Pilpres yang Damai
A
A
A
SEPERTI pemilihan umum presiden dan wakil presiden (pilpres) yang sudah-sudah, fase awal Pilpres 2014 ini, juga memperlihatkan gairah calon presiden dan wakil presiden beserta para pendukungnya, yang khas.
Sepintas gairah ini merefleksikan percikan rindu, terutama pemilih dalam memastikan terealisasinya tesis konstitusionalisme tentang pemerintahan demokratis. Tesis ini, begitu pakemnya, menempatkan rakyat (pemilih) di jantung bernegara.
Dan, pemilu adalah cara teragung dalam mewujudkan keagungan pemilih dalam menentukan siapa yang harus mereka patuhi, yang keputusan-keputusannya, bukan saja responsif, tetapi juga dapat dikontrol. Di situlah letak indah dan pentingnya pemilu presiden ini. Tetapi justru di situ pulalah letak soalnya.
Tak Bisa Disepelekan
Hanya dua pasangan bakal calon presiden (bacapres) dan bakal calon wakil presiden (bacawapres). Mereka adalah Letnan Jenderal (Purn) Prabowo Subianto dan Ir Hatta Rajasa sebagai satu pasangan bacapres dan bacawapres.
Pasangan bacapres dan bacawapres lainnya adalah Ir Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Status bacapres dan bacawapres ini akan berubah menjadi capres dan cawapres setelah ditetapkan secara resmi oleh KPU, yang dituangkan dalam keputusan mereka sebagai pasangan capres dan cawapres pada Pilpres 2014 ini.
Sepanjang belum ditetapkan secara resmi oleh KPU, sepanjang itu pula terbuka kemungkinan terjadi pergantian bakal calon, baik capres maupun cawapres. Bahkan, aturan pilpres yang telah dikukuhkan, khususnya UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, jelas bakal calon akan berubah menjadi calon setelah memenuhi sejumlah syarat.
Bila satu saja syarat tidak dipenuhi, bakal calon tidak sah berstatus calon presiden dan wakil presiden. Kenyataannya, walau masih berstatus bacapres dan bacawapres, entah disengaja atau tidak, maunya bacapres dan bacawapres atau tidak, disetujui atau tidak, kini mereka telah disebut calon presiden dan calon wakil presiden. Itu satu hal menarik.
Hal lain yang tidak kalah menariknya adalah bergairahnya para bacapres dan bacawapres bicara begini dan begitu pada setiap kesempatan. Seiring dengan merdunya nyanyian bacapres dan bacawapres tentang ini dan itu, begini dan begitu, kampanye hitam, sesuatu yang oleh ilmuwan politik dinilai memiliki perbedaan mendasar dengan kampanye negatif, kini semakin sering hinggap di telinga publik. Kampanye-kampanye itu, entah siapa yang mengembuskannya, jujur, merisaukan, bahkan meresahkan akal sehat.
Semua itu menandai awal yang tak elok dalam lintasan pilpres kali ini. Apakah gejalagejala itu mengandung pesan ”kami mutlak menang” dan ”mereka mutlak kalah”? Sungguh sulit memastikannya, tapi jelas, tak bisa disepelekan. Memang kesehatan demokrasi tak perlu dikhawatirkan dengan gejala-gejala itu, tetapi demokrasi juga mengharuskan kehati-hatian minimal atas gejala sejenis.
Harus Beres
Di tengah lintasan awal pilpres yang telah diwarnai dengan gejalagejala tak sedap itu, faktanya masih tersisa sejumlah soal dalam pileg kemarin. KPU, sebab itu, tak bisa menyepelekannya. Bukan sekadar menyesalinya, melainkan juga eloknya, KPU mendendangkan janji berkelas kepada bangsa ini bahwa peristiwa sejenis tak lagi terulang dalam pilpres.
Sungguh manis bila tak ada lagi surat suara pilpres tertukar. Tak ada lagi komisioner di daerah; panitia pemilihan kecamatan (PPK), kelompok panitia pemungutan suara (KPPS), dan panitia pemungutan suara (PPS) bermental rente, dan memiliki hobi dagang hasil perolehan suara. Dokumen-dokumen perolehan suara, form C1 dan lainnya, harus dipastikan tak bakal didagangkan.
Menyenangkan bila KPU terus melilit tindak-tanduknya dengan transparansi dan akuntabilitas dalam pilpres ini. Sungguh berkelas bila transparansi dan akuntabilitas, tidak dijadikan sekadar jargon manis, apalagi topeng. Transparansi dan akuntabilitas, jujur, semakin dirindukan pada hari-hari ini.
Dirindukan, karena transparansi dan akuntabilitas itulah cara tersehat dalam menghidupkan harkat dan martabat manusia, tidak hanya pemilih, melainkan rakyat dalam berbangsa dan bernegara.
