ISIS Masalah bagi Indonesia?
A
A
A
ISLAMIC State of Iraq and Syria (ISIS) dan virus Ebola bersamaan berdatangan ke beberapa negara Asia, Afrika, dan Timur Tengah. Bagi Indonesia, isu ISIS tampak lebih menarik dari virus Ebola sampai Presiden SBY ikut memberikan pernyataan di muka publik begitu pula Menkopolhukam.
Bagi rakyat kebanyakan tentu penghapusan subsidi BBM khusus untuk premium dan solar lebih berarti daripada dua isu di tersebut karena secara langsung menyangkut hajat hidup orang banyak. Pertanyaan yang sering timbul ketika bangsa ini menghadapi isu eksternal adalah apa iya ISIS merupakan masalah bagi Indonesia? Tentu bagi agen-agen intelijen yang tugas pokoknya adalah melindungi kepentingan negara termasuk kamtibmas, ISIS lebih menarik perhatian. Ada beberapa alasan.
Pertama, ada sekitar 56 warga negara Indonesia terlibat dalam organisasi ISIS yang tidak jelas statusnya dalam hukum internasional sekalipun sebagian wilayah Irak berada dalam kekuasaannya, bahkan organisasi ini memperoleh keuntungan dari ekspor minyak —aneh tapi nyata? Kedua, ISIS bukan negara dalam pengertian hukum internasional, bukan pula organisasi yang diakui PBB, dan bukan pula kumpulan jihadis semata-mata, melainkan secara terang-terangan sekumpulan orang-orang yang menentang Pemerintah Suriah dan Irak yang sah dan diakui sebagai anggota PBB. Dua negara tersebut bahkan tergabung dalam Organisasi Negara Islam Sedunia (OKI) bersama-sama Indonesia, boleh dibilang negara sahabat Indonesia.
Pemerintah Indonesia tampaknya sangat peduli terhadap WNI yang berada dan terlibat dalam perang di sana dan menurut berita sudah lima atau enam orang warga negara Indonesia yang meninggal dalam peperangan tersebut. Sampai sekarang jika tidak keliru, Dewan Keamanan PBB dan Counter Terrorism Branch UNODC belum mengeluarkan pernyataan apa pun atau suatu Resolusi Dewan Keamanan (DK) yang mengutuk ISIS.
Tentu posisi ini dengan berbagai pertimbangan salah satunya mungkin ISIS belum identik dengan organisasi al-Qaeda, sedangkan organisasi terakhir ini dan beberapa organisasi Islam di Indonesia, DK PBB telah memasukkannya sebagai organisasi teroris internasional. Organisasi ISIS dalam pendapat penulis adalah organisasi makar terhadap pemerintah yang sah, Irak dan Suriah, karena dengan pernyataan dan bahkan mengangkat senjata telah memerangi dua pemerintah tersebut. Jika benar demikian, kegiatan ISIS termasuk kategori perbuatan makar apalagi jika pendiri ISIS di Indonesia menyatakan di muka umum melalui media elektronik bahwa mereka tidak mengakui Pemerintah Indonesia.
Perbuatan makar adalah tindak pidana menurut KUHP Indonesia dan sudah pasti juga berlaku ketentuan yang sama baik di Irak dan Suriah karena makar merupakan ketentuan yang bersifat universal. Jika KUHP Indonesia, 99% adalah warisan Pemerintah Kolonial Belanda, ketentuan tersebut juga berlaku di seluruh negara yang menganut sistem hukum civil law. Makar bahkan diterjemahkan dalam KUHP di negara lain sebagai crime against the state.
Jika benar demikian adanya, makar di negara mana pun termasuk makar di wilayah NKRI jika ada warga negara Indonesia yang melakukan makar di negara lain sehingga yurisdiksi kriminal Indonesia berlaku terhadap mereka sesuai Pasal 5 ayat (1) sub ke-2 KUHP Indonesia jo Pasal 2 KUHP dan dalam hukum pidana internasional dikenal sebagai dual criminality principle. Penegak hukum Indonesia dapat melakukan langkah penyidikan dan penuntutan terhadap WNI tersebut di Indonesia berdasarkan pasal-pasal yang diatur dalam Bab III Buku Kedua KUHP Indonesia tentang Kejahatan-Kejahatan terhadap Negara Sahabat dan terhadap Kepala Negara Sahabat serta Wakilnya.
