Jakarta Stres
A
A
A
ULANG tahun Jakarta ke- 487 segera kita sambut di Juni 2014 ini. Ada yang unik di ulang tahun saat ini, yakni bertepatan dengan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) mencalonkan diri sebagai Presiden RI 2014-2019.
Praktis kota ini dipimpin oleh Wakil Gubernurnya, Basuki Tjahaja Purnama atau sering dipanggil Ahok. Bagaimanapun menjelang pilpres ini Ahok, hanya sebagai pejabat sementara. Uniknya pula Ahok adalah wakil gubernur yang separtai dengan kandidat presiden pesaing, Jokowi. Secara politis membuat kegundahan tersendiri bagi Ahok. Terlalu mendukung partainya, Ahok tidak akan menjadi gubernur pengganti jika kandidat partainya menang menjadi presiden.
Tidak mendukung kandidat partainya, agar jalan menuju Jakarta 1 mulus, membuat dirinya begitu tidak nyaman dengan partainya. Dengan demikian, masa pilpres membawa pejabat pengendali Kota Jakarta galau–istilah anak sekarang. Kegalauan pejabat politik dalam pemerintahan daerah, dapat membuat tekanan tersendiri kepada birokrasi lokalnya (Richard Batley: 1993). Jika birokrasi stres, masyarakat Jakarta kemungkinan ikut stres. Untuk itu, kita perlu cermati.
Efek Administratif
Kota Jakarta yang sedang mengalami pertumbuhan masif dan membutuhkan pembenahan yang besar, sangat membutuhkan ketekunan pengambil kebijakannya dalam mengelola persoalan publik yang berkembang. Kebijakan- kebijakan yang unggul yang sudah dibuat harus diimplementasikan dengan penuh serius dan profesional. Jakarta sendiri adalah barometer Indonesia. Hal ini merupakan tekanan tambahan bagi pemangku kepentingan kota ini untuk lebih kuat, progresif, andal, profesional, dan visioner mengelolanya.
Pengambil kebijakan kota ini juga membutuhkan administrasi publik yang mumpuni yang diejawantahkan oleh birokrasi pemerintah daerah Kota ini. ”Public administration is a political act, most obviously because it involves governmental discretion in the distribution of resources....Can they be agents of change? If they operate outside their time and context, they risk marginalization from all reality; if they operate within it, their transforming role is in question.” (Batley: 1993).
Pengendali kebijakan kota ini memiliki seribu satu macam pemangku kepentingan. Secara vertikal terdapat organisasi pemerintah pusat termasuk pengendali kebijakan pemerintahan nasional RI, bahkan organisasi pemerintah negara lain, bahkan badan-badan semi otonom internasional yang berkantor di kota ini.
Secara horizontal pengendali kebijakan kota Jakarta juga menghadapi pemerintah daerah sekelilingnya dan berbagai pemerintah daerah yang memiliki hubungan kerja dengan pemerintah Kota Jakarta. Hubungan dengan pihak swasta dan masyarakat pun menambah kompleks jejaring dengan pemangku kepentingan kota ini.
Betapa Kota Jakarta menjadi tumpuan harapan berbagai pihak yang mengharap peran bangsa Indonesia bagi diri mereka masing-masing. Jakarta adalah teras bangsa Indonesia, dan barometer bangsa Indonesia bagi bangsa lain. Saat ini tumpuan ditujukan kepada pejabat sementara Gubernur untuk menjadi pemandu manajemen kota ini. Pertanyaan akan banyak diarahkan kepada Ahok dalam rangka transformasi Kota Jakarta. Bagaimana Ahok mengendalikan birokrasi kota ini untuk mewujudkan berbagai kebijakan yang sudah dibuat.
Jika Ahok stres, sangat dimungkinkan birokrasinya stres. Kasus korupsi di tubuh sektor perhubungan darat yang beliau tangani menjadi tolok ukur kedewasaan Ahok dalam mengendalikan keseluruhan birokrasinya. Birokrasi Jakarta bagaimanapun telah berpengalaman panjang menata kota ini. Sebagai pengendali kebijakan, seyogianya dapat menempatkan birokrasinya tersebut sehingga tidak perlu menyeret stres masyarakatnya.
Sebetulnya efek administrasi dapat tergolong rendah karena sistem manajemen kota ini telah terbangun ratusan tahun sejak Hindia Belanda. Pemangku kepentingan kota ini tertidur sekalipun, sistem tetap bekerja. Yang jadi persoalan adalah jika pemangku kepentingan stres, kemungkinan besar sistem terpengaruh. Kita dapat ukur, ketika Jokowi melakukan blusukan betapa terkesiapnya birokrasi kota Jakarta. Setelah itu lelang jabatan, kemudian diteruskan dengan rotasi jabatan. Jokowi membuat birokrasi Jakarta berputar agak keras.
