PBB Telah Kehilangan Raison D'Etre-nya

Minggu, 03 Agustus 2014 - 14:13 WIB
PBB Telah Kehilangan...
PBB Telah Kehilangan Raison D'Etre-nya
A A A
AKHIR Juni 2014 yang lalu, tepatnya 21-24 Juni 2014, delegasi pimpinan MPR RI berkunjung ke Palestina dalam sebuah kunjungan resmi alias ofisial.

Kami memasuki negara yang sepenuhnya di bawah kekuasaan otoriter rezim aneksasionis Israel itu melalui Kerajaan Yordania dengan harus melewati boarder Alenbi, di bawah pengawasan ketat pemerintahan Israel. Kami baru bisa lolos dari kantor emigrasi setelah mengalami pemeriksaan ketat emigrasi Israel selama tiga jam lebih. Betapa aneh dan absurdnya memasuki sebuah negara yang satu (Palestina) melalui pemeriksaan otoritas negara lain (Israel) yang notabene musuhnya.

Betapa tragisnya nasib sebuah negara yang tanpa sama sekali memiliki kedaulatan secara kategoris in optima forma! Saking tidak berdaulatnya apa yang disebut dengan Negara Palestina itu, sebagai sang tuan rumah tidak bisa dan tidak boleh menjemput delegasi resmi Indonesia dalam kunjungan yang resmi pula ini! Kami menginap di sebuah hotel di kota tua Yerusalem (nama lain Baitul Maqdis atau Al-Quds), yang lokasinya sangat dekat dari al-haram Masjidilaqsha dan Kubah Shahra’ (Dome of Rock) yang sangat bersejarah itu.

Sengaja kami menginap di sana dengan harapan dapat lebih mudah mengunjungi Masjidilaqsha, masjid suci (Al-Haram Al-Syarif) ketiga setelah Masjidilharam (di Mekkah al-Mukarramah) dan Masjid Nabawi (di Madinah Al-Munawwarah), sehingga selalu berkesempatan untuk menunaikan salat wajib lima waktu secara berjamaah di sana dengan mudah.

Saya mengalami sendiri dan melihat dengan mata kepala sendiri kebenaran informasi selama ini bahwa seluruh akses dan pintu-pintu menuju Masjidilaqsha itu dijaga dengan ketat oleh tentara Israel. Kami juga baru tahu saat itu bahwa pada senyatanya hanyalah warga kota Yerusalem yang bisa berkunjung ke Al-Aqsa.

Sementara warga Palestina di luar Yerusalem seperti warga Ramallah, Jericho, Betlehem, dan lain-lainnya, apalagi warga Jalur Gaza seperti Kanyounis yang memang terisolasi secara mutlak itu, tidak boleh dan tidak bisa memasuki Yerusalem tanpa izin pihak keamanan Israel bahkan sekadar untuk mengunjungi Masjidilaqsha sekalipun.

Teknologi isolasi dengan dinding telah membuat warga Palestina di setiap pemukiman menjadi seperti dalam kamar-kamar penjara raksasa, di mana dinding-dinding tebal dan setinggi tujuh meter itu sebagai pemisah satu sama lain. Fakta bahwa dinding itu panjangnya sudah mencapai 970 km adalah bukti warga Palestina hidup dalam penjara Israel.

Semua Ingin Damai
Agenda kami di Palestina adalah di samping mengadakan pertemuan bilateral dengan Ketua dan Pimpinan Parlemen, Perdana Menteri, keduanya di Ramallah, dan ketua Juru Runding Palestina Saeb Erakat di Jericho, juga melakukan kunjungan kehormatan kepada Presiden Palestina Mahmud Abbas juga di Ramallah.

Adalah sangat menarik bahwa dari serangkaian pertemuan-pertemuan tersebut kami mendapatkan kesan dan kesimpulan akan besarnya semangat serta optimisme para pemimpin Palestina untuk tercapainya perdamaian abadi dengan bangsa Yahudi, Israel. Mereka menyatakan bahwa seluruh pemimpin Palestina dan dunia internasional mendukung perdamaian Palestina-Israel.

Sambil berseloroh Presiden Mahmud Abbas mengatakan hanya tiga orang saja yang tidak menginginkan perdamaian, yaitu Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu, menteri pertahanan Israel, dan menteri perumahan Israel. Maka sungguh saya terkejut dan hampir tidak percaya ketika tidak lebih dari sepekan berselang sepulang kami dari Palestina, terjadi serangan besar-besaran yang brutal dilakukan oleh Israel terhadap warga Palestina di Gaza.

