Democrazy di Parlemen
A
A
A
Masalah negeri ini sudah sedemikian kompleks dan beragam. Pemerintahan sekarang memiliki beban dan tanggung jawab besar untuk bisa menyelesaikan kompleksitas tersebut.
Bijaknya, siapa pun tentu harus berusaha agar tidak lagi membebani pemerintahan dengan beban masalah yang semakin melengkapi keruwetan. Maka itu, kedewasaan berpolitik menjadi syarat mutlak agar tak lagi menambah daftar panjang masalah- masalah yang harus dituntaskan. Contohnya dalam beberapa hari ini, tensi politik di parlemen kembali memanas. Ketidakpuasan atas hasil penentuan alat kelengkapan dewan (AKD) dan pimpinan komisi menjadi pemicunya.
KMP menyapu bersih seluruh AKD dan komisi dan tak menyisakan sedikit pun ruang bagi KIH. Reaksinya, KIH membentuk pimpinan DPR tandingan. KIH yang dimotori PDIP berdalih pembentukan pimpinan DPR ini dilakukan karena KMP menutup ruang komunikasi dan menciptakan otoritarianisme di Parlemen. Namun, pertanyaan pentingnya adalah apakah membuat tandingan ini dibenarkan? Apa dasar hukumnya? Ataukah ini hanya reaksi situasional semata agar ada bargaining position di parlemen?
Sulit menampik bahwa faktanya semua proses politik, baik dari dominasi KMP maupun reaksi membentuk pimpinan DPR tandingan oleh KIH merupakan manifestasi dari syahwat politik berkuasa. Namun dalam konteks ini, dinamika politik yang berlangsung sudah tak lagi menggubris kaidah-kaidah yang ditetapkan dalam konstitusi. Sudah tak ada lagi dinamika politik yang mengedepankan prinsip-prinsip penting dalam demokrasi Pancasila, yakni musyawarah mufakat. Demokrasi yang seharusnya hadir di sana sudah tak ada lagi dan digantikan dengan democrazy .
Tidak Dibenarkan
Membuat tandingan meski sifatnya sementara tentulah tidak dibenarkan. Tidak ada dalam konstitusi kita yang membenarkan terbentuknya dualisme kepemimpinan di DPR. Bahkan kritik kerasnya, jika terus dipaksakan dan terus dilangsungkan justru akan merusak tatanan kenegaraan Indonesia.
Reaksi ketidakpuasan semestinya tetap disalurkan secara konstitusional, bukan dengan cara yang tidak memiliki dasar hukum. Jika sudah demikian, kerugian terbesar pastinya akan ditanggung rakyat karena para wakilnya terlalu sibuk berdinamika dan membuat kegaduhan terus di parlemen.
Secara politik, dualisme kepemimpinan ini juga hanya akan menciptakan ketidakpastian terutama terkait masa depan legislasi, arah dan target pencapaian Program Legislasi Nasional (Prolegnas), politik anggaran dan pengawasan. Bagaimana seluruh fungsi ini bisa dijalankan jika setiap pengajuan dan pembahasan selalu berujung konflik internal di parlemen. Bagaimana rakyat juga akan menaruh kepercayaan jika dewan terus menciptakan kegaduhan karena tarik menarik kepentingan.
Lebih jauh, dualisme kepemimpinan di DPR ini akan menarik Presiden Jokowi dalam pusaran konflik dan menciptakan dilema sikap. Mengapa? Karena hubungan yang terjalin tidak lagi bersifat official antara eksekutif dan legislatif, tetapi jatuh dalam magnet konflik kepentingan. Di satu sisi, Presiden harus tetap berhubungan baik dengan parlemen yang dalam seluruh unsur pimpinan di DPR didominasi oleh KMP.
Tetapi di sisi lain, Presiden pun juga tak mungkin meninggalkan KIH yang membentuk pimpinan DPR tandingan karena mereka merupakan koalisi partai pendukungnya. Bahkan jika mau menelaah lebih dalam, pembentukan pimpinan DPR tandingan justru membahayakan posisi Jokowi sebagai Presiden. Mengapa bisa begitu? Sebab kondisi chaos ini akan menciptakan kondisi genting atau keadaan mendesak sehingga menjadi alasan bagi Presiden untuk mengeluarkan Perppu.
