang). Balita itu pun jatuh langsung masuk di tengah-tengah dua rel yang sekejap lagi akan dilewati kereta api.
Seketika semua orang menjerit histeris, dan tentu saja ibu yang malang itu berteriak paling histeris. Semua panik. Sebentar lagi si balita akan remuk digilas kereta api. Tetapi tiba-tiba sesosok laki-laki meloncat turun dari peron ke rel dan segera bertiarap dengan memeluk balita. Sekejap kemudian kereta api Metro menderu lewat di atas kepala mereka, dan ketika kereta itu berhenti, balita dan lakilaki itu sama-sama selamat, tidak ada yang terluka sedikit pun.
Pasca peristiwa itu laki-laki penolong itu diwawancara, dan ternyata dia sendiri punya dua anak. Satu di antaranya masih balita. Ia mengatakan bahwa tidak berpikir panjang ketika menolong balita. Spontan ia meloncat saja untuk melindungi balita, dan akhirnya memang balita itu selamat. Dr Zimbardo kemudian memberikan analisisnya tentang perilaku kepahlawanan.
Seorang pahlawan itu, kata Dr Zimbardo, hanya mau menolong orang lain, atau menyelamatkan orang banyak, tanpa memikirkan keselamatan, apalagi keuntungan untuk dirinya sendiri. Arti kepahlawanan (heroisme dari kata Yunani kuno hero) itu sendiri adalah keberanian atau pengorbanan diri sendiri yang ditunjukkan seseorang dalam keadaan yang sangat berbahaya, atau dari posisinya yang sangat lemah, namun tetap berani mengambil risiko demi kebaikan yang lebih besar untuk keseluruhan kelompok yang lebih besar atau umat manusia.
Awalnya istilah ini hanya untuk dunia militer/ perang, tetapi belakangan banyak digunakan dalam kaitannya dengan nilai-nilai moral. Dalam kaitannya dengan nilai-nilai moral inilah saya dan beberapa teman dari sebuah kelompok WA (WhatsApp ) pada hari Senin 10 November 2014 yang lalu, menyelenggarakan sebuah diskusi kecil di Gedung Joang, Jakarta, dengan para pemuka agama (lintas agama) untuk menggali nilai-nilai kepahlawanan baru untuk dikembangkan ke masa yang akan datang.
Nilai kepahlawanan zaman sekarang adalah antikorupsi. Semua orang tahu bahwa bukan barang gampang untuk tidak korupsi di tengah lingkungan yang semua orang korupsi. Diperlukan keberanian, kenekatan, dan yang jelas pengorbanan untuk bersikap antikorupsi di zaman sekarang.
Karena itu, tokoh-tokoh yang berani antikorupsi seperti Ahok harus kita dorong, karena mereka itulah pahlawan yang sebenarnya. Tokoh seperti inilah yang harus dijadikan ikon pahlawan hari ini, yaitu tokoh yang jadi fans- nya generasi muda, bukan lagi Bung Tomo yang (dengan segala hormat kepada beliau) sudah menjadi masa lalu.
Berdasarkan definisi Dr Zimbardo seperti di atas, siapa pun bisa tiba-tiba menjadi pahlawan kalau ada situasi-situasi yang mendadak mendesak seperti yang dialami bapak penolong tadi. Dengan definisi Dr Zimbardo, setiap orang bisa jadi pahlawan asalkan dia mau mengorbankan dirinya sendiri untuk kepentingan yang lebih besar atau orang lain.
Namun, tampaknya bukan itu yang dipahami oleh para penggembira di perayaan 10 November 2014 yang baru lalu di Jakarta. Di ruangan lain dari Gedung Joang, ada beberapa ibu yang katanya mau demo ke salah satu direktorat jenderal, karena katanya rumah salah satu ibu itu digusur oleh instansi ditjen itu, padahal ibu itu janda pahlawan yang mendapat bintang jasa dari pemerintah.
Di jalanan, ribuan buruh berdemo minta kenaikan UMR, karena mereka merasa sudah berjasa bekerja untuk negeri ini sehingga layaklah kalau upahnya dinaikkan. Dan, lebih banyak lagi anggota ormas yang berdemo karena merasa sudah menertibkan Ibu Kota dari kemaksiatan sehingga merasa dirinya sudah jadi pahlawan dan menuntut agar Ahok turun dari jabatan gubernur DKI.
Seperti itulah orangorang Indonesia yang merayakan Hari Pahlawan. Mereka merasa dirinya adalah pahlawan, padahal tidak ada pahlawan yang merasa dirinya sendiri pahlawan, kecuali pahlawan kesiangan.
(bbg)