Aborsi pada Kasus Pemerkosaan
A
A
A
DR A SOFYAN HASDAM SPS
Wakil Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi)
Mantan Wali Kota Bontang
SALAH satu persoalan yang memancing polemik yang cukup ramai yaitu penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 yang melegalkan aborsi pada kasus pemerkosaan.
Dalam PP ini ada dua jenis aborsi yang diperbolehkan. Pertama, aborsi dalam keadaan darurat. Artinya, kalau kehamilan dipertahankan dan tidak dilakukan aborsi, nyawa ibunya terancam. Pada aborsi jenis ini tak ada perdebatan.
Semua pihak dapat menerima karena dianggap sebagai hal yang harus dilaksanakan untuk menyelamatkan ibu. Kedua, aborsi pada kehamilan yang disebabkan oleh kasus pemerkosaan.
Inilah yang mengundang reaksi dari banyak pihak yang berpendapat bahwa pemerkosaan bukan alasan untuk dilakukan terminasi kehamilan. Dengan kata lain, hak hidup janin dalam kandungan tidak boleh diakhiri hanya karena janin ini berasal dari pembuahan melalui proses pemerkosaan.
Aborsi merupakan istilah kedokteran yang berarti menghentikan kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar tubuh ibu. Umumnya dianggap bayi belum dapat hidup di luar kandungan apabila tuanya kehamilan belum mencapai umur 28 pekan atau berat badan jabang bayi belum 1.000 gram.
Aborsi ini dapat dilakukan oleh tenaga medis dengan indikasi yang jelas (abortus medicinalis) dan dapat dilakukan melalui praktik ilegal tanpa indikasi medis (abortus provocatus criminalis) atau “illegal induced aborsion“. Pada tindakan aborsi tanpa indikasi medis tidak perlu diperdebatkan lagi.
Dari sudut pandang mana pun kita melihat, tindakan ini perbuatan melawan hukum baik jika dilakukan oleh tenaga medis profesional maupun oleh tenaga nonprofesional seperti aborsi yang sering dilakukan oleh dukun.
Dari kelompok yang memperbolehkan aborsi pada kasus pemerkosaan memiliki pandangan tersendiri baik dari sudut pandang “kehidupan” maupun “kemanusiaan”. Dari kelompok proaborsi melihat kehidupan terjadi ketika janin dalam kandungan sudah hidup ketika jantungnya telah berdenyut pada usia kehamilan sekitar 16 pekan.
Sedangkan kelompok antiaborsi melihat kehidupan itu dari sudut kehidupan seluler yaitu sejak ovum (telur) dibuahi oleh sperma dan ini yang dianut semua agama.
Dari sudut pandang kemanusiaan, kelompok proaborsi melihat beberapa aspek. Pertama, anak yang lahir akibat pemerkosaan tentu tidak diinginkan kehadirannya sehingga anak ini dikhawatirkan tidak mendapatkan perlakuan yang baik dari ibunya.
Kedua, pemerkosaan merupakan peristiwa “traumatik” bagi korbannya sehingga kejadian itu tentu hendak dilupakan dari memori alam sadarnya. Namun, jika ada anak yang lahir dari peristiwa yang sangat biadab itu, tentu sang korban akan selalu mengingat peristiwa tragis yang pernah dialaminya setiap dia memandang anaknya.
Walaupun aborsi yang dimaksudkan dalam peraturan pemerintah ini dibatasi sampai umur kehamilan 40 hari, ini tetap merupakan hal yang seharusnya tidak dilegalkan karena aturan ini sangat rawan untuk disalahgunakan.
Demikian pula, dari segi profesi kedokteran, tindakan pengguguran kandungan pada kasus ini pelanggaran sumpah dokter yang berbunyi: “Saya akan menjaga kehidupan insani sejak saat pembuahan”. Karena itulah, tidak heran kalau Ikatan Dokter Indonesia (IDI) merupakan organisasi yang juga cukup lantang menentang kehadiran PP ini.