Jika sudah demikian, hal ini akan dapat menimbulkan konflik berkelanjutan antara Presiden, KIH dan KMP dan tak menutup kemungkinan berakhir dengan pemakzulan. Karena itu, sikap Presiden pada nantinya juga akan menentukan bagaimana konstelasi politik ini berlangsung. Apakah berada di tengahtengah agar tidak terseret pada konflik kubu-kubuan di parlemen atau akan memihak ke salah satu?
Harus Diselesaikan
Secara hukum, sebetulnya tidak ada dualisme pimpinan DPR tersebut. Pasalnya, seluruh ketentuan dalam pemilihan hingga dilantik sebagai unsur pimpinan DPR sudah sesuai dengan UU. Bisa dikatakan, dibentuknya pimpinan DPR tandingan hanyalah reaksi situasional yang disebabkan ketidakpuasan terhadap mekanisme politik yang dijalankan di DPR.
Akan tetapi, jika ini terus berlanjut tidak menutup kemungkinan akan berakibat fatal bagi tatanan hukum kenegaraan dan juga politik. Itulah mengapa persoalan dualisme ini harus segera diselesaikan. Penyelesaian yang paling bisa dilakukan adalah dengan melakukan islah politik, membangun kembali komunikasi yang mengedepankan kepentingan rakyat, dan membangun kesejajaran dalam relasi.
Ini penting agar setiap anggota di masing-masing kubu tidak lagi terjebak dalam pemikiran sentrisme politik, atau istilah lainnya adalah hanya ingin sekedar menang-menangan. Sesuai dengan filosofi dasar dari politik, yakni upaya untuk mencapai kebaikan bersama, maka setiap elemen haruslah mulai menyadari pentingnya kebersamaan untuk kepentingan yang lebih besar.
Satu pemikiran penting lainnya adalah bagaimana kekuasaan memang menjadi tujuan bagi semua elemen dan aktor- aktor politik, sehingga usaha politik yang dilakukan akan selalu diorientasikan hanyalah untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan. Tetapi dalam konteks lembaga perwakilan yang berlandaskan pada demokrasi Pancasila, maka setiap bagian dari kekuasaan haruslah terdistribusi secara adil dan merata.
Jika tidak, hanya akan menciptakan hegemoni kekuasaan yang cenderung korup dan sewenang-wenang. Semoga ada kesadaran dari para elite dan pemimpin negeri ini untuk menyelesaikan masalah ini demi kemajuan dan kebaikan bersama.
IDIL AKBAR
Staf Pengajar FISIP Unpad dan Peneliti di Nusantara Institute
Bijaknya, siapa pun tentu harus berusaha agar tidak lagi membebani pemerintahan dengan beban masalah yang semakin melengkapi keruwetan. Maka itu, kedewasaan berpolitik menjadi syarat mutlak agar tak lagi menambah daftar panjang masalah- masalah yang harus dituntaskan. Contohnya dalam beberapa hari ini, tensi politik di parlemen kembali memanas. Ketidakpuasan atas hasil penentuan alat kelengkapan dewan (AKD) dan pimpinan komisi menjadi pemicunya.
KMP menyapu bersih seluruh AKD dan komisi dan tak menyisakan sedikit pun ruang bagi KIH. Reaksinya, KIH membentuk pimpinan DPR tandingan. KIH yang dimotori PDIP berdalih pembentukan pimpinan DPR ini dilakukan karena KMP menutup ruang komunikasi dan menciptakan otoritarianisme di Parlemen. Namun, pertanyaan pentingnya adalah apakah membuat tandingan ini dibenarkan? Apa dasar hukumnya? Ataukah ini hanya reaksi situasional semata agar ada bargaining position di parlemen?
Sulit menampik bahwa faktanya semua proses politik, baik dari dominasi KMP maupun reaksi membentuk pimpinan DPR tandingan oleh KIH merupakan manifestasi dari syahwat politik berkuasa. Namun dalam konteks ini, dinamika politik yang berlangsung sudah tak lagi menggubris kaidah-kaidah yang ditetapkan dalam konstitusi. Sudah tak ada lagi dinamika politik yang mengedepankan prinsip-prinsip penting dalam demokrasi Pancasila, yakni musyawarah mufakat. Demokrasi yang seharusnya hadir di sana sudah tak ada lagi dan digantikan dengan democrazy .
Tidak Dibenarkan
Membuat tandingan meski sifatnya sementara tentulah tidak dibenarkan. Tidak ada dalam konstitusi kita yang membenarkan terbentuknya dualisme kepemimpinan di DPR. Bahkan kritik kerasnya, jika terus dipaksakan dan terus dilangsungkan justru akan merusak tatanan kenegaraan Indonesia.
