Ironi Film Antikorupsi
A
A
A
RUBRIK Opini Koran SINDO edisi kemarin (Selasa, 3 Juni 2014) memuat tulisan Dr Bambang Widjojanto, Virus Anti Korupsi dalam Film. Artikel menarik itu diberangkatkan dari film Sebelum Pagi Terulang Kembali yang sedang bergerilya tayang di bioskop-bioskop nasional.
Dalam tulisannya, Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu berharap agar Sebelum Pagi “bisa mengombinasikan unsur hiburan dan nilai spiritualitas, serta mampu jadi medium refleksi, selain mengajukan alternatif pandangan dan kritik sosial.”
Sebelum Pagi memang sebuah karya sinema serius yang dibuat atas bantuan Transparency International Indonesia, dan atas dukungan KPK. Saya sangat sepaham dengan pikiran Bambang Widjojanto, bahkan jauh hari sebelum tulisan tersebut dipublikasikan. Karenanya pada sepotong hari Minggu, saya bersemangat menonton film itu di Bioskop Mal Kelapa Gading, Jakarta.
Kontekstual, Menyentuh
Sebelum Pagi menceritakan Yan (Alex Komang), pegawai Departemen Perhubungan yang jujur dan bekerja sungguhsungguh. Namun, karier Yan berantakan lantaran anakanaknya ikut bermain proyek di departemennya. Satria (Fauzi Baadila), anak kedua Yan, berkongkalikong dengan Hasan (Ibnu Jamil), anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
Permainan kotor Satria dibantu oleh Firman (Teuku Rifnu Wikana), kakaknya yang sedang menganggur. Sogok-menyogok terjadi. Sikut-sikutan birokrasi berkelindan. Dan skandal pun melapisi layar. Yan dipecat dari jabatannya.
Istri Yan, Ratna (Nungki Kusumastuti) yang berprofesi sebagai dosen filsafat dan selalu mengajarkan rasionalisme serta kebajikan, terhempas dalam kesedihan teramat sangat. Film karya Lasja F Susatyo (sutradara) dan Sinar Ayu Massie (penulis cerita) ini menyentuh dan amat kontekstual untuk masyarakat Indonesia sekarang.
Didukung akting para pemain yang kuat serta gambar-gambar bagus dan plot apik, film ini amat layak ditonton. Itu sebabnya hampir semua resensi mengagulkan film ini. Koran SINDO memberikan bintang empat (kategori: sangat baik) kepada Sebelum Pagi, mengalahkan Godzilla! Pengamat film Leila S. Chudori dalam majalah Tempo menulis bahwa Sebelum Pagi tidak saja mampu bercerita dengan baik dan menghibur, namun juga merangsang penonton untuk berdebat dan diskusi.
Harian Kompasmemujinya tinggi-tinggi, dan meminta masyarakat luas untuk menonton. Film kemelut keluarga ini didukung oleh poster nyeni dengan latar belakang berwarna kuning. Warna yang melambangkan duka cita dalam kosmologi Nusantara. (Simak bendera kuning yang menandai terjadinya kesripahanatau kematian dalam budaya Jawa).
Dalam poster nampak gambar patung batu kepala Yan yang terkurung pagar besi. Di sini Yan digambarkan berkacamata tebal, berwajah teduh, sabar, namun tak mudah kalah. Sementara di sekitar pagar terlihat jajaran orang berukuran kecil (baca: kerdil) yang sibuk merancang strategi penipuan.
Ironi dalam Pasar
Namun, kebagusan sinema dan kontekstualitas tema agaknya tidak mengusung film jadi perhatian orang Indonesia. Pada sore itu gedung yang berkapasitas 260 kursi hanya diisi tiga orang penonton, yakni saya, istri saya, dan seorang tetangga jauh. Pada hari-hari sebelumnya (film ini dirilis tengah Mei), sama saja. Dari berbagai informasi, tragedi serupa juga terjadi di banyak bioskop di Jakarta.
