Membangun Infrastruktur untuk Indonesia Lebih Baik
A
A
A
KENDATI ekonomi dunia tengah mengalami konsolidasi menuju keseimbangan baru yang ditandai dengan proyeksi pertumbuhan global yang mulai menguat, perekonomian Indonesia dinilai masihmemiliki prospek baik bagi investasi.
Kebangkitan perekonomian dunia diharapkan berimbas positif terhadap perekonomian Indonesia. Apalagi menurut McKinsey Global Institute, perekonomian Indonesia akan menjadi terbesar ketujuh pada tahun 2030. Bahkan menurut JimO’Neill, mantan chief economist Goldman Sach yang menggagas konsep BRICs dan MINT, dalam Indonesia Investment Summit 2013, Indonesia berpotensi menjadi ekonomi terbesar dunia keenam pada 2025. Dua proyeksi tersebut bukan sesuatu yang absurd, tapi niscaya bisa dicapai dengan beberapa persyaratan dan kondisi tertentu.
Untuk mencapai hal tersebut sekaligus guna memitigasi potensi risiko dan ketidakpastian ekonomi dunia yang masih terasa hingga kini, diharapkan pemerintah yang akan datang harus tetap melakukan lima langkah utama. Pertama, terus mendorong penguatan daya beli masyarakat (keep buying policy) melalui sejumlah program baik dari sisi pasok (ketersediaan dan pasokanbarang/jasa) maupun permintaan (insentif langsung/ tidak langsung kepada masyarakat). Kedua, percepatan pembangunan infrastruktur untuk mendorong konektivitas dan daya saing logistik nasional.
Realisasi investasipembangunan infrastruktur melalui alokasi APBN 2013 mencapai Rp203 triliun atau naik16,4% dari tahun 2012 sebesar Rp174,9 triliun. Dalam APBN 2014, alokasi belanja infrastruktur ditargetkan sebesar Rp208 triliun.
Realisasi investasi pembangunan infrastruktur pada proyek Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) perakhir2013 mencapai Rp828,7 triliun (sektor riil dan infrastruktur). Di akhir 2014, realisasi investasi program MP3EI diperkirakan dapat mencapai Rp1.000 triliun. Ketiga, terus mendorong investasi sebagai salah satu motor pertumbuhan.
Realisasi investasi Januari-Desember 2013 mencapai Rp398,6 triliun atau melebih target sebesar Rp390 triliun. Untuk 2014, pemerintah menargetkan investasi yang masuk baik PMA maupun PMDN dapat mencapai kisaran Rp450 triliun. Untuk kuartal I-2014, realisasi investasi sudah mencapai Rp106 triliun atau masih sesuai Prognosis 2014.
Keempat, penguatan sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Penguatan UMKM sebagai basis penopang perekonomian nasional perlu terus didorong dalam meningkatkan daya saing, kapasitas, cakupan, danaksespermodalan. Kelima, dengan pembangunan infrastruktur, investasi sektor riil dan penguatan UMKM diharapkan dapat memperlebar pasar tenaga kerja nasional sehingga ekonomi dapat terus tumbuh positif dan berkualitas.
Urgensi pembangunan infrastruktur
Dalam aspek peringkat daya saing, Indonesia masih tertinggaldibandingkanSingapura, Malaysia, Brunei, dan Thailand. Peringkat daya saing Indonesia lebih baik dibandingkan Filipina, Vietnam, Laos, Kamboja dan Myanmar.
Kekuatan Indonesia ada pada ukuran pasar. Sayangnya, Indonesia masih lemah dalam aspek labor market efficiency, technological readiness dan infrastructures. Di bidang infrastruktur, peringkat Indonesia ke-61 terhadap lebih dari 100 negara dalam The Global Competitiveness Index 2013-2014, World Economic Forum. Lemahnya infrastruktur menyebabkan biaya logistik Indonesia mencapai 17% dari total produksi.
Ini berarti biaya logistik di Indonesia lebih dari tiga kali lipat biaya logistik di Jepang, sekitar tiga kali lipat dibandingkan Singapura, dan lebih dari dua kali lipat biaya logistik di Malaysia. Hal ini menyebabkan aktivitas ekonomi di sini menjadi berbiaya tinggi dan tidak kompetitif.
