Oposisi Anak Sah Sistem Demokrasi

Jum'at, 01 Agustus 2014 - 13:42 WIB
Oposisi Anak Sah Sistem...
Oposisi Anak Sah Sistem Demokrasi
A A A
DALAM negara demokrasi, jika ada kekuasaan yang memerintah maka sah pula kehadiran kekuasaan yang beroposisi.

Di Amerika Serikat, Australia, Inggris, bahkan Malaysia dan pada umumnya di negara-negara demokrasi, kehadiran kekuatan oposisi telah menjadi pranata demokrasi yang sangat penting. Ajaran klasik Lord Acton bahwa “power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely" selalu menjadi sebuah inspirasi yang tak kunjung usang untuk dijadikan sebagai pegangan untuk membangun sistem pemerintahan demokratis.

Harus dicegah suatu kekuasaan menjadi absolut, apalagi sebuah kekuasaan diklaim sebagai “populis” tak luput dari potensi korup dan bisa mengalami pembusukan politik (political decay), jika tanpa suatu kontrol politik. Hanya kekuasaan Sang Ilahi saja yang absolut dan tak beroposisi, karena kodratnya yang tak bisa salah dan serba-maha. Oposisi dalam dunia politik berarti partai penentang di dewan perwakilan yang menentang dan mengkritik pendapat atau kebijaksanaan politik golongan yang berkuasa.

Opposition lazim diterjemahkan menjadi oposisi. Kata itu berasal dari bahasa Latin oppnere, yang berarti menentang, menolak, melawan. Nilai konsep, bentuk, cara, dan alat oposisi itu bervariasi. Nilainya antara kepentingan bersama sampai pada kepentingan pribadi atau kelompok. Sejauh kekuasaan itu dibangun oleh (sekumpulan) manusia, niscaya berpotensi melakukan kesalahan dan memiliki sejumlah kelemahan.

Sebaik apa pun sistem demokrasi dibangun, selalu memiliki potensi melakukan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dan bisa bertindak sewenang-wenang (willekeurig). Di titik inilah urgensi hadirnya sebuah kekuasaan oposisi. Langkah-langkah sebagian elite politik yang di masa kompetisi pilpres menamakan diri sebagai "koalisi merah putih” dan kemudian membentuk “koalisi permanen” adalah sebuah keniscayaan serta merupakan hal yang sah dalam sistem demokrasi.

Tak perlu ada keraguan dan bahkan mengharamkan kekuasaan oposisi jika suatu negara menisbatkan dirinya sebagai sebuah negara demokrasi. Di era pemerintahan SBY dan Partai Demokrat berkuasa di parlemen, meskipun masih terlihat “setengah hati”, PDIP menamakan dan memosisikan dirinya sebagai partai oposisi. Dengan demikian, tak perlu mendikotomikan hadirnya kekuatan oposisi dengan sistem presidensial. Lebih salah kaprah lagi jika hadirnya kekuatan oposisi dianggap sebagai suatu gangguan terhadap pemerintah.

Oposisi dalam parlemen selain merupakan sebuah keniscayaan dalam sistem parlemen demokratis, jika berkaca pada pengalaman negara-negara demokrasi modern, hadirnya kekuatan oposisi dalam parlemen berdampak terhadap paling sedikit tiga hal. Pertama, meningkatkan kualitas kebijakan dan fungsi parlemen yang dihasilkan melalui perdebatan-perdebatan dalam pelaksanaan fungsi legislasi, pengawasan dan penganggaran.

Kedua, melalui checks and balances di dalam tubuh parlemen, kekuasaan parlemen dicegah menjadi absolut dan hanya “membebek” terhadap pendapat eksekutif. Konstitusi tak pernah mengharamkan kekuatan oposisi karena sistem oposisi merupakan salah satu ciri dari negara demokrasi konstitusional. Dan ketiga, kekuatan oposisi dalam tubuh parlemen, jika benar-benar mampu menjadi kekuatan penyeimbang, justru akan meningkatkan kualitas pengawasan parlemen terhadap eksekutif.

Kekuasaan eksekutif yang cenderung berpotensi menjadi birokratis, tanpa pengawalan sebuah kekuatan oposisi akan cenderung menjadi stagnan. Kekuatan oposisi dalam pola parlemen di AS di antara Partai Republik dan Partai Demokrat, justru dapat mendorong eksekutif di AS menghasilkan kebijakan-kebijakan di dalam maupun luar negeri yang akuntabel dan controllable.

