Mafia vs Kilang Minyak
A
A
A
Membangun kilang minyak baru salah satu solusi menekan angka impor bahan bakar minyak (BBM) yang terus melambung dalam sepuluh tahun belakangan ini. Solusi tersebut bukan hal baru namun dalam sepuluh tahun terakhir ini pemerintah sama sekal itidak berhasil membangun satu kilang minyak-pun.
Padahal, pemerintah pasti memahami bahwa keberadaan sarana pengolahan minyak mentah menjadi bahan bakar tersebut salah satu faktor kunci pendukung ketahanan energi nasional. Pembangunan kilang hanya berkembang dari wacana ke wacana tanpa upaya keras untuk mewujudkannya. Tuduhan negatif sejumlah pihak pun menghujat bahwa pemerintah sengaja tak memprioritaskan pembangunan kilang karena lebih mementingkan memelihara mafia minyak untuk kepentingan oknum tertentu pada elit penguasa.
Benarkah? Tuduhan itu memang sulit membuktikan tetapi indikator ke arah adanya mafia minyak juga sulit ditepis. Selama ini, kabar yang berkembang bahwa mafia minyak mengambil keuntungan di balik impor minyak yang jumlahnya kian melambung seiring kebutuhan konsumsi di dalam negeri yang terus melonjak. Aksi sejumlah kelompok masyarakat yang telah meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut mafia minyak belum ada titik terang. Barangkali KPK masih mencari data dan dokumen yang bisa menyeret para mafia minyak tersebut. Di sisi lain, pemerintah selama ini selalu berargumentasi bahwa percepatan pembangunan kilang minyak terus diupayakan semaksimal mungkin namun begitu banyak kendalanya.
Sayangnya, pemerintah tidak pernah membeberkan kendala yang mengganjal pembangunan kilang tersebut, sehingga semakin menguatkan bahwa memang ada mafia minyak yang bermain. Setelah mendapat sorotan terus-menerus soal sulitnya membangun kilang minyak tanpa penjelasan resmi, akhirnya Pelaksana Tugas (Plt) Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Chairul Tanjung pun buka kartu. Dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR RI, kemarin, Chairul membeberkan bahwa pembangunan kilang minyak baru sulit direalisasikan karena terkait pemberian insentif tax holiday kepada investor.
Persoalan keringanan pajak itu memang menjadi persyaratan utama diajukan para calon investor. Pasalnya, nilai keekonomian pembangunan kilang sangat rendah sehingga investor selalu meminta keringanan pajak yang signifikan sebelum menanamkan modal. Kalau persoalan insentif pajak yang mengganjal selama ini, timbul pertanyaan besar mengapa pemerintah membiarkan dirinya terus tersandera pada persoalan tersebut. Karena itu, langkah Chairul Tanjung yang baru seumur jagung menjabat menteri koordinator (menko) perekonomian yang menyiapkan revisi durasi tax holiday untuk diperpanjang semoga menjadi solusi yang efektif menghadirkan kilang minyak baru.
Tim khusus yang melibatkan kementerian dan lembaga terkait dibentuk guna mengevaluasi fasilitas tax holiday saat ini. Karena kebutuhan pembangunan kilang minyak yang begitu mendesak jangan sampai hanya menjadi wacana lagi. Selama ini, pemerintah terjebak pada keterbatasan kilang minyak, sementara kebutuhan konsumsi BBM terus meningkat. Solusi instannya adalah membuka keran impor selebar-lebarnya. Namun, konsekuensi dari impor BBM yang tinggi itu adalah timbulnya defisit neraca perdagangan yang kian dalam, kemudian berdampak secara keseluruhan terhadap perkembangan perekonomian nasional.
Sepanjang periode Januari hingga Juli 2014, fakta membuktikan bahwa neraca perdagangan masih mencatat defisit sebesar USD1 miliar. Memang, neraca perdagangan non migas mencatatkan surplus sekitar USD6,7 miliar, tetap iter tekan oleh impor migas yang dengan defisit sebesar USD7,7 miliar. Hal itu menandakan bahwa kinerja ekspor kembali memberi harapan, namun sumbangsihnya menjadi luntur sepanjang neraca perdagangan masih tertekan yang menghasilkan defisit.
Jadi, tidak ada alasan untuk tidak mempermudah para investor yang berminat membangun kilang minyak. Apalagi, selama ini sebagaimana diklaim pihak Kementerian ESDM, belasan investor kilang siap mengikuti lelang pembangunan kilang minyak baru. Dan, pembangunan kilang minyak baru akan menghapus tuduhan bahwa pemerintah tidak pro kepada mafia minyak.