Dari segi hukum tentu sangat bergantung pada Peraturan Pemerintah Nomor 61 itu. Kalau PP ini tetap dipertahankan dalam arti bahwa aborsi akibat pemerkosaan tetap dianggap sebagai perbuatan yang legal, tentu tenaga medis yang melakukan tindakan aborsi tidak dapat dipersalahkan.
Namun, jika pemerintah cukup peka melihat aspirasi yang berkembang, tentu pasal ini akan dicabut dan tidak lagi menyinggung masalah pemerkosaan sebagai permasalahan khusus di dalam PP tersebut.
Dengan demikian, aborsi tetap dianggap sebagai perbuatan melawan hukum walaupun latar belakang kehamilannya terjadi akibat pemerkosaan. Masalah aborsi memang salah satu persoalan kesehatan yang cukup serius di Indonesia. Saat ini 2,5 juta kasus aborsi terjadi setiap tahun.
Dengan kata lain, sekitar 7.000 perempuan hamil menggugurkan kandungannya setiap hari. Pengguguran kandungan ini terjadi karena berbagai cara, termasuk pertolongan dari tenaga medis (dokter maupun bidan).
Padahal ancaman hukuman bagi petugas yang melakukan praktik aborsi cukup berat yaitu pelanggaran KUHP Pasal 299, 338, 346, 348, dan 349, termasuk juga melanggar Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
Untuk itu, pemerintah seyogianya memperhatikan aspek sosiologis dari permasalahan ini. Dengan ancaman hukuman yang begitu berat saja kasus aborsi masih sangat marak, terlebih jika kran hukum mulai diperlonggar.
Sangat wajar jika mayoritas masyarakat menolak PP No 61 itu. Terlebih, Majelis Ulama Indonesia sejak 2000 telah mengeluarkan fatwa haram melakukan aborsi dan tentu majelis agama yang lain pun pasti tidak menyetujui tindakan yang merampas hak hidup dari janin yang telah berkembang di dalam rahim ibunya.
Wakil Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi)
Mantan Wali Kota Bontang
SALAH satu persoalan yang memancing polemik yang cukup ramai yaitu penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 yang melegalkan aborsi pada kasus pemerkosaan.
Dalam PP ini ada dua jenis aborsi yang diperbolehkan. Pertama, aborsi dalam keadaan darurat. Artinya, kalau kehamilan dipertahankan dan tidak dilakukan aborsi, nyawa ibunya terancam. Pada aborsi jenis ini tak ada perdebatan.
Semua pihak dapat menerima karena dianggap sebagai hal yang harus dilaksanakan untuk menyelamatkan ibu. Kedua, aborsi pada kehamilan yang disebabkan oleh kasus pemerkosaan.
Inilah yang mengundang reaksi dari banyak pihak yang berpendapat bahwa pemerkosaan bukan alasan untuk dilakukan terminasi kehamilan. Dengan kata lain, hak hidup janin dalam kandungan tidak boleh diakhiri hanya karena janin ini berasal dari pembuahan melalui proses pemerkosaan.
Aborsi merupakan istilah kedokteran yang berarti menghentikan kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar tubuh ibu. Umumnya dianggap bayi belum dapat hidup di luar kandungan apabila tuanya kehamilan belum mencapai umur 28 pekan atau berat badan jabang bayi belum 1.000 gram.
Aborsi ini dapat dilakukan oleh tenaga medis dengan indikasi yang jelas (abortus medicinalis) dan dapat dilakukan melalui praktik ilegal tanpa indikasi medis (abortus provocatus criminalis) atau “illegal induced aborsion“. Pada tindakan aborsi tanpa indikasi medis tidak perlu diperdebatkan lagi.
Dari sudut pandang mana pun kita melihat, tindakan ini perbuatan melawan hukum baik jika dilakukan oleh tenaga medis profesional maupun oleh tenaga nonprofesional seperti aborsi yang sering dilakukan oleh dukun.