Pihak berwajib Irak atau Suriah memiliki yurisdiksi kriminal terhadap 56 warga negara Indonesia dan jika tertangkap sesuai dengan kewajiban negara dalam hukum internasional, Pemerintah Indonesia dapat menyampaikan permintaan ekstradisi kepada Pemerintah Irak dan Suriah, sekalipun tanpa perjanjian ekstradisi antara negara-negara tersebut dan Indonesia sesuai Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi. Pemerintah Indonesia bisa juga membiarkan 56 warga negara Indonesia seandainya tertangkap oleh pihak berwajib di dua negara tersebut untuk diadili pengadilan setempat.
Sikap terakhir ini dapat terjadi jika jauh hari sebelumnya Pemerintah Indonesia telah mencabut kewarganegaraan 56 WNI dengan dalih pelanggaran terhadap UU Kewarganegaraan. Jika sikap terakhir yang digunakan pemerintah Indonesia maka terhadap 56 orang Indonesia yang telah tidak memiliki kewarganegaraan Indonesia –diperlakukan sama dengan orang asing– dapat dikenakan tindakan-tindakan penangkalan sesuai ketentuan Pasal 13 UU RI Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.
Dilihat dari sisi hukum Indonesia menghadapi ISIS dapat digunakan cara preventif atau represif atau preemptif. Cara terakhir dengan mendayagunakan UU RI Nomor 17 Tahun 2012 tentang Intelijen Negara khusus Pasal 31 hingga Pasal 34 atau melalui media komunikasi baik jalur formal dengan menggunakan UU Ormas atau UU Menyampaikan Pendapat di Muka Umum maupun jalur informal.
Terkait tindakan represif, dapat digunakan UU ITE terhadap orang-orang yang berpidato dan memberikan pernyataan yang merupakan ancaman terhadap kepentingan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 UU Intelijen Negara atau jika telah diperoleh bukti permulaan cukup telah terjadi persiapan-persiapan untuk membantu kejahatan terhadap negara sahabat dan terhadap kepala negara sahabat atau wakilnya, dapat diancam pidana menurut Pasal 139 a hingga Pasal 145 KUHP. Selain aspek hukum preemptif, preventif, dan represif tersebut, tidak kalah pentingnya adalah keputusan politik Pemerintah Indonesia terhadap kemungkinan perkembangan organisasi ISIS di wilayah NKRI.
Salah satu sikap yang sepatutnya diambil adalah pemerintah mengeluarkan produk peraturan di bawah UU dan menyatakan ISIS adalah organisasi terlarang di wilayah hukum NKRI sehingga kebijakan politik yang wajib ditindaklanjuti dengan penegakan hukum di dalam wilayah NKRI.
ROMLI ATMASASMITA
Guru Besar (Emeritus) Hukum Pidana Internasional Unpad
Bagi rakyat kebanyakan tentu penghapusan subsidi BBM khusus untuk premium dan solar lebih berarti daripada dua isu di tersebut karena secara langsung menyangkut hajat hidup orang banyak. Pertanyaan yang sering timbul ketika bangsa ini menghadapi isu eksternal adalah apa iya ISIS merupakan masalah bagi Indonesia? Tentu bagi agen-agen intelijen yang tugas pokoknya adalah melindungi kepentingan negara termasuk kamtibmas, ISIS lebih menarik perhatian. Ada beberapa alasan.
Pertama, ada sekitar 56 warga negara Indonesia terlibat dalam organisasi ISIS yang tidak jelas statusnya dalam hukum internasional sekalipun sebagian wilayah Irak berada dalam kekuasaannya, bahkan organisasi ini memperoleh keuntungan dari ekspor minyak —aneh tapi nyata? Kedua, ISIS bukan negara dalam pengertian hukum internasional, bukan pula organisasi yang diakui PBB, dan bukan pula kumpulan jihadis semata-mata, melainkan secara terang-terangan sekumpulan orang-orang yang menentang Pemerintah Suriah dan Irak yang sah dan diakui sebagai anggota PBB. Dua negara tersebut bahkan tergabung dalam Organisasi Negara Islam Sedunia (OKI) bersama-sama Indonesia, boleh dibilang negara sahabat Indonesia.
Pemerintah Indonesia tampaknya sangat peduli terhadap WNI yang berada dan terlibat dalam perang di sana dan menurut berita sudah lima atau enam orang warga negara Indonesia yang meninggal dalam peperangan tersebut. Sampai sekarang jika tidak keliru, Dewan Keamanan PBB dan Counter Terrorism Branch UNODC belum mengeluarkan pernyataan apa pun atau suatu Resolusi Dewan Keamanan (DK) yang mengutuk ISIS.
