Luruskan Orientasi Pengabdian DPR

Sabtu, 08 November 2014 - 12:27 WIB
Luruskan Orientasi Pengabdian...
Luruskan Orientasi Pengabdian DPR
A A A
ADITYA ANUGRAH MOHA
Wakil Sekretaris Fraksi Partai Golkar DPR RI

Bukan hanya memperburuk citra parlemen di mata publik, berlarutlarutnya kisruh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bisa merusak seluruh tatanan. Tidak ada yang diuntungkan.

Kerusakan itu bahkan akan dibebankan ke pundak rakyat dan negara. Sebelum kerusakan itu terjadi, Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) di DPR harus musyawarah dan bermufakat meluruskan kembali fokus pengabdian DPR. Hingga pekan kedua November 2014, DPR RI terus dihujani kecaman oleh berbagai elemen masyarakat karena konflik KMP versus KIH tak kunjung terselesaikan. Pimpinan DPR yang sah secara legal dipegang oleh KMP ditolak oleh KIH dengan membuat “DPR tandingan”.

Publik melihat DPR seperti anak kecil yang tak mampu menyelesaikan persoalan akibat ulahnya sendiri. Di ruang publik, kesan yang mengemuka bukan hanya citra parlemen yang semakin bertambah buruk, melainkan juga DPR yang tidak produktif karena sibuk dengan urusannya sendiri. DPR telah menjadi objek tontonan yang bukan hanya tidak lucu, tetapi justru membuat marah banyak orang.

Alih-alih membahas program yang berkait langsung dengan kepentingan rakyat, anggota DPR malah saling cakar. Publik sudah sampai pada kesimpulan final bahwa DPR periode sekarang ini sudah terbelah; Kubu KMP di sini dan KIH di sana. Publik akhirnya harus mengajukan pertanyaan klise ini; ke arah mana orientasi pengabdian DPR? Kepada rakyat dan negara, atau kepada dirinya sendiri?

Jika situasi di DPR sekarang ini dihadap-hadapkan dengan langkah dan gerak pemerintah, pemandangannya tampak sangat kontras. Roda pemerintahan baru berputar dengan kecepatan tinggi. Rakyat di berbagai pelosok Tanah Air antusias menyimak dan menyikapi cara kerja KabinetKerjapimpinanPresiden Joko Widodo-Wakil Presiden Jusuf Kalla (Jokowi-JK) serta para menterinya.

Kesimpulannya, DPR seperti terisolasi dari dinamika rakyat dan pemerintah. Kini pertanyaannya, sampai kapan DPR akan terus terisolasi dari dinamika itu? Tidak ada jawaban lain kecuali DPR harus segera bersinergi dengan pemerintah dan rakyat. Komunitas bangsa ini akan tampak sangat bodoh jika DPR tidak bisa segera keluar dari perangkap kisruh sekarang ini.

DPR, seperti masyarakat kebanyakan, harus mampu move on. Apa yang sedang berkembang di DPR saat ini adalah bibit instabilitas. Diyakini, baik KMP maupun KIH menyadari betul risiko ini. Kalau berlarut-larut, kecenderungan berikutnya adalah munculnya kesan ketidakpastian. Kalau ketidakpastian itu berkepanjangan, bangsa dan negara ini bukannya bergerak maju, melainkan set back.

Kepercayaan rakyat terhadap semua institusi negara, termasuk pemerintah dan DPR, akan merosot. Bukan tidak mungkin rakyat akan memberi respons dengan cara-nya sendiri. Persepsi komunitas internasional terhadap Indonesia pun akan berubah jadi negatif.

Dalam konteks mewujudkan pembangunan berkelanjutan sangat berbahaya jika negara selalu dalam kondisi tidak stabil atau berselimut ketidakpastian. Semua potensi kekuatan ekonomi lokal akan dihantui keraguan. Komunitas internasional, terutama investor asing, pun akan enggan menanam modal di negara ini.

Fokus Pengabdian

Upaya memulihkan dan menegakan kembali wibawa DPR harus dimulai dengan inisiatif dari semua unsur kekuatan politik di DPR. Semua perlu bersepakat menyesuaikan persoalan oleh DPR sendiri. Wacana atau saran penyelesaian konflik dengan melibatkan serta menghadirkan pihak eksternal, seperti peran ketua umum partai politik (parpol) atau pimpinan lembaga tinggi negara lainnya, sebaiknya tidak diikuti.