Dari kelompok yang memperbolehkan aborsi pada kasus pemerkosaan memiliki pandangan tersendiri baik dari sudut pandang “kehidupan” maupun “kemanusiaan”. Dari kelompok proaborsi melihat kehidupan terjadi ketika janin dalam kandungan sudah hidup ketika jantungnya telah berdenyut pada usia kehamilan sekitar 16 pekan.
Sedangkan kelompok antiaborsi melihat kehidupan itu dari sudut kehidupan seluler yaitu sejak ovum (telur) dibuahi oleh sperma dan ini yang dianut semua agama.
Dari sudut pandang kemanusiaan, kelompok proaborsi melihat beberapa aspek. Pertama, anak yang lahir akibat pemerkosaan tentu tidak diinginkan kehadirannya sehingga anak ini dikhawatirkan tidak mendapatkan perlakuan yang baik dari ibunya.
Kedua, pemerkosaan merupakan peristiwa “traumatik” bagi korbannya sehingga kejadian itu tentu hendak dilupakan dari memori alam sadarnya. Namun, jika ada anak yang lahir dari peristiwa yang sangat biadab itu, tentu sang korban akan selalu mengingat peristiwa tragis yang pernah dialaminya setiap dia memandang anaknya.
Walaupun aborsi yang dimaksudkan dalam peraturan pemerintah ini dibatasi sampai umur kehamilan 40 hari, ini tetap merupakan hal yang seharusnya tidak dilegalkan karena aturan ini sangat rawan untuk disalahgunakan.
Demikian pula, dari segi profesi kedokteran, tindakan pengguguran kandungan pada kasus ini pelanggaran sumpah dokter yang berbunyi: “Saya akan menjaga kehidupan insani sejak saat pembuahan”. Karena itulah, tidak heran kalau Ikatan Dokter Indonesia (IDI) merupakan organisasi yang juga cukup lantang menentang kehadiran PP ini.
Dari segi hukum tentu sangat bergantung pada Peraturan Pemerintah Nomor 61 itu. Kalau PP ini tetap dipertahankan dalam arti bahwa aborsi akibat pemerkosaan tetap dianggap sebagai perbuatan yang legal, tentu tenaga medis yang melakukan tindakan aborsi tidak dapat dipersalahkan.
Namun, jika pemerintah cukup peka melihat aspirasi yang berkembang, tentu pasal ini akan dicabut dan tidak lagi menyinggung masalah pemerkosaan sebagai permasalahan khusus di dalam PP tersebut.
Dengan demikian, aborsi tetap dianggap sebagai perbuatan melawan hukum walaupun latar belakang kehamilannya terjadi akibat pemerkosaan. Masalah aborsi memang salah satu persoalan kesehatan yang cukup serius di Indonesia. Saat ini 2,5 juta kasus aborsi terjadi setiap tahun.
Dengan kata lain, sekitar 7.000 perempuan hamil menggugurkan kandungannya setiap hari. Pengguguran kandungan ini terjadi karena berbagai cara, termasuk pertolongan dari tenaga medis (dokter maupun bidan).
Padahal ancaman hukuman bagi petugas yang melakukan praktik aborsi cukup berat yaitu pelanggaran KUHP Pasal 299, 338, 346, 348, dan 349, termasuk juga melanggar Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
Untuk itu, pemerintah seyogianya memperhatikan aspek sosiologis dari permasalahan ini. Dengan ancaman hukuman yang begitu berat saja kasus aborsi masih sangat marak, terlebih jika kran hukum mulai diperlonggar.
Sangat wajar jika mayoritas masyarakat menolak PP No 61 itu. Terlebih, Majelis Ulama Indonesia sejak 2000 telah mengeluarkan fatwa haram melakukan aborsi dan tentu majelis agama yang lain pun pasti tidak menyetujui tindakan yang merampas hak hidup dari janin yang telah berkembang di dalam rahim ibunya.
(hyk)