Geopolitik Pangan dan Jokowi-JK

Kamis, 23 Oktober 2014 - 19:12 WIB
Geopolitik Pangan dan...
Geopolitik Pangan dan Jokowi-JK
A A A
KHUDORI
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
Penulis Buku “Ironi Negeri Beras“


Bumi kini dihuni lebih tujuh miliar kepala. Tiap malam ada 219.000 perut baru yang minta diisi makanan. Dunia terasa makin sesak. Kemajuan ilmu pengetahuan, pelayanan kesehatan dan kualitas pangan membuat harapan hidup mencapai 70 tahun. Di sisi lain, luas lahan pertanian kian sempit, degradasi lingkungan meluas, ketersediaan air makin terbatas, dan emisi gas rumah kaca yang tak terkendali membuat anomali iklim dan cuaca sulit diramal. Kelaparan makin sulit dilenyapkan dari muka bumi. Setiap malam satu dari delapan penduduk bumi beranjak tidur sembari menahan lapar. Satu di antara empat anak di negara berkembang menderita kurang gizi. Mereka yang lapar hampir semiliar jiwa.

Mereka lapar bukan karena tak ada makanan. Produksi pangan saat ini cukup buat menyuapi 1,5 kali warga Bumi. Praktik pertanian berkelanjutan bahkan bisa memberi makan 10miliar jiwa (Foodfirst, 2011 ), jumlah populasi Bumi pada 2050. Pelbagai inovasi pertanian telah menepis pesimisme kaum Malthusian. Masalahnya, pangan yang melimpah tidak mengalir pada yang memerlukan, tapi (hanya) menuju yang berduit. Postulat peraih Nobel Ekonomi 1998 Amartya Sen berlaku: akses dan kebebasan lebih penting ketimbang ketersediaan. Pertumbuhan ekonomi tinggi bukan obat mujarab menghapus kelaparan.

Globalisasi mengubah model pertanian, terutama di negara berkembang, secara radikal: dari terdiversifikasi dalam skala kecil jadi model ekspor-industrial yang dihela korporasi global, seperti Monsanto, Cargill, Syngenta dan ADM. Dengan sistem rantai pangan (agrifood chain), kini multinational corporation (MNC) mengontrol rantai pangan, dari gen sampai rak-rak di supermarket tanpa ada titik-titik penjualan (Eagleton, 2005). Perubahan ini diikuti tergerusnya kearifan dan kekayaan hayati lokal yang selama berabad-abad terbukti bisa menjamin ketahanan pangan warga.

Sektor pangan dari produksi hingga ritel kian terkonsentrasi. Menurut South Center (2005), 85-90% perdagangan pangan dunia dikontrol hanya 5 MNC; 75% perdagangan serealia dikuasai 2 MNC; 2 MNC menguasai 50% perdagangan + produksi pisang; 3 MNC menguasai 83% perdagangan kakao; 3 MNC menguasai 85% perdagangan teh; 5 MNC menguasai 70% produksi tembakau; 7 MNC menguasai 83% produksi dan perdagangan gula; 4 MNC menguasai 2/3 pasar pestisida, 1/4; bibit (termasuk paten) dan menguasai 100% pasar global bibit transgenik. MNC mengontrol harga input pertanian, mempraktikkan perjanjian jual-beli yang tidak fair, membentuk pasar kartel, mendepak perusahaan lokal dari pasar, dan membeli hasil petani dengan harga murah.

Konsekuensi arsitektur pangan seperti ini, pertama, instabilitas jadi keniscayaan. Krisis pangan 2008 dan 2011 jadi bukti: harga bergerak bak roller coaster. Kedua, krisis pangan berulang. Celakanya, krisis pangan selalu bersentuhan dengan instabilitas politik. Krisis pangan 2008 memantik kekerasan di Pantai Gading, 24 orang mati dalam huru-hara di Kamerun dan pemerintahan Haiti jatuh. Krisis pangan 2011 menciptakan revolusi politik di jazirah Arab. Rezim Ben Ali di Tunisia, Husni Mubarak di Mesir, dan Khadafi di Libya jatuh karena negara-negara ini menggantungkan 90% pangan dari impor.