Sebenarnya pemerintah sudah memiliki solusi pembangunan infrastruktur, yaitu melalui program MP3EI) yang diluncurkan sejak Mei 2011 lalu. Sebagian besar fokus program MP3EI adalah infrastruktur yang mencakup lebih dari 44% proyek-proyek MP3EI. Sekitar Rp1.774 triliun atau 44% dari total estimasi investasi MP3EI yang sebesar lebih dari Rp4.000 triliun adalah untuk proyek-proyek infrastruktur.
Proyek jalan raya dan energi meliputi sekitar 57% dari proyek-proyek infrastruktur MP3EI. Sejauh ini porsi anggaran belanja infrastruktur Indonesia masih jauh dari ideal. Bahkan anggaran infrastruktur dalam APBN masih lebih rendah daripada subsidi energi dan belanja pegawai. Maklum, peliknya masalah infrastruktur tidak lepas dari rendahnya alokasi anggaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur.
Rasio anggaran infrastruktur Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) di bawah 3%, bahkan trennya menurun dalam beberapa tahun ini. Kondisi ini masih jauh di bawah rasio ideal yang mensyaratkan minimal 5% PDB. Hanya, lantaran keterbatasan anggaran pemerintah dalam APBN, mutlak diperlukan dukungan investor swasta, termasuk pembiayaan perbankan.
Sumber pembiayaan infrastruktur
Sekitar 88% pembiayaan proyek-proyek MP3EI diharapkan datang dari swasta, badan usaha milik negara (BUMN) dan campuran (termasuk pembiayaan perbankan). Dari total nilai indikasi investasi sebesar Rp4.000 triliun, pemerintah hanya sanggup untuk membiayai sekitar 12 persennya karena keterbatasan dana.
Di sinilah peran investor, termasuk pembiayaan perbankan memegang peranan penting. Dalam lima tahun terakhir (2009-2013), penyaluran kredit perbankan tumbuh rata-rata 20,3% per tahun. Sepanjang periode tersebut, kredit ke sektor terkait infrastruktur juga tumbuh, namun dengan tingkat pertumbuhan lebih rendah, yaitu hanya 16,8% per tahun.
Kendati demikian, pada beberapa sektor infrastruktur seperti listrik, gas, dan air bersih, justru terjadi pertumbuhan sangat tinggi pada periode yang sama (terutama listrik akibat program percepatan 10.000 MW). Dalam lima tahun terakhir juga non performing loan (NPL) perbankan terus menunjukkan penurunan signifikan. Saat ini total NPL kredit perbankan sudah lebih rendah dibandingkan NPL kredit pada sektor terkait infrastruktur. Bahkan ada kecenderungan NPL pada berbagai sektor terkait infrastruktur sudah cukup rendah, kecuali pada sektor konstruksi yang cukup tinggi, yaitu 3,6% di 2013.
BNI, sebagaisalahsatuBUMN dan bank terkemuka di Indonesia, memiliki peran strategis dalam pembiayaan infrastruktur. Sebagai fasilitator pertumbuhan ekonomi, BNI berkontribusi dengan fokus pada segmen business banking (BB) dan consumer and retail (CR).
Pada segmen consumer banking, BNI berkeinginan untuk menjadi lifetime banking partnerbagi para nasabahnya, tidak hanya hari ini saja namun untuk masa mendatang, melalui penyediaan pembiayaan dan jasa perbankan kepada konsumen. Pada segmen business banking, BNI menjadi fasilitator bagi pengembangan industri-industri di dalam negeri, salah satunya melalui penyediaan fasilitas kredit produktif dalam bentuk kredit modal kerja (KMK) dan kredit investasi (KI) serta jasa perbankan lain untuk kepentingan dunia usaha, termasuk pembiayaan infrastruktur.
Saya memandang mutlak dibutuhkan dukungan infrastruktur dasar sebagai backbone pertumbuhan ekonomi. Di sini BNI telah mengidentifikasi delapan sektor unggulan berskala nasional, yaitu pertanian; makanan dan minuman; perdagangan; kelistrikan; rekayasa dan konstruksi; minyak, gas dan pertambangan; komunikasi; serta kimia (termasuk kimia dasar). Kedelapan sektor ini diperkirakan menjadi penggerak perekonomian Indonesia, yang kesemuanya juga telah sejalan dengan MP3EI.
Selama ini pembangunan infrastruktur selalu mengandalkan dana APBN, sehingga sering ditemui kendala pendanaan untuk merealisasikannya. Salah satu contohnya pembangunan jalan tol yang sarat modal, padahal jalan tol merupakan salah satu solusi mengatasi problem konektivitas dan logistik di Tanah Air. Namun, adanya Pembangunan Jalan Tol Bali Mandara yang menghubungkan Nusa Dua- Ngurah Rai-Benoa membuktikan pembangunan infrastruktur dapat dilaksanakan tanpa membebani APBN, yaitu melalui sinergi antar-BUMN.
