Indonesia, Bangsa Maritim yang Tersesat
A
A
A
Indonesia adalah negara kepulauan, itu adalah sebuah fakta yang tak terbantahkan, dengan lebar wilayah yang menyamai Amerika Serikat.
Sebutan Indonesia sebagai negara maritim sudah merupakan julukan yang melekat selama ini, melihat kondisi geografis Indonesia dengan menimbang fakta bahwa tiga perempat wilayah teritorial Indonesia merupakan wilayah perairan.
Namun, ada hal yang belum disepakati bersama dan mungkin masih menjadi bahan perdebatan, adalah kenyataan apakah Indonesia, dilihat dari sudut pandang pemerintah dan juga rakyatnya sendiri, sudah bertindak sesuai dengan takdir geografisnya sebagai sebuah negara maritim kepulauan ataukah masih jauh dari hal tersebut?
Beberapa pihak akan menyatakan bahwa arah pembangunan Indonesia sudah cukup sesuai dengan kondisi geografis kepulauan yang dimiliki, apabila dilihat dari beberapa kebijakan pemerintah serta berbagai event internasional yang telah diadakan di bidang kemaritiman.
Namun, anggapan ini akan segera mendapatkan bantahan dari pihak lainnya yang menyatakan bahwa hal tersebut belum cukup sebagai indikasi bahwa Indonesia telah kembali menjelma sebagai sebuah negara maritim besar.
Justru sebenarnya Indonesia masih jauh dari layak untuk mendapatkan sebutan negara maritim, terutama bila dilihat dari sudut kebijakan pemerintah secara keseluruhan dan bagaimana rakyat Indonesia memandang negerinya sendiri yang sama sekali tidak mencerminkan garis kebijakan dan wawasan sebuah bangsa maritim.
Hal ini karena tidak konsistennya kebijakan pemerintah yang ada saat ini dengan fakta geografi Indonesia yang merupakan negara kepulauan terbesar di dunia sehingga Indonesia dapat disebut sebagai sebuah negeri yang menyangkal takdirnya sendiri. Untuk memahami alasan di balik semua ini, kita harus melihat kilas balik sejarah Indonesia untuk dapat melihat alasan penyebab hal ini terjadi.
Jauh sebelum era kolonialisme yang berlangsung lebih dari tiga abad, masyarakat Indonesia adalah orangorang yang berorientasi maritim yang dapat terindikasi dari warna budayanya serta juga sistem pemerintahannya yang bercorak maritim. Namun, setelah masa kolonial, yang diawali oleh Spanyol, kemudian Portugal serta Belanda, sebagai kolonialis paling lama di bumi Indonesia.
Terjadi pergeseran karakteristik bangsa Indonesia secara sistematis karena pengaruh para kolonialis yang didominasi oleh dasar pemikiran kontinental yang kemudian mengikis pemahaman asli bangsa Indonesia yang sejatinya berjati diri sebagai bangsa maritim.
Sebagai konsekuensi dari perubahan pola pikir tersebut, prioritas kebijakan pembangunan nasional pun bergeser jauh tanpa mempertimbangkan lagi sektor maritim sebagai faktor penting di tataran strategis perkembangan bangsa.
Tindakan ini sangat disesalkan karena merupakan indikasi yang sangat jelas bahwa negara dengan sengaja mengabaikan aset dan mungkin juga kekuatan terbesarnya. Arah perkembangan ekonominasional yang lebih menekankan pada sektor agraria (agrikultur) daripada sektor maritim (akuakultur) sudah terjadi selama lebih dari tiga dekade di bawah rezim Orde Baru dan masih berlanjut hingga sekarang.
Akibatnya, Indonesia lebih dilihat sebagai negara yang berorientasi pada pertanian daripada berorientasi pada maritim. Sudut pandang demikian juga membuat fokus pengembangan wilayah yang lebih ke arah daratan, yang juga berefek samping pada pengabaian pembangunan di wilayah pesisir, belum lagi pembangunan pulau-pulau kecil di daerah perbatasan.
Pengabaian pentingnya sektor maritim juga dapat mengakibatkan terciptanya daerah-daerah vakum yang disebabkan ketiadaan peran pemerintah di daerah tersebut. Daerah vakum ini kemudian akan diisi entitasentitas lain selain dari pemerintahan yang sah.
Di banyak daerah yang ditelantarkan pemerintah, kekosongan tersebut akan diisi kekuatan-kekuatan lain yang dapat mengambil bentuk seperti organisasi kriminal, pemberontak, bahkan memungkinkan munculnya klaim wilayah dari negara lain terhadap daerah vakum tersebut.
