Pusaran Emosional Pilpres: Ujian Demokrasi
A
A
A
INDONESIA berada di pusaran emosional politik. Inilah yang kita rasakan saat ini, di tengah musim kampanye menuju Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. Kawan kini seketika menjadi lawan, teman sekantor gontok-gontokan, antartetangga saling panas-panasan.
Kebersamaan yang terajut begitu lama kini seperti bimsalabim : luntur begitu saja. Lihatlah rumpian di sosial media seperti Facebook dan Twitter. Suasananya malah sudah sangat panas. Canda tawa, saling goda, dan saling sapa kini terkubur oleh kerasnya pertarungan antarpendukung capres.
Status maupun komentar yang dikeluarkan sebagian besar berisi pro-kontra dengan beribu argumen. Masing-masing ngotot dengan keyakinan. Pendulum sikap pun berubah sangat kaku: bukan sebatas antara iya dan tidak, tapi antara mendukung habisan-habisan versus menolak dan menghabisi.
Pilpres 2014 harus diakui berbeda dengan pilpres sebelumnya, ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terpilih kali pertama lewat pemilihan secara langsung pada 2004 dan dilanjutkan pada 2009. Suasana saat itu terlihat cair dan adem ayem.
Mungkin waktu pilpres berlangsung dua putaran dan SBY sudah menunjukkan dominasinya dibanding pesaingnya beratnya -Megawati Soekarnoputri-KH Hasyim Muzadi pada 2004 dan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto pada 2009.
Pun pada pilpres awal era transformasi 1999. Walaupun saat itu pertarungan ideologi kembali mengemuka setelah kotak pandora yang menutup rapat politik aliran kembali terbuka lebar, pertarungan pilpres yang ditentukan wakil rakyat yang duduk MPR hanya berpusar di wilayah elite politik.
Kalau pun ada gejolak, hanya terjadi di satu kalangan yang tidak puas karena jagonya kalah. Sebatas itu. Kini suasana benar-benar berbeda. Tarikan Prabowo Subianto- Hatta Rajasa versus Joko Widodo-Jusuf Kalla begitu dahsyat, hingga melampaui batas profesi, kesukuan, ideologi, bahkan agama.
Tarikan keduanya membelah bangsa ini dari ujung rambut ke ujung kaki. Mulai partai politik, ormas, ulama, organisasi kepemudaan, media dan wartawan, olahragawan, pelawak, pengamat, dan lain terbelah.
Pun TNI/Polri dan intelijen yang semestinya menjadi kekuatan pengawal dan pemersatu juga ada indikasi terbelah. Pembelahan secara vertikal dan horizontal pun diikuti gesekan-gesekan, beberapa kasus bahkan sudah menjadi benturan seperti ditunjukkan tukang becak yang berantem karena urusan dukung-mendukung di Pulau Madura.
Gesekan kian hari terasa kian menguat karena dukung-mendukung kian terasa seiring kuatnya pertarungan untuk saling mengalahkan, mulai dari pencitraan, propaganda, agitasi, negative campaign , black campaign, dan sebagainya.
Walhasil, bangsa ini dihadapkan pada praktik politik pragmatis yang sesungguhnya: who gets what, when, how seperti disampaikan ilmuwan politik Amerika Serikat Harold Dwight Laswell. Semua pasangan capres-cawapres, tim sukses, hingga simpatisannya menggunakan instrumen apa pun untuk memenangkan pertarungan.
Semua upaya dilakukan tanpa ada sungkan dan tidak ada abu-abu. Dalam kontes politik, kondisi demikian wajar dan absah. Namun, dalam perspektif kebangsaan sangatlah memprihatinkan. Terlebih KPU dan Bawaslu kurang mampu menunjukkan tajinya untuk menjadi wasit yang mengatur jalannya pertarungan. Pun aparat keamanan. Kekuatan moral yang biasa ditunjukkan ormas untuk mengawal keberetikaan ternegasikan karena mereka turut terlibas pusaran emosional politik.
Pada akhirnya semua kembali berpulang pada pasangan caprescawapres, parpol pendukung, tim sukses, hingga simpatisan untuk bisa mengendalikan diri sendiri hingga emosional politik yang sudah terbentuk tidak berubah menjadi konflik yang menggoyahkan fondasi bangunan kebangsaan.
