Pilkada Tak Langsung
A
A
A
Usulan pemilihan kepala daerah (pilkada) oleh DPRD terus menguat dalam pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Pilkada yang kini sedang digodok DPR.
Fenomena ini pun menimbulkan pro dan kontra, terutama saat fraksi-fraksi di DPR yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih solid mendukung sistem pemilihan tak langsung tersebut.
Sejumlah kalangan ramai-ramai mengkritik keras usulan pilkada tak langsung yang dinilainya bisa merusak demokratisasi yang selama ini telah tumbuh di Indonesia. Ada juga yang menyatakan pilkada oleh DPRD akan membajak kedaulatan rakyat.
Kelompok lain menyebut fenomena itu bakal melanggengkan politik oligarki di daerah. Ada lagi yang menilai pilkada tak langsung ini telah melanggar amanat reformasi karena tidak melibatkan rakyat secara langsung dalam pilkada.
Di alam demokrasi seperti ini perbedaan pendapat sah-sah saja dilakukan. Pun penilaian-penilaian di atas memang tak sepenuhnya juga salah. Namun, pilkada langsung yang selama ini telah dilaksanakan di seluruh Indonesia bukan tanpa cacat.
Banyak juga ihwal negatif yang muncul dari pelaksanaan pilkada langsung oleh rakyat tersebut. Sebaliknya, ide untuk mengusung kembali sistem pilkada tak langsung juga tidak salah.
Ada sejumlah alasan mengapa usulan pilkada oleh DPRD ini perlu mendapat perhatian serius dan perlu dicoba lagi dengan cara dan pengawasan yang lebih baik. Apalagi, cara ini juga diperbolehkan secara hukum alias konstitusional.
Pertama, pilkada langsung yang sudah berlaku sejak era pascareformasi ini punya banyak kelemahan. Tak bisa dimungkiri, pilkada langsung telah menimbulkan dampak buruk pada masalah hukum.
Sebagai bukti konkret, sedikitnya 309 kepala daerah produk pilkada langsung tersangkut masalah hukum. Mereka rata-rata dijebloskan penjara karena diduga terlibat kasus korupsi. Tentu fenomena ini sangat ironis saat pemerintah sedang giat-giatnya melakukan upaya dalam pemberantasan korupsi.
Selain itu, sudah bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa pilkada langsung ternyata juga diliputi banyak sekali politik uang (money politic ). Fenomena suap-menyuap yang telah lazim terjadi di masyarakat pada setiap pilkada ini tentu pada gilirannya akan merusak moral bangsa ini.
Pilkada oleh DPRD memang tidak serta-merta secara langsung akan menghapus politik uang. Politik uang mungkin tetap akan ada, namun potensinya bisa diminimalisasi.
Pengawasan terhadap politisi nakal pada pelaksanaan pilkada tak langsung ini akan lebih mudah karena jumlahnya sedikit ketimbang harus mengawasi seluruh masyarakat yang punya hak memilih.
Aparat hukum bisa mengawasi lebih ketat politisi tersebut. Jika terbukti melakukan tindakan tercela, tinggal dijerat secara hukum. Pilkada tak langsung ini setidaknya bisa meminimalisasi kerusakan moral yang sudah cukup parah akibat politik uang di masyarakat.
Kedua, pilkada langsung juga memiliki potensi lebih besar untuk terjadi konflik horizontal di masyarakat. Pengalaman selama ini pelaksanaan pilkada langsung banyak menimbulkan masalah dan gejolak di masyarakat.
Pilkada oleh DPRD ini diharapkan bisa mengurangi potensi konflik tersebut. Apalagi, sejauh ini pelaksanaan pilkada bisa dipastikan selalu berujung konflik kubu antarpasangan dengan membawa kasus ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Ketiga, pilkada langsung butuh dana besar. Pilkada tak langsung dinilai bisa menghemat anggaran negara yang bisa digunakan untuk membiayai sektor-sektor penting lain bagi kesejahteraan rakyat.
Kalau sama-sama sah secara hukum, kenapa kita tidak memilih pelaksanaan pilkada yang efektif dan efisien tersebut dibanding hanya mengejar cap demokrasi, namun belum tentu membawa kebaikan bagi negara ini.
Karena itu, bukan hal tabu dan buruk untuk memunculkan lagi sistem pilkada tak langsung dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Intinya, kita jangan alergi untuk menerima usulan yang bisa menyejahterakan negara ini.
Jangan menolak ide baik hanya karena usulan itu didukung mayoritas fraksi di DPR yang kebetulan merupakan lawan politik dari fraksi pendukung pemerintahan terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Proses pemilihan bupati dan wali kota atau mungkin juga gubernur yang dilakukan melalui mekanisme di DPRD yang transparan dan akuntabel bisa jadi lebih baik daripada hasil pilkada langsung.