Demokrasi sejati selalu bertumpu atas konsensus dan disensus. Hal itu dijustifikasi oleh tesis Zizek mengenai asas logika perbedaan minimal yang senantiasa menghadirkan sudut pandang baru pada setiap fase kehidupan. Dalam demokrasi modern, pembatasan kuasa negara perlu dimanifestasikan dalam sebuah sistem yang memungkinkan kekuatan oposisi berperan untuk memantau kualitas bekerjanya eksekusi kebijakan.

Maka, hakikat keabsahan tindakan publik yang harus digantungkan pada norma sebuah undang-undang yang dihasilkan oleh parlemen, sejatinya adalah legitimasi politik yang mengandaikan afirmasi rakyat dalam sistem demokrasi perwakilan. Kekuatan oposisi mencerminkan pluralitas rakyat yang tak harus selalu menyanjung-nyanjung dan bermanis muka di hadapan pemimpinnya.

Justru rakyat melalui wakilnya di parlemen harus melaksanakan kontrol kritis terhadap kuasa eksekutif yang memiliki mandat yang sebangun dengan fungsi berbeda dengan kuasa legislatif yang masing-masing mendapat otoritas dari amanah rakyat. Hadirnya oposisi sebagai kuasa “negativitas” dalam sistem parlemen merepresentasi realitas dari apa yang oleh Laclau dikatakan bahwa masyarakat tak dapat dan tak mungkin dibentuk secara total, ia selalu retak, berubah, dan mengalami disintegrasi.

Dalam pandangan Zizek, keretakan struktur dalam realitas sosiopolitik adalah sesuatu yang tak terhindarkan, bahkan dalam suatu masyarakat yang diatur oleh rezim totaliter sekalipun. Dalam posisi ini subjek-subjek secara politik selalu harus diposisikan sebagai pergerakan antara yang simbolik terhadap yang riil.

Oleh karena itu, kehadiran oposisi dalam sistem demokrasi adalah upaya subjek untuk mengaktualisasikan makna demokrasi hakiki yang salah satunya ditandai oleh sebuah relasi yang bergerak antara konsensus dan disensus, checks and balances, dan harmoni disharmoni. Terlepas dari hal itu sebuah kuasa akan menjadi totaliter dan absolut. Tak satu undang-undang pun mengharamkan oposisi, karena disadari bahwa salah satu komponen negara demokrasi yang membedakannya dengan negara non-demokrasi adalah eksisnya unsur oposisi.

Karena, oposisi dapat menjadi kekuatan pengontrol dan penyeimbang jalan pelaksanaan pemerintahan dalam suatu negara, sehingga pemerintahan dan negara dapat dicegah untuk tidak terjerumus ke dalam keadaan abuse of power. Oleh sebab itu, oposisi adalah salah satu elemen penting untuk membangun negara demokrasi yang kuat. Dari sudut pandang penting mekanisme checks and balances, oposisi semestinya tidak perlu dicemaskan dan kemudian menjadi takut untuk menerima kehadirannya.

Justru, adanya kekuatan oposisi dapat menjaga pelaksanaan negara demokrasi berjalan dengan baik dan demokratis. Beroposisi politik berarti melakukan kegiatan pengawasan atas kekuasaan politik yang bisa keliru dan bisa benar. Ketika kekuasaan menjalani kekeliruan, oposisi berfungsi mengabarkan kepada publik kekeliruan itu sambil membangun penentangan dan perlawanan atasnya.

Sebaliknya, ketika kekuasaan menjalankan fungsinya secara benar, maka oposisi menggarisbawahinya sambil membangun kesadaran dan aksi publik untuk meminta kelanjutan dan konsistensi dari praktik kebenaran itu. Maka, sama mulianya dengan kuasa yang memerintah, kuasa oposisi juga mengabdi pada mandat rakyat untuk mencegah kekuasaan berkembang menjadi tirani dan mencederai rakyat, sang pemilik sejati kekuasaan dalam negara demokrasi.

Akhirnya, selamat memerintah dan selamat beroposisi bagi para pemegang mandat rakyat di eksekutif dan parlemen.

DR. W. RIAWAN TJANDRA, S.H., M.HUM
Pengajar Hukum Kenegaraan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0980 seconds (0.1#10.140)