Capres, Bank Pertanian, dan Ketahanan Pangan

Rabu, 11 Juni 2014 - 10:59 WIB
Capres, Bank Pertanian, dan Ketahanan Pangan
Capres, Bank Pertanian, dan Ketahanan Pangan
A A A
DALAM pernyataan di berbagai media massa akhir-akhir ini, dua kandidat calon presiden (capres) yang tengah bertarung memperebutkan RI-1 membawa agenda pembangunan sektor pertanian sebagai salah satu agenda utama pemerintahan mereka.

Salah satu pernyataan yang menarik dari kedua kandidat adalah pendirian bank pertanian khusus untuk petani, nelayan, usaha mikro dan kecil di sektor pertanian dan perikanan. ”Bank pertanian” merupakan terminologi yang menarik untuk dikutip media massa karena kalimat tersebut merefleksikan kritik publik atas minimnya peran perbankan dalam memberikan akses kredit kepada petani, nelayan, dan usaha mikro lainnya.

Bank Dunia (2010) menyebutkan bahwa selama ini permasalahan akses keuangan usaha mikro, termasuk usaha tani dan perikanan, adalah salah satu hambatan utama usaha mikro untuk bisa berkembang dengan baik. Data dari Bank Indonesia (BI) tahun 2012 menyebutkan sektor pertanian hanya mendapatkan alokasi 7,73 % dari Kredit Usaha Rakyat (KUR). Sebagian besar KUR dimanfaatkan untuk usaha perdagangan, yakni sebesar 47,2 %, dari total KUR di tahun 2012.

Meskipun akses keuangan untuk petani merupakan permasalahan besar, apakah solusi mendirikan bank pertanian merupakan kebijakan yang tepat dan efektif ? Sejak Orde baru, Bank Rakyat Indonesia (BRI) telah menjadi pionir keuangan mikro bagi petani dan usaha mikro lainnya di Indonesia.

Bahkan, BRI merupakan contoh sukses keuangan mikro di dunia yang banyak dikutip oleh akademisi (lihat misalnya dalam Rosengard & Prasetyantoko, 2011; Robinson, 2001; atau Miyashita, 2000) jauh sebelum gerakan Grameen Bank di Bangladesh mengemuka dan mendunia.

Program Bimbingan Masyarakat (Bimas) yang bertujuan khusus untuk memberikan kredit pada sektor pertanian telah dilaksanakan BRI sejak tahun 1980-an. Sayangnya, program tersebut justru membebani keuangan negara dan membuat BRI mengalami kerugian keuangan dan akhirnya program tersebut ditutup.

Kemudian, pemerintah melanjutkan program kredit di sektor pertanian melalui program Kredit Investasi Kecil (KIK), Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP), Kredit Usaha Kecil (KUK), dan sekarang dilanjutkan dengan Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE) dan Kredit Usaha Rakyat (KUR).

Di luar dari program kredit yang dilakukan oleh perbankan, akses kredit untuk petani juga dapat diperoleh melalui lembaga keuangan yang berciri lebih informal dan berbasis komunitas, seperti koperasi, lembaga keuangan mikro (LKM), atau sistem arisan.

Riset dari Tambunan (2013) dan Bank Dunia (2009) menunjukkan sebagian besar usaha mikro, termasuk di dalamnya usaha pertanian, lebih banyak mengandalkan sumber pembiayaan informal daripada sumber pembiayaan dari perbankan.

Penggunaan sumbersumber informal ini, salah satunya, karena perbankan menerapkan banyak persyaratan yang menyulitkan usaha mikro, terutama perizinan usaha dan agunan. Sementara itu, selain mensyaratkan agunan dan legalitas usaha, perbankan juga memerlukan profil risiko kreditur.

Selama ini, usaha pertanian dianggap usaha dengan tinggi risiko, terlebih saat ini perubahan iklim memacu risiko gagal panen lebih besar. Jika perbankan hendak menurunkan standar risiko pembiayaan untuk petani, perbankan dihadapkan pada perhitungan efisiensi usaha.

Terkait dengan akses pembiayaan usaha mikro, barubaru ini Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pembatalan UU No. 17 Tahun 2012 mengenai Koperasi setelah gugatan diajukan oleh berbagai kelompok koperasi dan gabungan masyarakat sipil yang bergerak dalam pemberdayaan koperasi. Sebelumnya, pemerintah berharap dengan pemberlakuan UU tersebut, koperasi dapat memperoleh akses keuangan yang lebih mudah ke perbankan.