Bukti akan fakta pahit ini adalah kasus Pulau Sipadan-Ligitan yang masih segar dalam ingatan bangsa Indonesia, ketika itu klaim pemerintah Malaysia dimenangkan Mahkamah Internasional (International Court of Justice-ICJ) pada tahun 2002 atas dasar penilaian “effective occupation” atau pendudukan efektif yang berarti bahwa justru pihak Malaysia yang memberikan perhatian berupa pasokan kebutuhan bagi para penduduk di pulau-pulau tersebut melebihi pemiliknya yang sah, Indonesia, yang pada faktanya justru menelantarkan mereka.
Melihat arah perkembangan pertahanan nasional, merupakan suatu hal yang patut dicatat bahwa konsep pertahanan suatu bangsa akan sangat dipengaruhi oleh pola pikir pemimpin bangsa tersebut. Contoh dari bagaimana seorang pemimpin dapat memengaruhi sudut pandang suatu bangsa dapat dilihat dari fakta sejarah.
WinstonChurchill, mantan perdana menteri Inggris pada masa Perang Dunia ke-II, merupakan“ First Lord of Admiralty” atau semacam menteri angkatan laut Inggris Raya, sebelum menempati posisi sebagai perdana menteri.
Dia paham benar bahwa Inggris Raya harus selalu menggantungkan diri pada keberadaan lautannya untuk dapat menahan semua ancaman yang datang. Franklin Delano Roosevelt, mantan presiden ke-32 Amerika Serikat, sebelum menjabat sebagai presiden AS, pernah menjabat sebagai “Assistant Secretary of the Nacy” atau deputi menteri angkatan laut dalam kariernya di pemerintahan AS.
Dia sangat mengerti bagaimana strategi kemaritiman dapat memengaruhi kejayaan atau kemunduran suatu negara. Kedua pemimpin dunia ini merupakan beberapa contoh pemimpin yang paham akan peran vital sektor maritim dalam menjamin keamanan negaranya masing-masing, dan bahwa pembangunan sektor maritim sangat fundamental guna mendukung kekuatan sebuah bangsa.
Bagi sebuah negara maritim, merupakan hal yang sangat kritis untuk memiliki pemimpin-pemimpinnya yang berwawasan, serta mempunyai perspektif maritim.
Hal ini diperlukan agar mereka mampu mengarahkan negaranya pada kejayaan yang bertumpu pada kekuatan di bidang maritim. Dikarenakan kesadaran akan pentingnya kekuatan maritim, Sekutu mampu membalikkan keadaan terhadap musuh-musuhnya pada Perang Dunia ke-II.
Di lain pihak, kekalahan Nazi Jerman disebabkan oleh salah satu faktornya adalah pengabaian kekuatan AL Jerman Kriegsmarine oleh Hitler sang Fuhrer yang kemudian berakibat fatal.
Fokus pada sektor maritim sebagai tulang punggung pertahanan negara merupakan suatu keniscayaan yang harus benar-benar dimengerti oleh pemimpin sebuah negara maritim, terutama bagi sebuah negara kepulauan terbesar di dunia.
Poros pertahanan sebuah negara maritim sudah semestinya bertumpu kepada aspek kemaritiman. Hal ini bertolak belakang dengan apa yang digariskan Indonesia saat ini, yang justru mengabaikan sektor pertahanan maritimnya.
Harus dicatat bahwa kekuatan maritim suatu bangsa terletak tidak hanya pada angkatan lautnya atau hanya sebatas pada kesatuan penegak hukum maritimnya, juga seperti yang ditekankan oleh Geofrey Till, penulis buku Sea Power bahwa kekuatan maritim itu juga melingkupi semua pihak dalam lingkup kemaritiman, termasuk pihak-pihak di sektor nonpemerintahan yang juga akan melingkupi sektor swasta.
Para pelaku maritim nonpemerintah ini terdiri atas agensiagensi yang mempunyai kepentingan terhadap aktivitas kemaritiman, seperti galangan kapal, industri perkapalan, perusahaan pelayaran, agensi keamanan maritim, serta asosiasi- asosiasi kemaritiman lainnya yang sebagian besar dari mereka berasal dari sektor swasta.
Peran serta para pelaku maritim ini sangat krusial dalam upaya untuk mengembalikan kejayaan maritim bangsa Indonesia yang sebenarnya merupakan takdirnya bangsa ini yang sebenarnya. Tugas mulia ini akan menjadi mustahil untuk dilakukan apabila hanya ditangani oleh pemerintah tanpa adanya peran serta dari para pelaku maritim tersebut di atas.
Kita sebagai bangsa Indonesia mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap diri kita sendiri, dan juga kepada rekan sebangsa lainnya, untuk mengembalikan haluan negara kita yang salah arah selama ini, yang terhentakkan keluar dari jalurnya oleh perjalanan sejarah.
