Menuju Surga Berbagi
A
A
A
KORUPSI sungguh menjadi masalah terbesar bangsa kita. Boleh jadi kita sudah paham definisi korupsi.
Undang-Undang Nomor 31/ 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memberi batasan tindak pidana korupsi sebagai ”perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” atau ”perbuatan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain serta dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”.
Konon di negara sekuler yang 70% warganya mengaku atheis seperti Denmark, praktik korupsi justru nyaris tidak ada. Lalu, bagaimana nalar kita harus memahami maraknya praktik korupsi di negeri kita yang 99% warganya mengklaim percaya Tuhan dan beragama?
Menyedihkan, meski sudah ada KPK, koruptor baru terus bermunculan. KPK bahkan terus coba diperlemah oleh para politisi korup agar ke depan hukuman kepada para koruptor bisa diperingan dan KPK menjadi macan ompong.
Kuasa uang lewat suap atau korupsi sungguh kuat daya cengkeramnya. Malah jelang Pilpres 9 Juli, kuasa uang itu akan bekerja sangat rapi guna menyuap para calon pemilih agar mencoblos capres tertentu, sebagaimana marak terjadi dalam Pileg 9 April 2014.
Berbagai perintah agama seperti mencuri atau mengambil milik orang lain adalah dosa dan jahat seolah tak mampu mencegah para calon koruptor agar tidak korupsi. Memang akal sehat kita tampak sulit memahami fakta maraknya korupsi di negara ini.
Namun, melihat praktik korupsi yang luar biasa ini, mungkin benar ucapan Kardinal Julius Darmaatmaja bahwa sila pertama Pancasila sudah diganti menjadi Keuangan yang Maha Kuasa. Bukan Ketuhanan Yang Maha Esa. Uang menjadi ukuran hidup yang utama dan pertama bagi para koruptor. Mungkin saja agama para koruptor adalah agama uang. Erich Fromm menulis: batasan agama bukan hanya tradisional yakni selalu dikaitkan dengan Tuhan, berhala, Kitab Suci, atau nabi.
Tapi, agama sistem pemikiran sekaligus tindakan dari sekelompok orang yang memberikan pada masing-masing anggotanya kerangka orientasi dan objek devosi (dalam Psychoanalysis and Religion, 1950). Konsekuensinya, jika misalnya orientasi atau yang menjadi objek devosi adalah uang, agama sesungguhnya dari para koruptor adalah agama uang. Saking dominannya posisi uang itu, agama otentik seperti Islam atau Kristen hanya diperalat para koruptor menjadi semacam ”topeng” guna menutupi kejahatan dan ketamakan yang ada dalam jiwa mereka.
Memang kalau kita gali, korupsi bermula dari ketamakan. Terkait ketamakan ini, menarik mencermati kisah Ivan Boesky yang dipenjara dan harus membayar denda USD100 juta karena melakukan ”insider trading”. Sebelumnya Ivan adalah sosok terpandang di bursa Wall Street. Pernah dalam suatu wisuda di sebuah universitas ternama, Ivan ”berkhotbah soal ketamakan”: ”Ketamakan tidaklah salah. Tamak justru merupakan hal yang sehat. Anda tidak perlu merasa bersalah jika menjadi tamak”.
Yang menarik, Ivan mengungkapkan itu di sebuah wisuda sekolah bisnis ternama dan disambut gelak tawa (Newsweek, 1 Desember, 1986). Padahal ketamakan jelas salah. Orang yang tamak biasanya mengabaikan Allah sehingga tamak sebenarnya bukan cermin kesuksesan, melainkan cermin kebodohan. Para koruptor kita jelas orang yang bodoh karena diperbudak harta dengan mengabaikan semua kaidah moral dan agama. Orang tamak rela menjadi hamba atau budak uang.
Mungkin di depan publik banyak yang mengklaim sebagai hamba Allah, tapi ternyata sejatinya mereka justru jadi hamba uang karena korupsi dan ketamakan mereka. Jujur jika direnungkan lebih dalam, uang negara bisa dimanfaatkan untuk menyejahterakan rakyat. Namun, korupsi kian memiskinkan banyak orang miskin.
Mereka yang sebenarnya bisa disekolahkan ke jenjang pendidikan tinggi, atau para korban gizi buruk yang sebenarnya bisa ditingkatkan gizinya, atau orang sakit yang kebingungan pada saat sakit meski sudah ada asuransi (BPJS atau JKN), sebenarnya bisa ditolong dengan uang negara. Maka itu, para koruptor sesungguhnya menciptakan neraka bagi banyak kaum lemah di negeri ini.
Dalam pandangan Yesus, tamak atau nafsu akan kekayaan sampai rela melakukan korupsi jelas sangat bertentangan dengan usaha mendekati Allah. Memang pandangan Yesus terkait uang, harta milik, atau kekayaan materi merupakan salah satu yang paling keras dalam Injil.