Berbeda dengan Jokowi, Ahok lebih diarahkan kepada pengendalian birokrasi sejak awal. Modelnya pun berbeda dan ditambah dengan suasana pencapresan ”bos” nya tadi. Sekarang Ahok, jadi bos belum sepenuhnya. Efek administrasi dengan kondisi ”bos” kota Jakarta yang berbeda, tampak direspons berbeda oleh administrasinya.
Orientasi Sistem
Masyarakat berharap transformasi Kota Jakarta menuju teras bangsa dan barometer bangsa Indonesia yang makin bermartabat, berkelas, dan tangguh harus terus diwujudkan. Kepada Ahok, pesan yang dapat dibuat selagi ulang tahun kota Jakarta dengan suasana pilpres, adalah pertama, sudah selayaknya bekerjalah tetap dengan membangun sistem kota ini lebih banyak berbicara. Ahok adalah dirigen yang mengarahkan sistem tersebut.
Kedua , bekerja dengan pendekatan terapi-kejut mungkin diminimalisasi lebih banyak ke arah ”adjustment” karena suasana pilpres membawa segala tindakan Ahok lebih banyak dibaca politis. Peran Ahok yang berada di persimpangan dalam suasana pilpres ini, jika lebih banyak terapi-kejut, akan berbuntut simalakama buat Ahok sendiri. Bahkan dapat menimbulkan stagnasi yang akan betul-betul berbuntut kepada munculnya masyarakat Jakarta yang stres. Ketiga, pengendalian sistem yang ada dengan warna ”adjustment” sekalipun tetap berorientasi progresif.
Ukurannya adalah outcome pelayanan publik kepada masyarakat. Keempat , sistem antara yang dikendalikan diukur dengan ”adjustment” berpola ”zero defect management” . Dukungan masyarakat akan melimpah jika mampu dibuktikan adanya outcome yang nyata. Masyarakat kota ditandai oleh masyarakat yang pragmatis kontraktual. Kelima, Jika Ahok mampu meminimalisasi terseretnya stres publik, niscaya Jakarta bukan saja semakin maju bahkan semakin semarak dan berkualitas. Semoga.
IRFAN RIDWAN MAKSUM
Ketua Program Pascasarjana Ilmu Administrasi FISIP UI, Anggota DPD RI
Praktis kota ini dipimpin oleh Wakil Gubernurnya, Basuki Tjahaja Purnama atau sering dipanggil Ahok. Bagaimanapun menjelang pilpres ini Ahok, hanya sebagai pejabat sementara. Uniknya pula Ahok adalah wakil gubernur yang separtai dengan kandidat presiden pesaing, Jokowi. Secara politis membuat kegundahan tersendiri bagi Ahok. Terlalu mendukung partainya, Ahok tidak akan menjadi gubernur pengganti jika kandidat partainya menang menjadi presiden.
Tidak mendukung kandidat partainya, agar jalan menuju Jakarta 1 mulus, membuat dirinya begitu tidak nyaman dengan partainya. Dengan demikian, masa pilpres membawa pejabat pengendali Kota Jakarta galau–istilah anak sekarang. Kegalauan pejabat politik dalam pemerintahan daerah, dapat membuat tekanan tersendiri kepada birokrasi lokalnya (Richard Batley: 1993). Jika birokrasi stres, masyarakat Jakarta kemungkinan ikut stres. Untuk itu, kita perlu cermati.
Efek Administratif
Kota Jakarta yang sedang mengalami pertumbuhan masif dan membutuhkan pembenahan yang besar, sangat membutuhkan ketekunan pengambil kebijakannya dalam mengelola persoalan publik yang berkembang. Kebijakan- kebijakan yang unggul yang sudah dibuat harus diimplementasikan dengan penuh serius dan profesional. Jakarta sendiri adalah barometer Indonesia. Hal ini merupakan tekanan tambahan bagi pemangku kepentingan kota ini untuk lebih kuat, progresif, andal, profesional, dan visioner mengelolanya.
Pengambil kebijakan kota ini juga membutuhkan administrasi publik yang mumpuni yang diejawantahkan oleh birokrasi pemerintah daerah Kota ini. ”Public administration is a political act, most obviously because it involves governmental discretion in the distribution of resources....Can they be agents of change? If they operate outside their time and context, they risk marginalization from all reality; if they operate within it, their transforming role is in question.” (Batley: 1993).