Sayangnya, UU tersebut tidak didasarkan pada semangat dasar koperasi yang berbasis keanggotaan yang demokratis, namun lebih berbasis pada kepentingan pengurus yang rawan moral hazard. Gugatan para pegiat koperasi yang dimenangkan oleh MK ini juga menjadi catatan penting bagi pemerintah mendatang untuk dapat mengatasi akses keuangan usaha pertanian sekaligus membangun gerakan koperasi sesuai dengan semangat demokrasi ekonomi.

Bukan Sekadar Retorika
Maraknya jasa keuangan informal, bahkan termasuk rentenir, yang membiayai usaha mikro, di satu sisi merefleksikan resistensi lokal dalam merespons kebutuhan akses keuangan, namun di sisi lain mencirikan jurang yang cukup tinggi antara sektor formal dan informal. Tesis dualisme ekonomi di Indonesia yang dikemukakan oleh Boeke (1953) masih relevan hingga saat ini, terutama jika melihat persoalan akses keuangan.

Sektor formal dan perusahaan besar mendapatkan kepercayaan yang sangat baik dari perbankan. UMKM yang mendapat kredit dari perbankan pun lebih banyak dari usaha menengah dan kecil, meskipun 99,9% atau sebesar 56,5 juta dari total unit usaha di Indonesia dikategorikan sebagai usaha mikro. Dari jenis usaha mikro yang dibiayai perbankan, usaha mikro berjenis pertanian yang paling minim. Kesenjangan sektoral merupakan persoalan mendasar dari akses keuangan petani.

Kebutuhan keuangan petani tradisional yang utama, yang kurang dipahami bank, bukan untuk melakukan ekspansi seperti sektor lainnya, namun untuk menstabilkan harga komoditas. Oleh karena itu, penyediaan lingkungan pemberdaya (enabling environment) yang bermanfaat untuk stabilisasi harga menjadi sangat penting. Inovasi kebijakan yang lebih penting dilakukan, dibanding mendirikan bank pertanian yang bersifat repetitif, adalah, pertama, menyediakan asuransi pertanian untuk petani dan, kedua, mentransformasi koperasi simpan pinjam menjadi koperasi produksi.

Koperasi produksi, selain menaikkan posisi tawar petani terhadap rantai produksi global, juga berperan dalam meningkatkan efisiensi usaha tani serta mempercepat penyerapan teknologi dalam proses produksi. Ketika koperasi produksi mampu menyerap hasil tani anggota, membukukan keuntungan yang baik, dan mengelola secara demokratis, bank akan tertarik untuk membiayai usaha mereka.

Sementara itu, asuransi pertanian penting untuk membuat bank lebih tertarik membiayai usaha tani, menstabilkan harga pertanian, serta mengatasi kemiskinan petani. Di Indonesia, kenaikan harga pangan di tingkat pengecer mencapai 21,6% per tahun sejak 2010. Kenaikan ini cukup tinggi, jika dibandingkan negara ASEAN lain, misalnya Thailand sebesar 10,1%, Myanmar sebesar 4,4%, atau Filipina yang relatif tidak meningkat. (FAO, 2011).

Ketika harga pertanian naik, kecenderungan untuk kebocoran impor akan lebih tinggi, dan petani semakin tidak berdaya untuk mengembangkan usaha tani mereka. Di banyak negara, pemerintah mengembangkan asuransi pertanian berbasis indeks kerawanan iklim terutama untuk menstabilisasi harga.

Di Jepang, pemerintah menyubsidi dana asuransi dan menyalurkannya lewat beberapa institusi dana pertanian secara kolektif per kelompok tani. Sementara itu, di Meksiko dan India, pemerintah menggandeng produsen jasa keuangan untuk membuat asuransi kolektif pertanian berbasis kerawanan iklim per wilayah.

Akhirnya, tawaran caprescawapres mengenai pembentukan bank pertanian ini seharusnya bukan sekadar ide retorik yang ahistoris. Secara substantif, jasa keuangan yang lebih diperlukan oleh petani adalah asuransi pertanian dalam mendorong kemampuan usaha tani, yang pada gilirannya akan menaikkan profil usaha mereka untuk perbankan, dan secara jangka panjang berkontribusi pada ketahanan pangan. Koperasi juga perlu didorong untuk lebih berperan sebagai agen pembangunan.

HERJUNO NDARU KINASIH
Peneliti The Habibie Center
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7024 seconds (0.1#10.140)