Krisis pangan yang berulang, apalagi diiringi resesi ekonomi dan krisis BBM, membuat dunia rentan dalam ketidakpastian. Arsitektur politik global akan didominasi oleh pangan. Pertarungan dalam memenuhi dan mengontrol ketersediaan pangan jadi penentu gerak bandul geopolitik global. Kondisi ini memaksa setiap negara merancang politik pangan, pertamatama, untuk kepentingan domestik. Saat krisis, kampiun pangan seperti Rusia, Argentina, Thailand, dan Vietnam beramairamai menutup ekspor yang biasanya diikuti panic buying. Sebagai importir pangan yang besar, tahun 2013 mencapai USD14,4 miliar, nasib Indonesia sejatinya tak lebih baik dari negara-negara jazirah Arab.

Negara-negara importir pangan dan yang terbatas sumber daya lahan dan air namun berlimpah dana menciptakan instrumen pengambilalihan lahan pertanian bernama land grabbing. Tak hanya negara Teluk, TimurTengah, Jepangdan China, Uni Eropa dan Amerika Utara juga melakukannya. Sasarannya tidak hanya negara berlahan subur seperti Brasil, Rusia dan Indonesia, tapi juga negara pertanian miskin seperti Kamerun dan Etiopia.

Presiden dan wakil presiden, Jokowi-JK, sepertinya paham betul kondisi itu. Keduanya bertekad akan membawa Indonesiakembaliberdaulatdibidang pangan. Untuk mencapai itu, dalam visi, misi dan program aksi Jokowi-JK menguraikan sejumlah langkah: membagikan 9 juta hektar (ha) lahan ke petani, menambah kepemilikan lahan dari 0,3 ha jadi 2 ha, perbaikan irigasi di 3 juta ha lahan dan 25 bendungan hingga 2019, 1.000 desa berdaulat benih dan go organic hingga 2019, mencetak 1 juta ha lahan baru di luar Jawa, mendirikan bank pertanian dan UMKM, dan mendorong industri pengolahan.

Langkah ini tidak cukup membuat Indonesia (kembali) berdaulat pangan. Agar berdaulat pangan, pertama-tama petani sebagai pelaku utama harus berdaulat. Petani berdaulat bila memiliki tanah, bukan penggarap, apalagi buruh. Karena itu, pertama, untuk menjamin tegaknya kedaulatan pangan, akses dan kontrol petani pada sumber daya penting (tanah, air, benih, teknologi, dan finansial) harus dijamin lewat reforma agraria. Tanpa jaminan akses dan kontrol sumber daya produksi kedaulatan hanya omong kosong.

Kedua, sumber daya penting harus dikelola seoptimal mungkin guna memproduksi aneka pangan sesuai keragaman hayati dan kearifan lokal. Peningkatan produksi, produktivitas dan efisiensi usaha tani dan tata niaga takbisaditawar-tawar. Kebijakan ini harus ditopang perluasan lahan pangan, perbaikan infrastruktur, pembenahan sistem informasiharga, pasardanteknologi. Perluasan lahan merupakan keniscayaan karena ketersediaan lahan pangan per kapita Indonesia amat sempit, hanya 359 m2 untuk sawah, jauh dari Vietnam (960 m2), Thailand (5.226 m2), apalagi China (1.120 m2).

Ketiga, perlindungan petani terhadap sistem perdagangan yang tidak adil. Dalam lingkup sosial-ekonomi, negara perlu menjamin struktur pasar yang menjadi fondasi pertanian, baik pasar domestik maupun dunia, merupakan struktur pasar yang adil. Aneka perjanjian perdagangan bebas yang memasung petani harus direvisi. Dalam konteks lingkungan alam, petani perlu perlindungan atas berbagai kemungkinan kerugian bencana alam.

Keempat, membentuk kelembagaan pangan, seperti amanat Pasal 126-129 UU Pangan Nomor 18/2012. Rencana Jokowi-JK membentuk Kementerian (Kedaulatan) Pangan patut diapresiasi. Agar portofolio Kementerian Pertanian tidak berkurang, sebaiknya urusan pangan diserahkan ke kementerian ini. Namanya bisa saja menjadi Kementerian Pangan dan Pertanian. Tugas pokoknya adalah membantu presiden untuk merumuskan kebijakan, mengoordinasikan dan mengarahkan pembangunan pangan. Kementerian Pangan fokus pada perumusan kebijakan, koordinasi, sinkronisasi dan harmonisasi regulasi dari hulu ke hilir.
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1548 seconds (0.1#10.140)