“Penonton kita memilih The Amazing Spider Man 2, The Other Woman, Transcedence, atau The Pact,” kata penjual tiket. Sementara di studio bioskop satunya di mal itu, yang khusus memutar film Indonesia, Sebelum Pagi tidak diputar, karena dilibas oleh film Luntang Lantung, Mall Klender, dan Marmut Merah Jambu.
Kisah sedih ini berujung dengan pilu ketika Sebelum Pagi akhirnya “pergi diam-diam” dari gedung bioskop, untuk kemudian mencari tempat putar entah di mana. Saya bayangkan film ini sedang terlunta-lunta di sepanjang jalan raya kota besar, sambil permisi untuk diputar di berbagai institusi.
Dari perkantoran, institusi swadaya masyarakat sampai lembaga pendidikan. Untuk kemudian melintas jauh masuk ke kota-kota kecil. Sebelum akhirnya (tanpa kenal putus asa) menyelinap ke desa-desa seraya menawarkan bahkan mempropagandakan“ isi hati dan pikirannya”.
Seperti halnya keuletan “film KPK” sebelumnya, omnibus Kita vs Korupsi yang beredar beberapa tahun lalu. Mengapa Sebelum Pagi runtuh sejak subuh? Mengapa film ini tidak semenarik-perhatian Korupsi (Raden Ariffien, 1956), Lewat Jam Malam (Sjuman Djaya, 1971), atau Si Mamad, yang semula berjudul Matinya Pegawai Negeri (Sjuman Djaya, 1973), yang juga bertema skandal korupsi?
Pertanyaan ini berusaha saya cari jawabannya. Adalah menyedihkan apabila sebagian besar orang mengatakan bahwa isu korupsi pada masa sekarang tidak lagi seksi dalam seni pertunjukan seni apa pun, seperti film.
Lantaran dongeng korupsi Indonesia, dari yang masuk akal sampai yang sama sekali absurd, telah menjadi tontonan prime time setiap hari di televisi. “Menonton Sutan Bhatoegana berkilah soal suap SKK Migas rasanya sudah lebih dari cukup. Akting Sutan sungguh tidak kalah dengan Baadila,” kata seorang teman.
“Mengikuti berita media massa tentang legenda korupsi impor daging sapi, skandal proyek Hambalang, drama Bank Century sampai tragedi Menteri Agama dalam perkara naik haji, sudah menjenuhkan saya. Bukankah kasus-kasus itu hasil besutan ghost director yang luar biasa?” kata teman yang lain.
“Apa beda musibah keluarga Yan dalam film Sebelum Pagi dengan kejadian dalam keluarga seorang menteri, yang sekarang ini sedang dicoreng oleh anaknya sendiri berkait dengan korupsi proyek videotron?” ujar sahabat. Jawaban-jawaban itu, walau bisa dibenarkan dan dimaklumi, tentu saja mengecewakan.
Karena kita menyadari bahwa karya seni, termasuk film, dalam satu sisi adalah penajaman dari realitas. Penajaman itu disampaikan lewat olahan dramatisasi, metaforisasi atau bahkan hiperbolisasi. Seperti film Brick Mansions (diperani Paul Walker), yang menggasak habis skandal walikota yang menyebabkan bangkrutnya kota Detroit.
Jadi, antara realitas dan seni (film) sungguhlah memiliki perbedaan. Namun, “seni penajaman realitas” itu memang akan menjadi tidak laku manakala “sang kenyataan” dari hari ke hari justru malah menajamkan dirinya sendiri. Kita tahu, “sang kenyataan” itu di Indonesia adalah korupsi.
Alhasil, hilangnya pasar film Sebelum Pagi bukanlah karena apatisme masyarakat terhadap korupsi, melainkan lantaran kisah korupsi di Indonesia sudah jauh melebihi kadar dramatisasi, metaforisasi, dan hiperbolisasi seni (film) apa pun. Dengan begitu, bisa diyakini, meski pasar film Sebelum Pagi Terulang Kembali menuai ironi, korupsi tak akan berhenti dibenci!
