Voting Pilkada: Berebut Tuah atas Nama Demokrasi

Jum'at, 03 Oktober 2014 - 11:56 WIB
Voting Pilkada: Berebut Tuah atas Nama Demokrasi
Voting Pilkada: Berebut Tuah atas Nama Demokrasi
A A A
PROF DR JAMAL WIWOHO SH MHUM
Guru Besar Fakultas Hukum dan Wakil Rektor II Universitas Sebelas Maret UNS Solo


Mei tahun 1998 banyak dikenal sebagai momentum reformasi sistem pemerintahan yang semula sentralisasi berubah menjadi desentralisasi.

Kala itu para mahasiswa bersama rakyat beramai- ramai melawan sistem pemerintahan orde baru yang sentralistik dan ingin mengubah sistem keterwakilan dalam menentukan pilihan kebijakan (policy) menjadi sistem langsung yang melibatkan partisipasi publik dalam pemilihan pimpinan baik nasional (presiden) maupun lokal (gubernur, bupati/ wali kota).

Euforia pemberdayaan masyarakat (society empowerment) itu kemudian dilegitimasi dalam sebuah rangkaian peraturan perundang-undangan yang dihasilkan satu tahun setelah reformasi 1998.

Ya, sejak tahun 1999 itulah maka Indonesia telah mendesain dan dipraktikkan lima tahun setelah itu dengan demokrasi secara langsung, yaitu sebuah kekuasaan yang diberikan dari rakyat, kepada rakyat dan untuk rakyat.

Dalam sistem itu, masyarakat dimobilisasi sebagai agen setiap perubahan dalam memilih pemimpin-pemimpinnya. Lebih dari satu dasawarsa, kita telah mempraktikkan demokrasi langsung itu, dan melalui rencana Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) itulah keberadaan sistem demokrasi di Indonesia diuji dan dikoyak kembali.

Ujian pertama tentu akan dipertanyakan bagaimana sikap dan pendapat lembaga pembuat undang-undang itu sendiri (presiden bersama-sama DPR). Sejak tahun 2012 pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri sudah menyusun dan mengajukan draf rancangan perubahan UU tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU No 32 tahun 2004). Setelah melalui pembahasan panjang dan alot, lima fraksi DPR ingin mengubah dari demokrasi langsung ke demokrasi tidak langsung yakni pemilihan melalui DPRD.

Kelima fraksi tersebut yakni Fraksi Partai Golongan Karya, Fraksi Partai Amanat Nasional, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan serta empat fraksi yang tetap menginginkan demokrasi langsung, yakni Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, dan Fraksi Hanura, sementara Fraksi Partai Demokrat kurang jelas posisinya.

Melalui perbebatan yang sangat alot dan mendebarkan RUU Pilkada yang rencananya disahkan pada 25 September, mundur sampai pukul 01.30 atau Jumat dini hari 26 September baru dapat diputuskan secara voting terbuka pada sidang paripurna DPR yang dihadiri hanya 361 anggota (karena Fraksi Partai Demokrat melakukan walkout). Dari voting terbuka tersebut 226 anggota DPR setuju pemilihan tidak langsung dan 135 anggota menyetujui pemilihan langsung dan tidak ada anggota yang abstain

Pro-Kontra

Palu “godam” voting pleno minus Fraksi Partai Demokrat dengan putusan kemenangan pemilihan tidak langsung tersebut memberikan legitimasi bahwa pemilihan gubernur, bupati/ wali kota dilakukan oleh DPRD dan bukan langsung oleh rakyat tersebut menimbulkan silang pendapat (pro-kontra) dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

Pendapat yang tidak setuju atas putusan pemilihan tidak langsung mengatakan dan berpijak bahwa hakikat demokrasi adalah kekuasaan dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat. Oleh karena itu, palu yang telah diketuk oleh Priyo Budi Santoso pagi dini hari tersebut dianggap telah mengambil dan mencabut hak-hak demokrasi rakyat.