Fenomena ini pun menimbulkan pro dan kontra, terutama saat fraksi-fraksi di DPR yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih solid mendukung sistem pemilihan tak langsung tersebut.
Sejumlah kalangan ramai-ramai mengkritik keras usulan pilkada tak langsung yang dinilainya bisa merusak demokratisasi yang selama ini telah tumbuh di Indonesia. Ada juga yang menyatakan pilkada oleh DPRD akan membajak kedaulatan rakyat.
Kelompok lain menyebut fenomena itu bakal melanggengkan politik oligarki di daerah. Ada lagi yang menilai pilkada tak langsung ini telah melanggar amanat reformasi karena tidak melibatkan rakyat secara langsung dalam pilkada.
Di alam demokrasi seperti ini perbedaan pendapat sah-sah saja dilakukan. Pun penilaian-penilaian di atas memang tak sepenuhnya juga salah. Namun, pilkada langsung yang selama ini telah dilaksanakan di seluruh Indonesia bukan tanpa cacat.
Banyak juga ihwal negatif yang muncul dari pelaksanaan pilkada langsung oleh rakyat tersebut. Sebaliknya, ide untuk mengusung kembali sistem pilkada tak langsung juga tidak salah.
Ada sejumlah alasan mengapa usulan pilkada oleh DPRD ini perlu mendapat perhatian serius dan perlu dicoba lagi dengan cara dan pengawasan yang lebih baik. Apalagi, cara ini juga diperbolehkan secara hukum alias konstitusional.
Pertama, pilkada langsung yang sudah berlaku sejak era pascareformasi ini punya banyak kelemahan. Tak bisa dimungkiri, pilkada langsung telah menimbulkan dampak buruk pada masalah hukum.
Sebagai bukti konkret, sedikitnya 309 kepala daerah produk pilkada langsung tersangkut masalah hukum. Mereka rata-rata dijebloskan penjara karena diduga terlibat kasus korupsi. Tentu fenomena ini sangat ironis saat pemerintah sedang giat-giatnya melakukan upaya dalam pemberantasan korupsi.
Selain itu, sudah bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa pilkada langsung ternyata juga diliputi banyak sekali politik uang (money politic ). Fenomena suap-menyuap yang telah lazim terjadi di masyarakat pada setiap pilkada ini tentu pada gilirannya akan merusak moral bangsa ini.
Pilkada oleh DPRD memang tidak serta-merta secara langsung akan menghapus politik uang. Politik uang mungkin tetap akan ada, namun potensinya bisa diminimalisasi.
Pengawasan terhadap politisi nakal pada pelaksanaan pilkada tak langsung ini akan lebih mudah karena jumlahnya sedikit ketimbang harus mengawasi seluruh masyarakat yang punya hak memilih.
Aparat hukum bisa mengawasi lebih ketat politisi tersebut. Jika terbukti melakukan tindakan tercela, tinggal dijerat secara hukum. Pilkada tak langsung ini setidaknya bisa meminimalisasi kerusakan moral yang sudah cukup parah akibat politik uang di masyarakat.
Kedua, pilkada langsung juga memiliki potensi lebih besar untuk terjadi konflik horizontal di masyarakat. Pengalaman selama ini pelaksanaan pilkada langsung banyak menimbulkan masalah dan gejolak di masyarakat.
Pilkada oleh DPRD ini diharapkan bisa mengurangi potensi konflik tersebut. Apalagi, sejauh ini pelaksanaan pilkada bisa dipastikan selalu berujung konflik kubu antarpasangan dengan membawa kasus ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Ketiga, pilkada langsung butuh dana besar. Pilkada tak langsung dinilai bisa menghemat anggaran negara yang bisa digunakan untuk membiayai sektor-sektor penting lain bagi kesejahteraan rakyat.
Kalau sama-sama sah secara hukum, kenapa kita tidak memilih pelaksanaan pilkada yang efektif dan efisien tersebut dibanding hanya mengejar cap demokrasi, namun belum tentu membawa kebaikan bagi negara ini.
Karena itu, bukan hal tabu dan buruk untuk memunculkan lagi sistem pilkada tak langsung dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Intinya, kita jangan alergi untuk menerima usulan yang bisa menyejahterakan negara ini.
Jangan menolak ide baik hanya karena usulan itu didukung mayoritas fraksi di DPR yang kebetulan merupakan lawan politik dari fraksi pendukung pemerintahan terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Proses pemilihan bupati dan wali kota atau mungkin juga gubernur yang dilakukan melalui mekanisme di DPRD yang transparan dan akuntabel bisa jadi lebih baik daripada hasil pilkada langsung.
(hyk)