Transparansi dan akuntabilitas, dalam maknanya, mengandung keadilan dan kesamaan derajat. Cara yang adil akan menjadi cara terhebat membuat dua pasang capres dan cawapres yang pantas diduga, telah menempatkan kemenangan di kantongnya, lapang dada ketika kalah.
Keadilan dan kesamaan derajat juga akan membuat capres pemenang tidak membusung dada. Legitimasi pemerintahan pun sehat. KPU memang tak sendirian dalam urusan ini.
Bawaslu, organ pengawas, yang sering digambarkan laksana macan ompong, sudilah untuk tak lengah. Tegas dan jujur mengoreksi kekeliruan dan pelanggaran, serta pasti dalam memberi sanksi, yang telah dirancang dan dilembagakan dalam serangkaian aturan adalah cara terbaik meredam konflik di lintasan ini. Sikap itu, terlepas dari memantulkan transparansi dan akuntabilitas atau tidak, akan menghidupkan asa kepastian hukum sebagai adab elementer dalam demokrasi.
Pasti secara hukum, memang tidak selalu senafas dengan pasti secara etik. Pasti secara hukum memang selalu bisa mengundang debat etik, dan debat etik hampir pasti tidak memiliki ujung.
Semakin tak berujung debat itu, betapapun mungkin selalu bisa diterima, tak mungkin gejala itu memiliki kemampuan mengantarkan sebuah bangsa ke singgasana kejayaan.
Organ elektoral– KPU dan Bawaslu–seperti telah disuguhkan oleh cerita tiga pemilu yang telah lalu, harus memberi kepastian kepada bangsa ini, bahwa semua soal terselesaikan dengan damai, dan beradab serta berkepastian hukum. Mematikan rintangan kesetaraan kesempatan bagi setiap pemilih menuju bilik suara, sungguh kini dirindukan orang.
Memilih, apa pun metodenya, tak akan bermakna bila terlalu banyak celah kegelapan, dan rintangan yang mencurigakan. Kecurigaan di tengah gairah menang yang menyala-nyala, adalah akar terciptanya kondisi- kondisi antagonistik, konflik, yang sejujurnya dalam kasus pemilu, merendahkan derajat keadaban pemilu itu sendiri.
Hentikanlah kampanye hitam, dan kuburlah fitnah. Jadilah manusia beradab, dan jadikanlah pilpres ini damai sedamai dunia burung merpati.
MARGARITO KAMIS
Doktor Hukum Tata Negara, Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate
Sepintas gairah ini merefleksikan percikan rindu, terutama pemilih dalam memastikan terealisasinya tesis konstitusionalisme tentang pemerintahan demokratis. Tesis ini, begitu pakemnya, menempatkan rakyat (pemilih) di jantung bernegara.
Dan, pemilu adalah cara teragung dalam mewujudkan keagungan pemilih dalam menentukan siapa yang harus mereka patuhi, yang keputusan-keputusannya, bukan saja responsif, tetapi juga dapat dikontrol. Di situlah letak indah dan pentingnya pemilu presiden ini. Tetapi justru di situ pulalah letak soalnya.
Tak Bisa Disepelekan
Hanya dua pasangan bakal calon presiden (bacapres) dan bakal calon wakil presiden (bacawapres). Mereka adalah Letnan Jenderal (Purn) Prabowo Subianto dan Ir Hatta Rajasa sebagai satu pasangan bacapres dan bacawapres.
Pasangan bacapres dan bacawapres lainnya adalah Ir Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Status bacapres dan bacawapres ini akan berubah menjadi capres dan cawapres setelah ditetapkan secara resmi oleh KPU, yang dituangkan dalam keputusan mereka sebagai pasangan capres dan cawapres pada Pilpres 2014 ini.
Sepanjang belum ditetapkan secara resmi oleh KPU, sepanjang itu pula terbuka kemungkinan terjadi pergantian bakal calon, baik capres maupun cawapres. Bahkan, aturan pilpres yang telah dikukuhkan, khususnya UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, jelas bakal calon akan berubah menjadi calon setelah memenuhi sejumlah syarat.
Bila satu saja syarat tidak dipenuhi, bakal calon tidak sah berstatus calon presiden dan wakil presiden. Kenyataannya, walau masih berstatus bacapres dan bacawapres, entah disengaja atau tidak, maunya bacapres dan bacawapres atau tidak, disetujui atau tidak, kini mereka telah disebut calon presiden dan calon wakil presiden. Itu satu hal menarik.