Reaksi ketidakpuasan semestinya tetap disalurkan secara konstitusional, bukan dengan cara yang tidak memiliki dasar hukum. Jika sudah demikian, kerugian terbesar pastinya akan ditanggung rakyat karena para wakilnya terlalu sibuk berdinamika dan membuat kegaduhan terus di parlemen.
Secara politik, dualisme kepemimpinan ini juga hanya akan menciptakan ketidakpastian terutama terkait masa depan legislasi, arah dan target pencapaian Program Legislasi Nasional (Prolegnas), politik anggaran dan pengawasan. Bagaimana seluruh fungsi ini bisa dijalankan jika setiap pengajuan dan pembahasan selalu berujung konflik internal di parlemen. Bagaimana rakyat juga akan menaruh kepercayaan jika dewan terus menciptakan kegaduhan karena tarik menarik kepentingan.
Lebih jauh, dualisme kepemimpinan di DPR ini akan menarik Presiden Jokowi dalam pusaran konflik dan menciptakan dilema sikap. Mengapa? Karena hubungan yang terjalin tidak lagi bersifat official antara eksekutif dan legislatif, tetapi jatuh dalam magnet konflik kepentingan. Di satu sisi, Presiden harus tetap berhubungan baik dengan parlemen yang dalam seluruh unsur pimpinan di DPR didominasi oleh KMP.
Tetapi di sisi lain, Presiden pun juga tak mungkin meninggalkan KIH yang membentuk pimpinan DPR tandingan karena mereka merupakan koalisi partai pendukungnya. Bahkan jika mau menelaah lebih dalam, pembentukan pimpinan DPR tandingan justru membahayakan posisi Jokowi sebagai Presiden. Mengapa bisa begitu? Sebab kondisi chaos ini akan menciptakan kondisi genting atau keadaan mendesak sehingga menjadi alasan bagi Presiden untuk mengeluarkan Perppu.
Jika sudah demikian, hal ini akan dapat menimbulkan konflik berkelanjutan antara Presiden, KIH dan KMP dan tak menutup kemungkinan berakhir dengan pemakzulan. Karena itu, sikap Presiden pada nantinya juga akan menentukan bagaimana konstelasi politik ini berlangsung. Apakah berada di tengahtengah agar tidak terseret pada konflik kubu-kubuan di parlemen atau akan memihak ke salah satu?
Harus Diselesaikan
Secara hukum, sebetulnya tidak ada dualisme pimpinan DPR tersebut. Pasalnya, seluruh ketentuan dalam pemilihan hingga dilantik sebagai unsur pimpinan DPR sudah sesuai dengan UU. Bisa dikatakan, dibentuknya pimpinan DPR tandingan hanyalah reaksi situasional yang disebabkan ketidakpuasan terhadap mekanisme politik yang dijalankan di DPR.
Akan tetapi, jika ini terus berlanjut tidak menutup kemungkinan akan berakibat fatal bagi tatanan hukum kenegaraan dan juga politik. Itulah mengapa persoalan dualisme ini harus segera diselesaikan. Penyelesaian yang paling bisa dilakukan adalah dengan melakukan islah politik, membangun kembali komunikasi yang mengedepankan kepentingan rakyat, dan membangun kesejajaran dalam relasi.
Ini penting agar setiap anggota di masing-masing kubu tidak lagi terjebak dalam pemikiran sentrisme politik, atau istilah lainnya adalah hanya ingin sekedar menang-menangan. Sesuai dengan filosofi dasar dari politik, yakni upaya untuk mencapai kebaikan bersama, maka setiap elemen haruslah mulai menyadari pentingnya kebersamaan untuk kepentingan yang lebih besar.
Satu pemikiran penting lainnya adalah bagaimana kekuasaan memang menjadi tujuan bagi semua elemen dan aktor- aktor politik, sehingga usaha politik yang dilakukan akan selalu diorientasikan hanyalah untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan. Tetapi dalam konteks lembaga perwakilan yang berlandaskan pada demokrasi Pancasila, maka setiap bagian dari kekuasaan haruslah terdistribusi secara adil dan merata.
Jika tidak, hanya akan menciptakan hegemoni kekuasaan yang cenderung korup dan sewenang-wenang. Semoga ada kesadaran dari para elite dan pemimpin negeri ini untuk menyelesaikan masalah ini demi kemajuan dan kebaikan bersama.
IDIL AKBAR
Staf Pengajar FISIP Unpad dan Peneliti di Nusantara Institute
(ars)