AGUS DERMAWAN T
Pengamat Budaya, Konsultan Koleksi Seni Istana-Istana Presiden RI
Dalam tulisannya, Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu berharap agar Sebelum Pagi “bisa mengombinasikan unsur hiburan dan nilai spiritualitas, serta mampu jadi medium refleksi, selain mengajukan alternatif pandangan dan kritik sosial.”
Sebelum Pagi memang sebuah karya sinema serius yang dibuat atas bantuan Transparency International Indonesia, dan atas dukungan KPK. Saya sangat sepaham dengan pikiran Bambang Widjojanto, bahkan jauh hari sebelum tulisan tersebut dipublikasikan. Karenanya pada sepotong hari Minggu, saya bersemangat menonton film itu di Bioskop Mal Kelapa Gading, Jakarta.
Kontekstual, Menyentuh
Sebelum Pagi menceritakan Yan (Alex Komang), pegawai Departemen Perhubungan yang jujur dan bekerja sungguhsungguh. Namun, karier Yan berantakan lantaran anakanaknya ikut bermain proyek di departemennya. Satria (Fauzi Baadila), anak kedua Yan, berkongkalikong dengan Hasan (Ibnu Jamil), anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
Permainan kotor Satria dibantu oleh Firman (Teuku Rifnu Wikana), kakaknya yang sedang menganggur. Sogok-menyogok terjadi. Sikut-sikutan birokrasi berkelindan. Dan skandal pun melapisi layar. Yan dipecat dari jabatannya.
Istri Yan, Ratna (Nungki Kusumastuti) yang berprofesi sebagai dosen filsafat dan selalu mengajarkan rasionalisme serta kebajikan, terhempas dalam kesedihan teramat sangat. Film karya Lasja F Susatyo (sutradara) dan Sinar Ayu Massie (penulis cerita) ini menyentuh dan amat kontekstual untuk masyarakat Indonesia sekarang.
Didukung akting para pemain yang kuat serta gambar-gambar bagus dan plot apik, film ini amat layak ditonton. Itu sebabnya hampir semua resensi mengagulkan film ini. Koran SINDO memberikan bintang empat (kategori: sangat baik) kepada Sebelum Pagi, mengalahkan Godzilla! Pengamat film Leila S. Chudori dalam majalah Tempo menulis bahwa Sebelum Pagi tidak saja mampu bercerita dengan baik dan menghibur, namun juga merangsang penonton untuk berdebat dan diskusi.
Harian Kompasmemujinya tinggi-tinggi, dan meminta masyarakat luas untuk menonton. Film kemelut keluarga ini didukung oleh poster nyeni dengan latar belakang berwarna kuning. Warna yang melambangkan duka cita dalam kosmologi Nusantara. (Simak bendera kuning yang menandai terjadinya kesripahanatau kematian dalam budaya Jawa).
Dalam poster nampak gambar patung batu kepala Yan yang terkurung pagar besi. Di sini Yan digambarkan berkacamata tebal, berwajah teduh, sabar, namun tak mudah kalah. Sementara di sekitar pagar terlihat jajaran orang berukuran kecil (baca: kerdil) yang sibuk merancang strategi penipuan.
Ironi dalam Pasar
Namun, kebagusan sinema dan kontekstualitas tema agaknya tidak mengusung film jadi perhatian orang Indonesia. Pada sore itu gedung yang berkapasitas 260 kursi hanya diisi tiga orang penonton, yakni saya, istri saya, dan seorang tetangga jauh. Pada hari-hari sebelumnya (film ini dirilis tengah Mei), sama saja. Dari berbagai informasi, tragedi serupa juga terjadi di banyak bioskop di Jakarta.
“Penonton kita memilih The Amazing Spider Man 2, The Other Woman, Transcedence, atau The Pact,” kata penjual tiket. Sementara di studio bioskop satunya di mal itu, yang khusus memutar film Indonesia, Sebelum Pagi tidak diputar, karena dilibas oleh film Luntang Lantung, Mall Klender, dan Marmut Merah Jambu.