MAYOR BAGUS JATMIKO
Perwira TNI AL
Kandidat Master dalam Bidang Analis Pertahanan di Naval Postgraduate School, Monterey, California
Sebutan Indonesia sebagai negara maritim sudah merupakan julukan yang melekat selama ini, melihat kondisi geografis Indonesia dengan menimbang fakta bahwa tiga perempat wilayah teritorial Indonesia merupakan wilayah perairan.
Namun, ada hal yang belum disepakati bersama dan mungkin masih menjadi bahan perdebatan, adalah kenyataan apakah Indonesia, dilihat dari sudut pandang pemerintah dan juga rakyatnya sendiri, sudah bertindak sesuai dengan takdir geografisnya sebagai sebuah negara maritim kepulauan ataukah masih jauh dari hal tersebut?
Beberapa pihak akan menyatakan bahwa arah pembangunan Indonesia sudah cukup sesuai dengan kondisi geografis kepulauan yang dimiliki, apabila dilihat dari beberapa kebijakan pemerintah serta berbagai event internasional yang telah diadakan di bidang kemaritiman.
Namun, anggapan ini akan segera mendapatkan bantahan dari pihak lainnya yang menyatakan bahwa hal tersebut belum cukup sebagai indikasi bahwa Indonesia telah kembali menjelma sebagai sebuah negara maritim besar.
Justru sebenarnya Indonesia masih jauh dari layak untuk mendapatkan sebutan negara maritim, terutama bila dilihat dari sudut kebijakan pemerintah secara keseluruhan dan bagaimana rakyat Indonesia memandang negerinya sendiri yang sama sekali tidak mencerminkan garis kebijakan dan wawasan sebuah bangsa maritim.
Hal ini karena tidak konsistennya kebijakan pemerintah yang ada saat ini dengan fakta geografi Indonesia yang merupakan negara kepulauan terbesar di dunia sehingga Indonesia dapat disebut sebagai sebuah negeri yang menyangkal takdirnya sendiri. Untuk memahami alasan di balik semua ini, kita harus melihat kilas balik sejarah Indonesia untuk dapat melihat alasan penyebab hal ini terjadi.
Jauh sebelum era kolonialisme yang berlangsung lebih dari tiga abad, masyarakat Indonesia adalah orangorang yang berorientasi maritim yang dapat terindikasi dari warna budayanya serta juga sistem pemerintahannya yang bercorak maritim. Namun, setelah masa kolonial, yang diawali oleh Spanyol, kemudian Portugal serta Belanda, sebagai kolonialis paling lama di bumi Indonesia.
Terjadi pergeseran karakteristik bangsa Indonesia secara sistematis karena pengaruh para kolonialis yang didominasi oleh dasar pemikiran kontinental yang kemudian mengikis pemahaman asli bangsa Indonesia yang sejatinya berjati diri sebagai bangsa maritim.
Sebagai konsekuensi dari perubahan pola pikir tersebut, prioritas kebijakan pembangunan nasional pun bergeser jauh tanpa mempertimbangkan lagi sektor maritim sebagai faktor penting di tataran strategis perkembangan bangsa.
Tindakan ini sangat disesalkan karena merupakan indikasi yang sangat jelas bahwa negara dengan sengaja mengabaikan aset dan mungkin juga kekuatan terbesarnya. Arah perkembangan ekonominasional yang lebih menekankan pada sektor agraria (agrikultur) daripada sektor maritim (akuakultur) sudah terjadi selama lebih dari tiga dekade di bawah rezim Orde Baru dan masih berlanjut hingga sekarang.
Akibatnya, Indonesia lebih dilihat sebagai negara yang berorientasi pada pertanian daripada berorientasi pada maritim. Sudut pandang demikian juga membuat fokus pengembangan wilayah yang lebih ke arah daratan, yang juga berefek samping pada pengabaian pembangunan di wilayah pesisir, belum lagi pembangunan pulau-pulau kecil di daerah perbatasan.
Pengabaian pentingnya sektor maritim juga dapat mengakibatkan terciptanya daerah-daerah vakum yang disebabkan ketiadaan peran pemerintah di daerah tersebut. Daerah vakum ini kemudian akan diisi entitasentitas lain selain dari pemerintahan yang sah.
Di banyak daerah yang ditelantarkan pemerintah, kekosongan tersebut akan diisi kekuatan-kekuatan lain yang dapat mengambil bentuk seperti organisasi kriminal, pemberontak, bahkan memungkinkan munculnya klaim wilayah dari negara lain terhadap daerah vakum tersebut.