Tentu posisi ini dengan berbagai pertimbangan salah satunya mungkin ISIS belum identik dengan organisasi al-Qaeda, sedangkan organisasi terakhir ini dan beberapa organisasi Islam di Indonesia, DK PBB telah memasukkannya sebagai organisasi teroris internasional. Organisasi ISIS dalam pendapat penulis adalah organisasi makar terhadap pemerintah yang sah, Irak dan Suriah, karena dengan pernyataan dan bahkan mengangkat senjata telah memerangi dua pemerintah tersebut. Jika benar demikian, kegiatan ISIS termasuk kategori perbuatan makar apalagi jika pendiri ISIS di Indonesia menyatakan di muka umum melalui media elektronik bahwa mereka tidak mengakui Pemerintah Indonesia.
Perbuatan makar adalah tindak pidana menurut KUHP Indonesia dan sudah pasti juga berlaku ketentuan yang sama baik di Irak dan Suriah karena makar merupakan ketentuan yang bersifat universal. Jika KUHP Indonesia, 99% adalah warisan Pemerintah Kolonial Belanda, ketentuan tersebut juga berlaku di seluruh negara yang menganut sistem hukum civil law. Makar bahkan diterjemahkan dalam KUHP di negara lain sebagai crime against the state.
Jika benar demikian adanya, makar di negara mana pun termasuk makar di wilayah NKRI jika ada warga negara Indonesia yang melakukan makar di negara lain sehingga yurisdiksi kriminal Indonesia berlaku terhadap mereka sesuai Pasal 5 ayat (1) sub ke-2 KUHP Indonesia jo Pasal 2 KUHP dan dalam hukum pidana internasional dikenal sebagai dual criminality principle. Penegak hukum Indonesia dapat melakukan langkah penyidikan dan penuntutan terhadap WNI tersebut di Indonesia berdasarkan pasal-pasal yang diatur dalam Bab III Buku Kedua KUHP Indonesia tentang Kejahatan-Kejahatan terhadap Negara Sahabat dan terhadap Kepala Negara Sahabat serta Wakilnya.
Pihak berwajib Irak atau Suriah memiliki yurisdiksi kriminal terhadap 56 warga negara Indonesia dan jika tertangkap sesuai dengan kewajiban negara dalam hukum internasional, Pemerintah Indonesia dapat menyampaikan permintaan ekstradisi kepada Pemerintah Irak dan Suriah, sekalipun tanpa perjanjian ekstradisi antara negara-negara tersebut dan Indonesia sesuai Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi. Pemerintah Indonesia bisa juga membiarkan 56 warga negara Indonesia seandainya tertangkap oleh pihak berwajib di dua negara tersebut untuk diadili pengadilan setempat.
Sikap terakhir ini dapat terjadi jika jauh hari sebelumnya Pemerintah Indonesia telah mencabut kewarganegaraan 56 WNI dengan dalih pelanggaran terhadap UU Kewarganegaraan. Jika sikap terakhir yang digunakan pemerintah Indonesia maka terhadap 56 orang Indonesia yang telah tidak memiliki kewarganegaraan Indonesia –diperlakukan sama dengan orang asing– dapat dikenakan tindakan-tindakan penangkalan sesuai ketentuan Pasal 13 UU RI Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.
Dilihat dari sisi hukum Indonesia menghadapi ISIS dapat digunakan cara preventif atau represif atau preemptif. Cara terakhir dengan mendayagunakan UU RI Nomor 17 Tahun 2012 tentang Intelijen Negara khusus Pasal 31 hingga Pasal 34 atau melalui media komunikasi baik jalur formal dengan menggunakan UU Ormas atau UU Menyampaikan Pendapat di Muka Umum maupun jalur informal.
Terkait tindakan represif, dapat digunakan UU ITE terhadap orang-orang yang berpidato dan memberikan pernyataan yang merupakan ancaman terhadap kepentingan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 UU Intelijen Negara atau jika telah diperoleh bukti permulaan cukup telah terjadi persiapan-persiapan untuk membantu kejahatan terhadap negara sahabat dan terhadap kepala negara sahabat atau wakilnya, dapat diancam pidana menurut Pasal 139 a hingga Pasal 145 KUHP. Selain aspek hukum preemptif, preventif, dan represif tersebut, tidak kalah pentingnya adalah keputusan politik Pemerintah Indonesia terhadap kemungkinan perkembangan organisasi ISIS di wilayah NKRI.
Salah satu sikap yang sepatutnya diambil adalah pemerintah mengeluarkan produk peraturan di bawah UU dan menyatakan ISIS adalah organisasi terlarang di wilayah hukum NKRI sehingga kebijakan politik yang wajib ditindaklanjuti dengan penegakan hukum di dalam wilayah NKRI.
ROMLI ATMASASMITA
Guru Besar (Emeritus) Hukum Pidana Internasional Unpad
(hyk)