Padahal, pemerintah pasti memahami bahwa keberadaan sarana pengolahan minyak mentah menjadi bahan bakar tersebut salah satu faktor kunci pendukung ketahanan energi nasional. Pembangunan kilang hanya berkembang dari wacana ke wacana tanpa upaya keras untuk mewujudkannya. Tuduhan negatif sejumlah pihak pun menghujat bahwa pemerintah sengaja tak memprioritaskan pembangunan kilang karena lebih mementingkan memelihara mafia minyak untuk kepentingan oknum tertentu pada elit penguasa.
Benarkah? Tuduhan itu memang sulit membuktikan tetapi indikator ke arah adanya mafia minyak juga sulit ditepis. Selama ini, kabar yang berkembang bahwa mafia minyak mengambil keuntungan di balik impor minyak yang jumlahnya kian melambung seiring kebutuhan konsumsi di dalam negeri yang terus melonjak. Aksi sejumlah kelompok masyarakat yang telah meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut mafia minyak belum ada titik terang. Barangkali KPK masih mencari data dan dokumen yang bisa menyeret para mafia minyak tersebut. Di sisi lain, pemerintah selama ini selalu berargumentasi bahwa percepatan pembangunan kilang minyak terus diupayakan semaksimal mungkin namun begitu banyak kendalanya.
Sayangnya, pemerintah tidak pernah membeberkan kendala yang mengganjal pembangunan kilang tersebut, sehingga semakin menguatkan bahwa memang ada mafia minyak yang bermain. Setelah mendapat sorotan terus-menerus soal sulitnya membangun kilang minyak tanpa penjelasan resmi, akhirnya Pelaksana Tugas (Plt) Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Chairul Tanjung pun buka kartu. Dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR RI, kemarin, Chairul membeberkan bahwa pembangunan kilang minyak baru sulit direalisasikan karena terkait pemberian insentif tax holiday kepada investor.
Persoalan keringanan pajak itu memang menjadi persyaratan utama diajukan para calon investor. Pasalnya, nilai keekonomian pembangunan kilang sangat rendah sehingga investor selalu meminta keringanan pajak yang signifikan sebelum menanamkan modal. Kalau persoalan insentif pajak yang mengganjal selama ini, timbul pertanyaan besar mengapa pemerintah membiarkan dirinya terus tersandera pada persoalan tersebut. Karena itu, langkah Chairul Tanjung yang baru seumur jagung menjabat menteri koordinator (menko) perekonomian yang menyiapkan revisi durasi tax holiday untuk diperpanjang semoga menjadi solusi yang efektif menghadirkan kilang minyak baru.
Tim khusus yang melibatkan kementerian dan lembaga terkait dibentuk guna mengevaluasi fasilitas tax holiday saat ini. Karena kebutuhan pembangunan kilang minyak yang begitu mendesak jangan sampai hanya menjadi wacana lagi. Selama ini, pemerintah terjebak pada keterbatasan kilang minyak, sementara kebutuhan konsumsi BBM terus meningkat. Solusi instannya adalah membuka keran impor selebar-lebarnya. Namun, konsekuensi dari impor BBM yang tinggi itu adalah timbulnya defisit neraca perdagangan yang kian dalam, kemudian berdampak secara keseluruhan terhadap perkembangan perekonomian nasional.
Sepanjang periode Januari hingga Juli 2014, fakta membuktikan bahwa neraca perdagangan masih mencatat defisit sebesar USD1 miliar. Memang, neraca perdagangan non migas mencatatkan surplus sekitar USD6,7 miliar, tetap iter tekan oleh impor migas yang dengan defisit sebesar USD7,7 miliar. Hal itu menandakan bahwa kinerja ekspor kembali memberi harapan, namun sumbangsihnya menjadi luntur sepanjang neraca perdagangan masih tertekan yang menghasilkan defisit.
Jadi, tidak ada alasan untuk tidak mempermudah para investor yang berminat membangun kilang minyak. Apalagi, selama ini sebagaimana diklaim pihak Kementerian ESDM, belasan investor kilang siap mengikuti lelang pembangunan kilang minyak baru. Dan, pembangunan kilang minyak baru akan menghapus tuduhan bahwa pemerintah tidak pro kepada mafia minyak.
(mhd)