Kalau melibatkan unsur eksternal, para politisi di Senayan bisa menjadi bahan olok-olok publik karena akan dinilai tak mampu mengatasipersoalannya sendiri. Inisiatif itu harus diawali dengan iktikad baik dan keberanian kubu KMP dan KIH di DPR duduk satu meja dan berdialog denganagenda utamameluruskan orientasi pengabdian DPR kepada negara dan rakyat.

Dengan proses pelurusan orientasi itu, DPR secara institusi harus melihat keluar, menyelami aspirasi rakyat, serta menyimak apa saja program yang sedang dan akan dijalankan pemerintah sebagai mitra. Dalam kondisi DPR yang terbelah masing-masing kubu memang tetap bisa melihat keluar.

Tetapi, tidak mungkin terbangun keseragaman dalam memahami aspirasi rakyat atau menyikapi program-program yang akan maupun sedang dijalani pemerintah. Padahal, demi disiplin anggaran misalnya, cara pandang DPR yang utuh menjadi syarat mutlak. Pemerintah tidak mungkin harus dipaksa-paksa untuk hanya mendengar KMP ataumenunggu persetujuanKIH di DPR.

Tak perlu ditutup-tutupi lagi bahwa alokasi kursi pimpinan alat kelengkapan dewan (AKD) menjadi akar masalah yang menyebabkan KMP dan KIH harus berhadap-hadapan di DPR. Kini, setelah masalah ini menyebabkan DPR terbelah, baik KMP maupun KIH harus berinisiatif serta berdialog mencari jalan keluar agar persoalannya tidak berkepanjangan.

Pijakan utamanya, KMPKIH harus saling menghormati posisi masing-masing dan realistis terhadap fakta tentang siapa yang menggenggam posisi mayoritas dan siapa di posisi minoritas. Tak kalah pentingnya adalah menghormati dan mengakui hak masing-masing. KMP dan KIH harus mau saling mendengar apa yang menjadi keinginan masing-masing kubu.

Jika sampai pada persoalan yang pelik, KMP dan KIH secara moral harus berani menempuh cara musyawarah. Kedua kubu juga perlu menahan diri untuk tidak saling menyerang di ruang publik serta bersepakat tidak lagi menjadikan DPR tontonan yang menguras emosi publik. Kalau hari-hari sebelumnya, hampir semua rincian masalah diobral ke ruang publik, sudah waktunya untuk melokalisasi sejumlah masalah teknis di ruang rapat.

Tujuannya, ruang publik tidak melulu dibisingkan oleh silang pendapat atau saling serang kubu KMP versus kubu KIH. Sangat elegan jika masingmasing tidak mengedepankan ego kubu. Ketika DPR secara institusi melihat keluar akan tampak bahwa pemerintah sedang bergerak sangat cepat untuk menangani sejumlah persoalan kenegaraan.

Salah satu persoalan terkini yang harus digarap bersama oleh pemerintah dan DPR adalah upaya menyehatkan postur anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Opsi yang dipilih pemerintah adalah mengoreksi kebijakan atau politik subsidi, utamanya subsidi bahan bakar minyak (BBM). Sebelum memfinalkan rumusan kebijakan baru tentang subsidi BBM, pemerintah tentu perlu berkonsultasi dengan DPR.

Kalau DPR-nya belum utuh, kepada siapa pemerintah harus berkonsultasi? Apalagi, pemerintahan Jokowi-JK mengeskalasi menu proyek di sektor kemaritiman dan perikanan. Karena proyek di sektor kemaritiman dan perikanan itu akan melibatkan kepentingan puluhan juta warga negara, pandangan, saran dan rekomendasi DPR yang utuh pasti sangat dibutuhkan pemerintah.

Begitu pula di bidang kesehatan. Kasus meninggalnya bayi dalam perawatan inkubator di sebuah rumah sakit di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, beberapa waktu lalu misalnya. Seharusnya DPR melalui Komisi IX sudah wajib turun lakukan fungsi pengawasan.

Tetapi, karena alat kelengkapan DPR baru terbentuk akhirnya harus menunggu prosesnya. Padahal rakyat sudah menjerit, bahkan merenggang nyawa. DPR harus segera move on agar bisa berbaur dalam dinamika pembangunan bangsa. Demi negeri yang sama kita miliki.
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6755 seconds (0.1#10.140)