Antre BBM Bersubsidi
A
A
A
ANTREAN masyarakat yang mengular pada sejumlah stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) beberapa hari ini di berbagai daerah mulai menimbulkan kekhawatiran. Masyarakat mendatangi SPBU bukan lagi untuk mengisi bahan bakar buat kendaraan, melainkan membawa berbagai wadah penampungan premium.
Sepertinya masyarakat mulai ditulari “virus” kepanikan akan kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Hal itu tidak bisa disalahkan, sebab fakta di lapangan memang pasokan premium mulai terbatas meski belum bisa dikatakan langka.
Pemicu munculnya antrean panjang di SPBU tersebut, sebagaimana pengakuan pihak PT Pertamina, adalah jatah atau kuota BBM bersubsidi untuk seluruh SPBU se-Indonesia telah dipangkas sebanyak 5% hingga 20% untuk setiap SPBU, yang terhitung sejak 18 Agustus lalu.
Berdasarkan hitung-hitungan Pertamina, kuota premium saat ini tinggal sekitar 29% untuk konsumsi empat bulan ke depan, padahal guna menutupi kebutuhan dalam jangka waktu empat bulan idealnya minimal harus tersedia sekitar 33% dari kuota 2014.
Untuk tahun ini, jatah BBM bersubsidi yang didistribusikan perusahaan minyak dan gas nasional itu sebesar 29.290.000 kiloliter (kl) premium dan sebanyak 15.165.000 kl solar.
Karena khawatir kuota tidak akan mencukupi hingga akhir tahun, jatah SPBU mulai dikurangi, terutama untuk Pulau Jawa dan Sumatera di mana tingkat konsumsi BBM subsidi pada kedua wilayah itu paling tinggi selama ini.
Karena itu, pihak Pertamina menandaskan bahwa timbulnya antrean masyarakat pada sejumlah SPBU bukan disebabkan terjadinya kelangkaan premium. Selain itu, pihak Pertamina menyatakan bahwa pasokan BBM bersubsidi pada setiap SPBU tetap dilakukan rutin setiap hari, hanya saja kuotanya yang diatur.
Jika sebelumnya sebuah SPBU mendapat kuota sebesar 10.000 kl per hari kini dikoreksi menjadi 8.000 kl per hari. Apabila jatah premium dan solar subsidi untuk SPBU habis hari ini misalnya, sudah pasti tidak akan ditambah tetapi besoknya pasti dapat jatah lagi.
Kalaupun BBM bersubsidi habis, Pertamina tetap menjamin ketersediaan BBM nonsubsidi untuk SPBU yang memiliki dispenser pertamax. Hanya saja Pertamina sepertinya tidak memprediksi bahwa pengurangan jatah SPBU tersebut bisa mengundang kepanikan di masyarakat.
Sayangnya, langkah Pertamina untuk menurunkan beban pemerintah mengatasi tingkat konsumsi BBM bersubsidi dinilai berjalan sepihak.
Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam menyikapi antrean panjang masyarakat di SPBU malah balik mempertanyakan apa maksud di balik pembatasan kuota BBM bersubsidi untuk SPBU itu.
Pihak BP Migas mengaku sama sekali tidak menerima laporan pemberitahuan dari Pertamina. Karena itu murni inisiatif dari Pertamina, petinggi BP Migas meminta perusahaan migas itu untuk menjelaskan ke masyarakat. Persoalan subsidi BBM memang sudah menyandera pemerintah.
Usulan untuk membebaskan pemerintah dari sanderaan tersebut begitu banyak, tetapi belum sepenuhnya terimplementasi dengan baik. Di sisi lain, tingkat konsumsi BBM bersubsidi semakin melambung seiring dengan pertambahan jumlah kendaraan baru.
Tengok saja, data penjualan kendaraan bermotor dua tahun terakhir menunjukkan perkembangan yang begitu pesat. Penjualan sepeda motor mencapai 7 juta unit lebih dan mobil sekitar 1,2 juta unit per tahun. Bagaimana dengan anggaran subsidi BBM untuk tahun depan?
Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2015 dipatok subsidi BBM sebesar Rp291,1 triliun atau mengalami kenaikan sekitar 18,1% dibandingkan anggaran subsidi tahun ini sebesar Rp246,5 triliun.
Dari sisi kuota juga terjadi kenaikan dari 46 juta kl pada tahun ini menjadi 48 kl untuk tahun depan. Kenaikan anggaran subsidi BBM tersebut, seperti diungkapkan Menteri Keuangan, ditempuh dengan asumsi bahwa tahun depan tidak ada kenaikan harga. Kecuali kalau pemerintahan baru nanti yang dilantik pada 20 Oktober siap menaikkan harga BBM bersubsidi. Berani?