Hal lain yang tidak kalah menariknya adalah bergairahnya para bacapres dan bacawapres bicara begini dan begitu pada setiap kesempatan. Seiring dengan merdunya nyanyian bacapres dan bacawapres tentang ini dan itu, begini dan begitu, kampanye hitam, sesuatu yang oleh ilmuwan politik dinilai memiliki perbedaan mendasar dengan kampanye negatif, kini semakin sering hinggap di telinga publik. Kampanye-kampanye itu, entah siapa yang mengembuskannya, jujur, merisaukan, bahkan meresahkan akal sehat.
Semua itu menandai awal yang tak elok dalam lintasan pilpres kali ini. Apakah gejalagejala itu mengandung pesan ”kami mutlak menang” dan ”mereka mutlak kalah”? Sungguh sulit memastikannya, tapi jelas, tak bisa disepelekan. Memang kesehatan demokrasi tak perlu dikhawatirkan dengan gejala-gejala itu, tetapi demokrasi juga mengharuskan kehati-hatian minimal atas gejala sejenis.
Harus Beres
Di tengah lintasan awal pilpres yang telah diwarnai dengan gejalagejala tak sedap itu, faktanya masih tersisa sejumlah soal dalam pileg kemarin. KPU, sebab itu, tak bisa menyepelekannya. Bukan sekadar menyesalinya, melainkan juga eloknya, KPU mendendangkan janji berkelas kepada bangsa ini bahwa peristiwa sejenis tak lagi terulang dalam pilpres.
Sungguh manis bila tak ada lagi surat suara pilpres tertukar. Tak ada lagi komisioner di daerah; panitia pemilihan kecamatan (PPK), kelompok panitia pemungutan suara (KPPS), dan panitia pemungutan suara (PPS) bermental rente, dan memiliki hobi dagang hasil perolehan suara. Dokumen-dokumen perolehan suara, form C1 dan lainnya, harus dipastikan tak bakal didagangkan.
Menyenangkan bila KPU terus melilit tindak-tanduknya dengan transparansi dan akuntabilitas dalam pilpres ini. Sungguh berkelas bila transparansi dan akuntabilitas, tidak dijadikan sekadar jargon manis, apalagi topeng. Transparansi dan akuntabilitas, jujur, semakin dirindukan pada hari-hari ini.
Dirindukan, karena transparansi dan akuntabilitas itulah cara tersehat dalam menghidupkan harkat dan martabat manusia, tidak hanya pemilih, melainkan rakyat dalam berbangsa dan bernegara.
Transparansi dan akuntabilitas, dalam maknanya, mengandung keadilan dan kesamaan derajat. Cara yang adil akan menjadi cara terhebat membuat dua pasang capres dan cawapres yang pantas diduga, telah menempatkan kemenangan di kantongnya, lapang dada ketika kalah.
Keadilan dan kesamaan derajat juga akan membuat capres pemenang tidak membusung dada. Legitimasi pemerintahan pun sehat. KPU memang tak sendirian dalam urusan ini.
Bawaslu, organ pengawas, yang sering digambarkan laksana macan ompong, sudilah untuk tak lengah. Tegas dan jujur mengoreksi kekeliruan dan pelanggaran, serta pasti dalam memberi sanksi, yang telah dirancang dan dilembagakan dalam serangkaian aturan adalah cara terbaik meredam konflik di lintasan ini. Sikap itu, terlepas dari memantulkan transparansi dan akuntabilitas atau tidak, akan menghidupkan asa kepastian hukum sebagai adab elementer dalam demokrasi.
Pasti secara hukum, memang tidak selalu senafas dengan pasti secara etik. Pasti secara hukum memang selalu bisa mengundang debat etik, dan debat etik hampir pasti tidak memiliki ujung.
Semakin tak berujung debat itu, betapapun mungkin selalu bisa diterima, tak mungkin gejala itu memiliki kemampuan mengantarkan sebuah bangsa ke singgasana kejayaan.
Organ elektoral– KPU dan Bawaslu–seperti telah disuguhkan oleh cerita tiga pemilu yang telah lalu, harus memberi kepastian kepada bangsa ini, bahwa semua soal terselesaikan dengan damai, dan beradab serta berkepastian hukum. Mematikan rintangan kesetaraan kesempatan bagi setiap pemilih menuju bilik suara, sungguh kini dirindukan orang.
Memilih, apa pun metodenya, tak akan bermakna bila terlalu banyak celah kegelapan, dan rintangan yang mencurigakan. Kecurigaan di tengah gairah menang yang menyala-nyala, adalah akar terciptanya kondisi- kondisi antagonistik, konflik, yang sejujurnya dalam kasus pemilu, merendahkan derajat keadaban pemilu itu sendiri.
Hentikanlah kampanye hitam, dan kuburlah fitnah. Jadilah manusia beradab, dan jadikanlah pilpres ini damai sedamai dunia burung merpati.
MARGARITO KAMIS
Doktor Hukum Tata Negara, Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate
(nfl)