Bahkan, serangan itu sedemikian brutalnya sampai membunuh lebih dari 1.115 warga Palestina yang tidak berdaya, termasuk di dalamnya kaum perempuan dan anak-anak. Sementara dunia internasional tidak berhasil sama sekali menghentikan serangan Israel yang tidak seimbang itu. Alhasil, yang terjadi sekarang ini bukanlah perang, melainkan serangan agresi sepihak.

Pasalnya, perang ini bukan antara dua negara yang seimbang, melainkan ”perang” antara sebuah negara yang berdaulat dan warga negara atau masyarakat dari sebuah negara yang tidak memiliki tentara atau angkatan bersenjata. Memang benar ada serangan-serangan roket dari Gaza, tetapi itu sifatnya sangat-sangat sporadis dan insidental karena memang Jalur Gaza itu tanpa sumber daya dan luasnya cuma sepanjang 40 km (sebanding jarak Jakarta-Bogor).

Sangat meyakinkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah kehilangan alasan kehadiran (raison d’etre)-nya jika benar-benar tidak bisa menghentikan agresi dan kekejaman Israel terhadap Bangsa Palestina. Kekejaman Israel telah melampaui ambang batas peradaban umat manusia abad modern abad ke-21. Pasalnya, apa yang dilakukan oleh Israel telah menjurus pada pembantaian atau genosida terhadap eksistensi bangsa Palestina.

PBB bukan hanya harus bisa menghentikan pembantaian tersebut, melainkan harus bisa membawa Israel ke Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional atau International Tribunal. Sudah sangat terlambat bagi PBB untuk segera mengirimkan pasukan internasional di bawah payung PBB untuk menghentikan paksa pembantaian kemanusiaan di Jalur Gaza, sebuah perkampungan mini yang sangat kecil itu.

Jika langkah-langkah itu tidak bisa diambil dan dilakukan, sungguh PBB benar-benar telah kehilangan raison d’etre atas kehadirannya. PBB kehilangan sama sekali alasan kehadiran alias omnipresencenya. Pasalnya, tindakan rezim pemerintahan Israel yang sudah memakan korban tewas menembus angka ribuan warga Palestina, bahkan ratusan anak-anak dan perempuan yang tidak berdaya itu, sungguh telah mencoreng peradaban modern yang bercirikan penghormatan terhadap nilai-nilai kehidupan manusia atau hak-hak asasi manusia (HAM).

Saya rasa peradaban modern yang ditulangpunggungi peradaban (bangsa-bangsa) Barat, sekarang ini telah mengalami kebangkrutan yang luar biasa karena telah membiarkan sebuah pembantaian terjadi di depan matanya dan di bawah restunya. Negara Barat, terutama Amerika Serikat dan Uni Eropa, sebagai penguasa dunia sekarang ini seharusnya malu hati menyaksikan kejahatan kemanusiaan itu terjadi di depan hidungnya sendiri.

Padahal, mereka nyata-nyata memiliki kekuatan untuk menghentikan Israel. Dan, PBB pada hakikatnya adalah proyek negara-negara Barat pascaperadaban imperialisme yang juga dilakukan oleh orang-orang Barat pula. Dalam konteks dan perspektif ini maka Organisasi Nonblok dan Organisasi Konferensi Islam (OKI) mutlak harus mendesak PBB untuk segera menjatuhkan hukuman kepada Israel.

Jika tidak, saya yakin OKI dan Nonblok juga bisa kehilangan argumen atas kehadiran dirinya di dunia beradab sekarang ini. Nonblok yang dipimpin oleh Iran yang selama ini dikenal keras kepada Barat, dan OKI yang dipimpin oleh Turki dan Arab Saudi yang dikenal sangat-sangat dekat dengan negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat (AS) seharusnya bisa berbuat sesuatu serta malu hati membiarkan kekejaman Israel atas bangsa Palestina yang tidak berdaya sekarang ini.

Indonesia yang–benar atau salah juga dikenal dekat dengan negara-negara Barat penguasa sejati dunia sekarang ini, sudah waktunya untuk mengambil posisi aktif mendesak OKI dan Nonblok untuk memberikan ultimatum kepada PBB untuk mengambil langkah apa pun demi menghentikan secara kategoris pembantaian manusia di Gaza itu.

Langkah Indonesia itu bukan hanya merupakan imperativum konstitusi UUD 1945, melainkan juga pengejawantahan dari nilai-nilai Pancasila, terutama Sila Kedua Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.

Apa pun alasannya, tindakan Israel yang sudah membunuh ratusan warga Palestina itu bukan hanya melawan HAM, melainkan juga langsung menohok nilai-nilai Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.

HAJRIYANTO Y THOHARI

Wakil Ketua MPR RI
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5495 seconds (0.1#10.140)