Ratu Atut Pantas Dituntut 15 Tahun Bui dan Denda Rp750 Juta

Minggu, 10 Agustus 2014 - 21:48 WIB
Ratu Atut Pantas Dituntut...
Ratu Atut Pantas Dituntut 15 Tahun Bui dan Denda Rp750 Juta
A A A
JAKARTA - Gubernur Banten nonaktif Ratu Atut Chosiyah pantas untuk mendapatkan tuntutan 15 tahun penjara dan denda Rp750 juta dari Jaksa Penuntut KPK. Selain itu Atut juga pantas untuk dicabut hak politiknya, dana pensiun, serta fasilitas negara yang diterimanya.

Demikian pernyataan sikap yang dikeluarkan Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama Masyarakat Transparansi (Mata) Banten, yang diterima Sindonews, Minggu (10/8/2014).

Rilis ini ditandatangani oleh Aggota Badan Pekerja ICW Emerson Yuntho, Direktur eksekutif Mata Fuaduddin Bagas, dan Akademisi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Dahnil Anzar.

Menurut ICW dan Mata, tuntutan itu merupakan tuntutan super maksimal yang pantas dikenakan pada Atut. Setidaknya ada lima alasan pemberatan sehingga Atut layak dituntut hukuman super maksimal.

Pertama, Ratu Atut saat itu sebagai Gubernur Banten seharusnya dapat menjadi contoh yang baik bagi warga Banten. Namun yang terjadi sebaliknya menjadi contoh yang buruk bagi warga banten dan mencoreng nama baik Pemerintah Provinsi Banten.

Kedua, tindakan Ratu Atut tidak sejalan dengan program pemerintah khususnya program pemberantasan korupsi. Alih-alih ikut terlibat dalam memberantas korupsi yang dilakukan oleh Ratu Atut justru terlibat dalam perkara korupsi.

Ketiga, melanggar komitmen antikorupsi yang pernah ditandatangani dan didorongnya sendiri.

"Ratu Atut adalah salah satu dari 22 Kepala Dearah bersama KPK pernah menandatangani Deklarasi Antikorupsi pada 9 Desember 2008 yang salah satu intinya menyatakan tidak akan melakukan korupsi."

"Lalu pada 20 Maret 2012, Ratu Atut selaku Gubernur Banten pernah mengimbau seluruh kepala daerah se-Banten untuk mencegah korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di lingkungkan birokrasi pemerintah Provinsi Banten. Hal ini disampaikan pada acara penandatanganan Pakta Integritas para Walikota dan Bupati se-Provinsi Banten di Pendopo Gubernur," seperti tertulis dalam rilis.

Keempat, suap yang dilakukan Ratu Atut kepada Akil Mochtar bukan sekedar suap kepada pejabat negara biasa.

Akil yang kala itu adalah seorang hakim MK punya peran besar dalam proses penegakan hukum serta upaya mengangkat citra penegak hukum di mata masyarakat.

Karenanya perbuatan Ratu Atut juga berimbas pada runtuhnya kepercayaan masyarakat pada penegakan hukum dan nilai negara hukum.

Kelima, merusak proses demokrasi khususnya di Lebak Banten. Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) merupakan salah satu proses membangun demokrasi di negeri ini.

"Tindakan Ratu Atut menyuap Akil Mochtar proses sengketa Pilkada pada akhirnya memberikan dampak buruk rusaknya demokrasi yang dibangun khususnya didaerah Banten."

Dengan hukuman yang maksimal untuk Ratu Atut, ICW dan Mata berharap dapat memotong mata rantai atau bahkan mengakhiri dinasti keluarga dan kolega Ratu Atut di wilayah Banten.

Karena sudah menjadi rahasia umum selama ini keluarga maupun kolega Ratu Atut menguasai hampir sebagian jabatan kepala daerah maupun posisi penting yang ada di wilayah Banten.

Politik Dinasti yang dibangun tidak didasarkan pada semangat demokrasi dan lebih kepada mempertahankan maupun memperluas kekuasaan dinasti keluarga, menguntungkan segelintir orang dan menyengsarakan rakyat di wilayah Banten.

"Selain itu tuntutan dan vonis maksimal ini diharapkan dapat memberikan efek jera terhadap pelaku dan peringatan bagi para kepala daerah lain untuk tidak melakukan praktek korupsi serupa yang dilakukan oleh Ratu Atut," tandas mereka.
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1603 seconds (0.1#10.140)