Semua pihak harus menyadari bahwa fokus perhelatan demokrasi ini bukanlah pada proses pertarungannya, melainkan pada kebaikan bangsa. Inilah ujian kedewasaan demokrasi sesungguhnya bangsa ini!
Kebersamaan yang terajut begitu lama kini seperti bimsalabim : luntur begitu saja. Lihatlah rumpian di sosial media seperti Facebook dan Twitter. Suasananya malah sudah sangat panas. Canda tawa, saling goda, dan saling sapa kini terkubur oleh kerasnya pertarungan antarpendukung capres.
Status maupun komentar yang dikeluarkan sebagian besar berisi pro-kontra dengan beribu argumen. Masing-masing ngotot dengan keyakinan. Pendulum sikap pun berubah sangat kaku: bukan sebatas antara iya dan tidak, tapi antara mendukung habisan-habisan versus menolak dan menghabisi.
Pilpres 2014 harus diakui berbeda dengan pilpres sebelumnya, ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terpilih kali pertama lewat pemilihan secara langsung pada 2004 dan dilanjutkan pada 2009. Suasana saat itu terlihat cair dan adem ayem.
Mungkin waktu pilpres berlangsung dua putaran dan SBY sudah menunjukkan dominasinya dibanding pesaingnya beratnya -Megawati Soekarnoputri-KH Hasyim Muzadi pada 2004 dan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto pada 2009.
Pun pada pilpres awal era transformasi 1999. Walaupun saat itu pertarungan ideologi kembali mengemuka setelah kotak pandora yang menutup rapat politik aliran kembali terbuka lebar, pertarungan pilpres yang ditentukan wakil rakyat yang duduk MPR hanya berpusar di wilayah elite politik.
Kalau pun ada gejolak, hanya terjadi di satu kalangan yang tidak puas karena jagonya kalah. Sebatas itu. Kini suasana benar-benar berbeda. Tarikan Prabowo Subianto- Hatta Rajasa versus Joko Widodo-Jusuf Kalla begitu dahsyat, hingga melampaui batas profesi, kesukuan, ideologi, bahkan agama.
Tarikan keduanya membelah bangsa ini dari ujung rambut ke ujung kaki. Mulai partai politik, ormas, ulama, organisasi kepemudaan, media dan wartawan, olahragawan, pelawak, pengamat, dan lain terbelah.
Pun TNI/Polri dan intelijen yang semestinya menjadi kekuatan pengawal dan pemersatu juga ada indikasi terbelah. Pembelahan secara vertikal dan horizontal pun diikuti gesekan-gesekan, beberapa kasus bahkan sudah menjadi benturan seperti ditunjukkan tukang becak yang berantem karena urusan dukung-mendukung di Pulau Madura.
Gesekan kian hari terasa kian menguat karena dukung-mendukung kian terasa seiring kuatnya pertarungan untuk saling mengalahkan, mulai dari pencitraan, propaganda, agitasi, negative campaign , black campaign, dan sebagainya.
Walhasil, bangsa ini dihadapkan pada praktik politik pragmatis yang sesungguhnya: who gets what, when, how seperti disampaikan ilmuwan politik Amerika Serikat Harold Dwight Laswell. Semua pasangan capres-cawapres, tim sukses, hingga simpatisannya menggunakan instrumen apa pun untuk memenangkan pertarungan.
Semua upaya dilakukan tanpa ada sungkan dan tidak ada abu-abu. Dalam kontes politik, kondisi demikian wajar dan absah. Namun, dalam perspektif kebangsaan sangatlah memprihatinkan. Terlebih KPU dan Bawaslu kurang mampu menunjukkan tajinya untuk menjadi wasit yang mengatur jalannya pertarungan. Pun aparat keamanan. Kekuatan moral yang biasa ditunjukkan ormas untuk mengawal keberetikaan ternegasikan karena mereka turut terlibas pusaran emosional politik.
Pada akhirnya semua kembali berpulang pada pasangan caprescawapres, parpol pendukung, tim sukses, hingga simpatisan untuk bisa mengendalikan diri sendiri hingga emosional politik yang sudah terbentuk tidak berubah menjadi konflik yang menggoyahkan fondasi bangunan kebangsaan.
Semua pihak harus menyadari bahwa fokus perhelatan demokrasi ini bukanlah pada proses pertarungannya, melainkan pada kebaikan bangsa. Inilah ujian kedewasaan demokrasi sesungguhnya bangsa ini!
(nfl)