Sepertinya masyarakat mulai ditulari “virus” kepanikan akan kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Hal itu tidak bisa disalahkan, sebab fakta di lapangan memang pasokan premium mulai terbatas meski belum bisa dikatakan langka.
Pemicu munculnya antrean panjang di SPBU tersebut, sebagaimana pengakuan pihak PT Pertamina, adalah jatah atau kuota BBM bersubsidi untuk seluruh SPBU se-Indonesia telah dipangkas sebanyak 5% hingga 20% untuk setiap SPBU, yang terhitung sejak 18 Agustus lalu.
Berdasarkan hitung-hitungan Pertamina, kuota premium saat ini tinggal sekitar 29% untuk konsumsi empat bulan ke depan, padahal guna menutupi kebutuhan dalam jangka waktu empat bulan idealnya minimal harus tersedia sekitar 33% dari kuota 2014.
Untuk tahun ini, jatah BBM bersubsidi yang didistribusikan perusahaan minyak dan gas nasional itu sebesar 29.290.000 kiloliter (kl) premium dan sebanyak 15.165.000 kl solar.
Karena khawatir kuota tidak akan mencukupi hingga akhir tahun, jatah SPBU mulai dikurangi, terutama untuk Pulau Jawa dan Sumatera di mana tingkat konsumsi BBM subsidi pada kedua wilayah itu paling tinggi selama ini.
Karena itu, pihak Pertamina menandaskan bahwa timbulnya antrean masyarakat pada sejumlah SPBU bukan disebabkan terjadinya kelangkaan premium. Selain itu, pihak Pertamina menyatakan bahwa pasokan BBM bersubsidi pada setiap SPBU tetap dilakukan rutin setiap hari, hanya saja kuotanya yang diatur.
Jika sebelumnya sebuah SPBU mendapat kuota sebesar 10.000 kl per hari kini dikoreksi menjadi 8.000 kl per hari. Apabila jatah premium dan solar subsidi untuk SPBU habis hari ini misalnya, sudah pasti tidak akan ditambah tetapi besoknya pasti dapat jatah lagi.
Kalaupun BBM bersubsidi habis, Pertamina tetap menjamin ketersediaan BBM nonsubsidi untuk SPBU yang memiliki dispenser pertamax. Hanya saja Pertamina sepertinya tidak memprediksi bahwa pengurangan jatah SPBU tersebut bisa mengundang kepanikan di masyarakat.
Sayangnya, langkah Pertamina untuk menurunkan beban pemerintah mengatasi tingkat konsumsi BBM bersubsidi dinilai berjalan sepihak.
Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam menyikapi antrean panjang masyarakat di SPBU malah balik mempertanyakan apa maksud di balik pembatasan kuota BBM bersubsidi untuk SPBU itu.
Pihak BP Migas mengaku sama sekali tidak menerima laporan pemberitahuan dari Pertamina. Karena itu murni inisiatif dari Pertamina, petinggi BP Migas meminta perusahaan migas itu untuk menjelaskan ke masyarakat. Persoalan subsidi BBM memang sudah menyandera pemerintah.
Usulan untuk membebaskan pemerintah dari sanderaan tersebut begitu banyak, tetapi belum sepenuhnya terimplementasi dengan baik. Di sisi lain, tingkat konsumsi BBM bersubsidi semakin melambung seiring dengan pertambahan jumlah kendaraan baru.
Tengok saja, data penjualan kendaraan bermotor dua tahun terakhir menunjukkan perkembangan yang begitu pesat. Penjualan sepeda motor mencapai 7 juta unit lebih dan mobil sekitar 1,2 juta unit per tahun. Bagaimana dengan anggaran subsidi BBM untuk tahun depan?
Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2015 dipatok subsidi BBM sebesar Rp291,1 triliun atau mengalami kenaikan sekitar 18,1% dibandingkan anggaran subsidi tahun ini sebesar Rp246,5 triliun.
Dari sisi kuota juga terjadi kenaikan dari 46 juta kl pada tahun ini menjadi 48 kl untuk tahun depan. Kenaikan anggaran subsidi BBM tersebut, seperti diungkapkan Menteri Keuangan, ditempuh dengan asumsi bahwa tahun depan tidak ada kenaikan harga. Kecuali kalau pemerintahan baru nanti yang dilantik pada 20 Oktober siap menaikkan harga BBM bersubsidi. Berani?
(hyk)