Selain itu, putusan sidang paripurna tersebut juga telah dianggap mengambil hak dan merampok hak memilih jutaan rakyat untuk menentukan pemimpin di daerahnya baik provinsi, kabupaten, maupun kota madya. Putusan itu juga dianggap bahwa pilkada lewat DPRD hanya akan mengulangi rezim lama agar setiap kepala daerah tunduk, patuh, dan takut kepada DPRD.

Oleh karena itu, pilkada tidak langsung hanya menekankan dan hanya untuk kelompok tertentu, bukan kepentingan rakyat dan masyarakat pada umumnya. Selain itu, mereka berpendapat pilkada tak langsung baru ideal jika rakyat mewakili kekuatan sebagai pemberi mandat pada wakilnya di DPRD, sedangkan pemilihan DPRD kita senyatanya bukan untuk kepentingan-kepentingan itu.

Di samping itu, melihat kepentingan rakyat yang lebih besar, sistem pemilihan melalui DPRD memupuk politik dagang sapi serta transaksi politik yang dilakukan oleh anggota DPRD dalam bentuk suap-menyuap di lembaga yang bertugas sebagai legislasi, budgeter, serta lembaga kontrol pada daerah provinsi/ kabupaten/kota.

Pendapat yang menyetujui pilkada langsung dengan beberapa dalih yang menyeruak dan dengan dasar yang kuat, antara lain: Pertama, sila keempat Pancasila yang menyatakan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Kedua, tak ada satu larangan dalam UUD 45 karena UUD 45 hanya menyatakan bahwa presiden dipilih secara langsung, sedangkan gubernur, bupati/wali kota dipilih secara demokratis.

Ketentuan inilah yang kini diperebutkan antara demokrasi langsung dan demokrasi tidak langsung. Ketiga , besarnya biaya yang dianggarkan dalam APBD yang digunakan pemilihan langsung telah mengganggu keuangan daerah yang mestinya dapat digunakan untuk memberikan dan meningkatkan pelayanan publik (public service) serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah.

Keempat, adanya pendapat yang mengatakan bahwa pemilihan langsung ternyata belum dapat menjaring dan menemukan pemimpin-pemimpin daerah yang bebas KKN, ternyata ada banyak kepala daerah yang bermasalah dengan hukum (setidaknya ada sekitar 321 orang kepala daerah kini sedang berurusan dengan aparat penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan).

Namun demikian, adanya dengan segala kekurangan atas sistem tidak langsung namun dalam sisi lain masih nampak adanya kelebihan-kelebihan, antara lain: dapat dicegah dan dihindari adanya kerusuhan dan kebencian antar pendukung demikian pula tidak ada persaingan antar tim sukses masing-masing calon serta dapat dicegah dan dapat dihindari adanya demonstrasi anarkis dari calon yang kalah

Selain itu, sistem tidak langsung dapat mencegah adanya politik uang terhadap rakyat serta dapat dicegahnya penggunaan barang-barang milik pemerintah daerah disalahgunakan dalam penggunaannya pada masa kampanye.

Di samping itu, sistem tidak langsung juga dapat dicegah pemaksaan dan penyalahgunaan aparat birokrasi sehingga birokrasi tetap netral. Satu hal yang tidak boleh dilupakan dalam sistem tidak langsung adalah tidak ada gugatan ke MK.

Kontroversi antara pemilihan langsung maupun tidak langsung itu tidak pernah lepas dari kepentingan apa yang ada dalam setiap Fraksi DPR yang dipenuhi oleh para politisi “profesional”. Oleh karena itu, aspek politiklah yang dominan yakni saling mencari, merebut, dan mempertahankan kekuasaan itu atas nama yang sangat mendasar dari “tuah” demokrasi itu sendiri, yakni rakyat.
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5176 seconds (0.1#10.140)