Bukti akan fakta pahit ini adalah kasus Pulau Sipadan-Ligitan yang masih segar dalam ingatan bangsa Indonesia, ketika itu klaim pemerintah Malaysia dimenangkan Mahkamah Internasional (International Court of Justice-ICJ) pada tahun 2002 atas dasar penilaian “effective occupation” atau pendudukan efektif yang berarti bahwa justru pihak Malaysia yang memberikan perhatian berupa pasokan kebutuhan bagi para penduduk di pulau-pulau tersebut melebihi pemiliknya yang sah, Indonesia, yang pada faktanya justru menelantarkan mereka.
Melihat arah perkembangan pertahanan nasional, merupakan suatu hal yang patut dicatat bahwa konsep pertahanan suatu bangsa akan sangat dipengaruhi oleh pola pikir pemimpin bangsa tersebut. Contoh dari bagaimana seorang pemimpin dapat memengaruhi sudut pandang suatu bangsa dapat dilihat dari fakta sejarah.
WinstonChurchill, mantan perdana menteri Inggris pada masa Perang Dunia ke-II, merupakan“ First Lord of Admiralty” atau semacam menteri angkatan laut Inggris Raya, sebelum menempati posisi sebagai perdana menteri.
Dia paham benar bahwa Inggris Raya harus selalu menggantungkan diri pada keberadaan lautannya untuk dapat menahan semua ancaman yang datang. Franklin Delano Roosevelt, mantan presiden ke-32 Amerika Serikat, sebelum menjabat sebagai presiden AS, pernah menjabat sebagai “Assistant Secretary of the Nacy” atau deputi menteri angkatan laut dalam kariernya di pemerintahan AS.
Dia sangat mengerti bagaimana strategi kemaritiman dapat memengaruhi kejayaan atau kemunduran suatu negara. Kedua pemimpin dunia ini merupakan beberapa contoh pemimpin yang paham akan peran vital sektor maritim dalam menjamin keamanan negaranya masing-masing, dan bahwa pembangunan sektor maritim sangat fundamental guna mendukung kekuatan sebuah bangsa.
Bagi sebuah negara maritim, merupakan hal yang sangat kritis untuk memiliki pemimpin-pemimpinnya yang berwawasan, serta mempunyai perspektif maritim.
Hal ini diperlukan agar mereka mampu mengarahkan negaranya pada kejayaan yang bertumpu pada kekuatan di bidang maritim. Dikarenakan kesadaran akan pentingnya kekuatan maritim, Sekutu mampu membalikkan keadaan terhadap musuh-musuhnya pada Perang Dunia ke-II.
Di lain pihak, kekalahan Nazi Jerman disebabkan oleh salah satu faktornya adalah pengabaian kekuatan AL Jerman Kriegsmarine oleh Hitler sang Fuhrer yang kemudian berakibat fatal.
Fokus pada sektor maritim sebagai tulang punggung pertahanan negara merupakan suatu keniscayaan yang harus benar-benar dimengerti oleh pemimpin sebuah negara maritim, terutama bagi sebuah negara kepulauan terbesar di dunia.
Poros pertahanan sebuah negara maritim sudah semestinya bertumpu kepada aspek kemaritiman. Hal ini bertolak belakang dengan apa yang digariskan Indonesia saat ini, yang justru mengabaikan sektor pertahanan maritimnya.
Harus dicatat bahwa kekuatan maritim suatu bangsa terletak tidak hanya pada angkatan lautnya atau hanya sebatas pada kesatuan penegak hukum maritimnya, juga seperti yang ditekankan oleh Geofrey Till, penulis buku Sea Power bahwa kekuatan maritim itu juga melingkupi semua pihak dalam lingkup kemaritiman, termasuk pihak-pihak di sektor nonpemerintahan yang juga akan melingkupi sektor swasta.
Para pelaku maritim nonpemerintah ini terdiri atas agensiagensi yang mempunyai kepentingan terhadap aktivitas kemaritiman, seperti galangan kapal, industri perkapalan, perusahaan pelayaran, agensi keamanan maritim, serta asosiasi- asosiasi kemaritiman lainnya yang sebagian besar dari mereka berasal dari sektor swasta.
Peran serta para pelaku maritim ini sangat krusial dalam upaya untuk mengembalikan kejayaan maritim bangsa Indonesia yang sebenarnya merupakan takdirnya bangsa ini yang sebenarnya. Tugas mulia ini akan menjadi mustahil untuk dilakukan apabila hanya ditangani oleh pemerintah tanpa adanya peran serta dari para pelaku maritim tersebut di atas.
Kita sebagai bangsa Indonesia mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap diri kita sendiri, dan juga kepada rekan sebangsa lainnya, untuk mengembalikan haluan negara kita yang salah arah selama ini, yang terhentakkan keluar dari jalurnya oleh perjalanan sejarah.
MAYOR BAGUS JATMIKO
Perwira TNI AL
Kandidat Master dalam Bidang Analis Pertahanan di Naval Postgraduate School, Monterey, California
(hyk)