Mengapa Yesus menyampaikan kata-kata keras tersebut? Yesus tidak ingin orang berpaling dari Allah sehingga orang malah tergoda menggadaikan jiwanya pada iblis seperti kisah klasik Faust, buah karya Goethe.
Apalagi kekayaan harus diakui gampang mengubah orang. Ketika nafsu memiliki (to have, Erich Fromm) kian menguasai, ketamakan merajalela. Tak ada kata cukup. Buktinya, gaji tinggi para pejabat kita ternyata tak mampu meminimalkan korupsi. Orang terus ingin menimbun dan menumpuk kekayaan, tak peduli dari hasil mencuri uang negara. Maka itu, Yesus dan para murid-Nya tidak menyembah uang, tetapi menyembah Allah.
Ketika berada di Bait Allah di Yerusalem dipenuhi para pedagang sehingga mirip pasar, Yesus menjadi marah. Pedagang- pedagang diusir dari tempat itu. Yesus memang ingin tempat ibadah tidak dikomersialisasikan. Tempat ibadah harus mendekatkan manusia pada Allah, bukan kepada uang. Ketika tindakan Yesus itu didengar imam-imam Yahudi, Dia ditangkap, diadili, dan dihukum mati. Setelah pada hari ketiga bangkit dari mati, Yesus masih hidup 40 hari di dunia, lalu naik ke surga.
Nah, lepas dari beragam tafsir tentang surga, tapi semua tafsir jelas tak menyangkal bahwa surga selalu jadi pengingat bahwa fokus hidup kita di dunia harus terarah ke surga. Dunia ini bukan tujuan utama peziarahan kita. Barangsiapa menjadikan dunia sebagai fokus utama, pasti ia akan mengagungkan atau menomorsatukan uang, materi, dan harta benda dunia ini.
Dalam perspektif kenaikan, Yesus ingin kita menggunakan uang dengan cerdik. Maksudnya, kita jangan sampai diperalat oleh uang sampai rela mengorupsi uang negara, lalu melupakan Allah, bahkan menciptakan neraka bagi sesama. Kita sungguh cerdik jika menginvestasikan uang kita untuk masa depan yang kekal.
Kita bisa, bermurah hati dan peduli dengan berbagi atau mengentaskan kemiskinan atau menyekolahkan anak-anak mereka hingga perguruan tinggi. Jelas ini akan menghadirkan surga bagi sesama. Ini jelas lebih baik daripada melakukan tindak korupsi yang hanya menciptakan neraka bagi sesama serta membuat bangkrut negeri kita.
TOM SAPTAATMAJA
Teolog
Undang-Undang Nomor 31/ 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memberi batasan tindak pidana korupsi sebagai ”perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” atau ”perbuatan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain serta dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”.
Konon di negara sekuler yang 70% warganya mengaku atheis seperti Denmark, praktik korupsi justru nyaris tidak ada. Lalu, bagaimana nalar kita harus memahami maraknya praktik korupsi di negeri kita yang 99% warganya mengklaim percaya Tuhan dan beragama?
Menyedihkan, meski sudah ada KPK, koruptor baru terus bermunculan. KPK bahkan terus coba diperlemah oleh para politisi korup agar ke depan hukuman kepada para koruptor bisa diperingan dan KPK menjadi macan ompong.
Kuasa uang lewat suap atau korupsi sungguh kuat daya cengkeramnya. Malah jelang Pilpres 9 Juli, kuasa uang itu akan bekerja sangat rapi guna menyuap para calon pemilih agar mencoblos capres tertentu, sebagaimana marak terjadi dalam Pileg 9 April 2014.
Berbagai perintah agama seperti mencuri atau mengambil milik orang lain adalah dosa dan jahat seolah tak mampu mencegah para calon koruptor agar tidak korupsi. Memang akal sehat kita tampak sulit memahami fakta maraknya korupsi di negara ini.
Namun, melihat praktik korupsi yang luar biasa ini, mungkin benar ucapan Kardinal Julius Darmaatmaja bahwa sila pertama Pancasila sudah diganti menjadi Keuangan yang Maha Kuasa. Bukan Ketuhanan Yang Maha Esa. Uang menjadi ukuran hidup yang utama dan pertama bagi para koruptor. Mungkin saja agama para koruptor adalah agama uang. Erich Fromm menulis: batasan agama bukan hanya tradisional yakni selalu dikaitkan dengan Tuhan, berhala, Kitab Suci, atau nabi.
Tapi, agama sistem pemikiran sekaligus tindakan dari sekelompok orang yang memberikan pada masing-masing anggotanya kerangka orientasi dan objek devosi (dalam Psychoanalysis and Religion, 1950). Konsekuensinya, jika misalnya orientasi atau yang menjadi objek devosi adalah uang, agama sesungguhnya dari para koruptor adalah agama uang. Saking dominannya posisi uang itu, agama otentik seperti Islam atau Kristen hanya diperalat para koruptor menjadi semacam ”topeng” guna menutupi kejahatan dan ketamakan yang ada dalam jiwa mereka.