Pengendali kebijakan kota ini memiliki seribu satu macam pemangku kepentingan. Secara vertikal terdapat organisasi pemerintah pusat termasuk pengendali kebijakan pemerintahan nasional RI, bahkan organisasi pemerintah negara lain, bahkan badan-badan semi otonom internasional yang berkantor di kota ini.
Secara horizontal pengendali kebijakan kota Jakarta juga menghadapi pemerintah daerah sekelilingnya dan berbagai pemerintah daerah yang memiliki hubungan kerja dengan pemerintah Kota Jakarta. Hubungan dengan pihak swasta dan masyarakat pun menambah kompleks jejaring dengan pemangku kepentingan kota ini.
Betapa Kota Jakarta menjadi tumpuan harapan berbagai pihak yang mengharap peran bangsa Indonesia bagi diri mereka masing-masing. Jakarta adalah teras bangsa Indonesia, dan barometer bangsa Indonesia bagi bangsa lain. Saat ini tumpuan ditujukan kepada pejabat sementara Gubernur untuk menjadi pemandu manajemen kota ini. Pertanyaan akan banyak diarahkan kepada Ahok dalam rangka transformasi Kota Jakarta. Bagaimana Ahok mengendalikan birokrasi kota ini untuk mewujudkan berbagai kebijakan yang sudah dibuat.
Jika Ahok stres, sangat dimungkinkan birokrasinya stres. Kasus korupsi di tubuh sektor perhubungan darat yang beliau tangani menjadi tolok ukur kedewasaan Ahok dalam mengendalikan keseluruhan birokrasinya. Birokrasi Jakarta bagaimanapun telah berpengalaman panjang menata kota ini. Sebagai pengendali kebijakan, seyogianya dapat menempatkan birokrasinya tersebut sehingga tidak perlu menyeret stres masyarakatnya.
Sebetulnya efek administrasi dapat tergolong rendah karena sistem manajemen kota ini telah terbangun ratusan tahun sejak Hindia Belanda. Pemangku kepentingan kota ini tertidur sekalipun, sistem tetap bekerja. Yang jadi persoalan adalah jika pemangku kepentingan stres, kemungkinan besar sistem terpengaruh. Kita dapat ukur, ketika Jokowi melakukan blusukan betapa terkesiapnya birokrasi kota Jakarta. Setelah itu lelang jabatan, kemudian diteruskan dengan rotasi jabatan. Jokowi membuat birokrasi Jakarta berputar agak keras.
Berbeda dengan Jokowi, Ahok lebih diarahkan kepada pengendalian birokrasi sejak awal. Modelnya pun berbeda dan ditambah dengan suasana pencapresan ”bos” nya tadi. Sekarang Ahok, jadi bos belum sepenuhnya. Efek administrasi dengan kondisi ”bos” kota Jakarta yang berbeda, tampak direspons berbeda oleh administrasinya.
Orientasi Sistem
Masyarakat berharap transformasi Kota Jakarta menuju teras bangsa dan barometer bangsa Indonesia yang makin bermartabat, berkelas, dan tangguh harus terus diwujudkan. Kepada Ahok, pesan yang dapat dibuat selagi ulang tahun kota Jakarta dengan suasana pilpres, adalah pertama, sudah selayaknya bekerjalah tetap dengan membangun sistem kota ini lebih banyak berbicara. Ahok adalah dirigen yang mengarahkan sistem tersebut.
Kedua , bekerja dengan pendekatan terapi-kejut mungkin diminimalisasi lebih banyak ke arah ”adjustment” karena suasana pilpres membawa segala tindakan Ahok lebih banyak dibaca politis. Peran Ahok yang berada di persimpangan dalam suasana pilpres ini, jika lebih banyak terapi-kejut, akan berbuntut simalakama buat Ahok sendiri. Bahkan dapat menimbulkan stagnasi yang akan betul-betul berbuntut kepada munculnya masyarakat Jakarta yang stres. Ketiga, pengendalian sistem yang ada dengan warna ”adjustment” sekalipun tetap berorientasi progresif.
Ukurannya adalah outcome pelayanan publik kepada masyarakat. Keempat , sistem antara yang dikendalikan diukur dengan ”adjustment” berpola ”zero defect management” . Dukungan masyarakat akan melimpah jika mampu dibuktikan adanya outcome yang nyata. Masyarakat kota ditandai oleh masyarakat yang pragmatis kontraktual. Kelima, Jika Ahok mampu meminimalisasi terseretnya stres publik, niscaya Jakarta bukan saja semakin maju bahkan semakin semarak dan berkualitas. Semoga.
IRFAN RIDWAN MAKSUM
Ketua Program Pascasarjana Ilmu Administrasi FISIP UI, Anggota DPD RI
(nfl)