Kisah sedih ini berujung dengan pilu ketika Sebelum Pagi akhirnya “pergi diam-diam” dari gedung bioskop, untuk kemudian mencari tempat putar entah di mana. Saya bayangkan film ini sedang terlunta-lunta di sepanjang jalan raya kota besar, sambil permisi untuk diputar di berbagai institusi.
Dari perkantoran, institusi swadaya masyarakat sampai lembaga pendidikan. Untuk kemudian melintas jauh masuk ke kota-kota kecil. Sebelum akhirnya (tanpa kenal putus asa) menyelinap ke desa-desa seraya menawarkan bahkan mempropagandakan“ isi hati dan pikirannya”.
Seperti halnya keuletan “film KPK” sebelumnya, omnibus Kita vs Korupsi yang beredar beberapa tahun lalu. Mengapa Sebelum Pagi runtuh sejak subuh? Mengapa film ini tidak semenarik-perhatian Korupsi (Raden Ariffien, 1956), Lewat Jam Malam (Sjuman Djaya, 1971), atau Si Mamad, yang semula berjudul Matinya Pegawai Negeri (Sjuman Djaya, 1973), yang juga bertema skandal korupsi?
Pertanyaan ini berusaha saya cari jawabannya. Adalah menyedihkan apabila sebagian besar orang mengatakan bahwa isu korupsi pada masa sekarang tidak lagi seksi dalam seni pertunjukan seni apa pun, seperti film.
Lantaran dongeng korupsi Indonesia, dari yang masuk akal sampai yang sama sekali absurd, telah menjadi tontonan prime time setiap hari di televisi. “Menonton Sutan Bhatoegana berkilah soal suap SKK Migas rasanya sudah lebih dari cukup. Akting Sutan sungguh tidak kalah dengan Baadila,” kata seorang teman.
“Mengikuti berita media massa tentang legenda korupsi impor daging sapi, skandal proyek Hambalang, drama Bank Century sampai tragedi Menteri Agama dalam perkara naik haji, sudah menjenuhkan saya. Bukankah kasus-kasus itu hasil besutan ghost director yang luar biasa?” kata teman yang lain.
“Apa beda musibah keluarga Yan dalam film Sebelum Pagi dengan kejadian dalam keluarga seorang menteri, yang sekarang ini sedang dicoreng oleh anaknya sendiri berkait dengan korupsi proyek videotron?” ujar sahabat. Jawaban-jawaban itu, walau bisa dibenarkan dan dimaklumi, tentu saja mengecewakan.
Karena kita menyadari bahwa karya seni, termasuk film, dalam satu sisi adalah penajaman dari realitas. Penajaman itu disampaikan lewat olahan dramatisasi, metaforisasi atau bahkan hiperbolisasi. Seperti film Brick Mansions (diperani Paul Walker), yang menggasak habis skandal walikota yang menyebabkan bangkrutnya kota Detroit.
Jadi, antara realitas dan seni (film) sungguhlah memiliki perbedaan. Namun, “seni penajaman realitas” itu memang akan menjadi tidak laku manakala “sang kenyataan” dari hari ke hari justru malah menajamkan dirinya sendiri. Kita tahu, “sang kenyataan” itu di Indonesia adalah korupsi.
Alhasil, hilangnya pasar film Sebelum Pagi bukanlah karena apatisme masyarakat terhadap korupsi, melainkan lantaran kisah korupsi di Indonesia sudah jauh melebihi kadar dramatisasi, metaforisasi, dan hiperbolisasi seni (film) apa pun. Dengan begitu, bisa diyakini, meski pasar film Sebelum Pagi Terulang Kembali menuai ironi, korupsi tak akan berhenti dibenci!
AGUS DERMAWAN T
Pengamat Budaya, Konsultan Koleksi Seni Istana-Istana Presiden RI
(nfl)