Memang kalau kita gali, korupsi bermula dari ketamakan. Terkait ketamakan ini, menarik mencermati kisah Ivan Boesky yang dipenjara dan harus membayar denda USD100 juta karena melakukan ”insider trading”. Sebelumnya Ivan adalah sosok terpandang di bursa Wall Street. Pernah dalam suatu wisuda di sebuah universitas ternama, Ivan ”berkhotbah soal ketamakan”: ”Ketamakan tidaklah salah. Tamak justru merupakan hal yang sehat. Anda tidak perlu merasa bersalah jika menjadi tamak”.
Yang menarik, Ivan mengungkapkan itu di sebuah wisuda sekolah bisnis ternama dan disambut gelak tawa (Newsweek, 1 Desember, 1986). Padahal ketamakan jelas salah. Orang yang tamak biasanya mengabaikan Allah sehingga tamak sebenarnya bukan cermin kesuksesan, melainkan cermin kebodohan. Para koruptor kita jelas orang yang bodoh karena diperbudak harta dengan mengabaikan semua kaidah moral dan agama. Orang tamak rela menjadi hamba atau budak uang.
Mungkin di depan publik banyak yang mengklaim sebagai hamba Allah, tapi ternyata sejatinya mereka justru jadi hamba uang karena korupsi dan ketamakan mereka. Jujur jika direnungkan lebih dalam, uang negara bisa dimanfaatkan untuk menyejahterakan rakyat. Namun, korupsi kian memiskinkan banyak orang miskin.
Mereka yang sebenarnya bisa disekolahkan ke jenjang pendidikan tinggi, atau para korban gizi buruk yang sebenarnya bisa ditingkatkan gizinya, atau orang sakit yang kebingungan pada saat sakit meski sudah ada asuransi (BPJS atau JKN), sebenarnya bisa ditolong dengan uang negara. Maka itu, para koruptor sesungguhnya menciptakan neraka bagi banyak kaum lemah di negeri ini.
Dalam pandangan Yesus, tamak atau nafsu akan kekayaan sampai rela melakukan korupsi jelas sangat bertentangan dengan usaha mendekati Allah. Memang pandangan Yesus terkait uang, harta milik, atau kekayaan materi merupakan salah satu yang paling keras dalam Injil.
Mengapa Yesus menyampaikan kata-kata keras tersebut? Yesus tidak ingin orang berpaling dari Allah sehingga orang malah tergoda menggadaikan jiwanya pada iblis seperti kisah klasik Faust, buah karya Goethe.
Apalagi kekayaan harus diakui gampang mengubah orang. Ketika nafsu memiliki (to have, Erich Fromm) kian menguasai, ketamakan merajalela. Tak ada kata cukup. Buktinya, gaji tinggi para pejabat kita ternyata tak mampu meminimalkan korupsi. Orang terus ingin menimbun dan menumpuk kekayaan, tak peduli dari hasil mencuri uang negara. Maka itu, Yesus dan para murid-Nya tidak menyembah uang, tetapi menyembah Allah.
Ketika berada di Bait Allah di Yerusalem dipenuhi para pedagang sehingga mirip pasar, Yesus menjadi marah. Pedagang- pedagang diusir dari tempat itu. Yesus memang ingin tempat ibadah tidak dikomersialisasikan. Tempat ibadah harus mendekatkan manusia pada Allah, bukan kepada uang. Ketika tindakan Yesus itu didengar imam-imam Yahudi, Dia ditangkap, diadili, dan dihukum mati. Setelah pada hari ketiga bangkit dari mati, Yesus masih hidup 40 hari di dunia, lalu naik ke surga.
Nah, lepas dari beragam tafsir tentang surga, tapi semua tafsir jelas tak menyangkal bahwa surga selalu jadi pengingat bahwa fokus hidup kita di dunia harus terarah ke surga. Dunia ini bukan tujuan utama peziarahan kita. Barangsiapa menjadikan dunia sebagai fokus utama, pasti ia akan mengagungkan atau menomorsatukan uang, materi, dan harta benda dunia ini.
Dalam perspektif kenaikan, Yesus ingin kita menggunakan uang dengan cerdik. Maksudnya, kita jangan sampai diperalat oleh uang sampai rela mengorupsi uang negara, lalu melupakan Allah, bahkan menciptakan neraka bagi sesama. Kita sungguh cerdik jika menginvestasikan uang kita untuk masa depan yang kekal.
Kita bisa, bermurah hati dan peduli dengan berbagi atau mengentaskan kemiskinan atau menyekolahkan anak-anak mereka hingga perguruan tinggi. Jelas ini akan menghadirkan surga bagi sesama. Ini jelas lebih baik daripada melakukan tindak korupsi yang hanya menciptakan neraka bagi sesama serta membuat bangkrut negeri kita.
TOM SAPTAATMAJA
Teolog
(nfl)