BNI pun berperan serta dalam proyek besar tersebut. Maka, saya boleh berbangga telah menjadi bagian dari sinergi antar-BUMN tersebut. Ke depan, saya pun berharap keberhasilan sinergi antar-BUMN ini dapat dijadikan percontohan untuk dapat diterapkan pada proyek-proyek infrastruktur lain, khususnya yang masuk dalam MP3EI. Saya melihat BUMN memiliki semua bidang usaha strategis, seperti di sektor rekayasa dan konstruksi, keuangan perbankan, sekuritas, semen, kelistrikan, telekomunikasi, jalan tol, dan masih banyak sektor lainnya.
Saya berkeyakinan jika sinergi dan kolaborasi dilakukan antar-BUMN dengan baik dan adanya peran-serta dan dukungan pemerintah dalam aspek regulasi, permasalahan infrastruktur akan terurai dengan sendirinya karena pembiayaan infrastruktur tidak menjadi masalah lagi.
Dari ilustrasi di atas, dapat saya simpulkan beberapa hal. Pertama, sinergi antar-BUMN merupakan keniscayaan karena memberikan keuntungan bersama (common benefits) bagi BUMN yang terlibat. Kedua, ruang kerja sama antar-BUMN terbuka lebar lantaran bidang usaha BUMN yang luas dan saling melengkapi secara sinergis.
Ketiga, sinergi antar-BUMN akan menciptakan pasar yang atraktif bagi sesama BUMN dengan tingkat operasional yang efisien dan efektif. Ini juga akan mendorong pengelola BUMN lebih kreatif dan inovatif membuka kerja sama saling menguntungkan.
Keempat, kontribusi BUMN akan menjadi lebih besar dan bernilai melalui beberapa kebijakan misalnya dividend pay out ratio BUMN yang jelas sehingga BUMN dapat merencanakan bisnisnya secara lebih baik. Terakhir, harmonisasi berbagai peraturan perundang-undangan dan sinkronisasi kebijakan baik pusat maupun daerah serta antara lembaga/kementerian, misalnya terkait rencana tata ruang wilayah (RT/RW), sistem bagi hasil yang jelas antara pusat dan daerah yang dituangkan dalam bentuk undang-undang, bukan peraturan yang lebih rendah.
Akhirnya, setelah semua masalah mendasar dibereskan, barulah perbankan bisa melakukan fasilitasi secara lebih optimal. Pada dasarnya BNI akan senantiasa terus berkomitmen dalam mendukung pembangunan infrastruktur demi kemajuan perekonomian bangsa agar dapat tumbuh tinggi, berkualitas, dan berkelanjutan.
GATOT M SUWONDO
CEO & Direktur Utama BNI
Kebangkitan perekonomian dunia diharapkan berimbas positif terhadap perekonomian Indonesia. Apalagi menurut McKinsey Global Institute, perekonomian Indonesia akan menjadi terbesar ketujuh pada tahun 2030. Bahkan menurut JimO’Neill, mantan chief economist Goldman Sach yang menggagas konsep BRICs dan MINT, dalam Indonesia Investment Summit 2013, Indonesia berpotensi menjadi ekonomi terbesar dunia keenam pada 2025. Dua proyeksi tersebut bukan sesuatu yang absurd, tapi niscaya bisa dicapai dengan beberapa persyaratan dan kondisi tertentu.
Untuk mencapai hal tersebut sekaligus guna memitigasi potensi risiko dan ketidakpastian ekonomi dunia yang masih terasa hingga kini, diharapkan pemerintah yang akan datang harus tetap melakukan lima langkah utama. Pertama, terus mendorong penguatan daya beli masyarakat (keep buying policy) melalui sejumlah program baik dari sisi pasok (ketersediaan dan pasokanbarang/jasa) maupun permintaan (insentif langsung/ tidak langsung kepada masyarakat). Kedua, percepatan pembangunan infrastruktur untuk mendorong konektivitas dan daya saing logistik nasional.
Realisasi investasipembangunan infrastruktur melalui alokasi APBN 2013 mencapai Rp203 triliun atau naik16,4% dari tahun 2012 sebesar Rp174,9 triliun. Dalam APBN 2014, alokasi belanja infrastruktur ditargetkan sebesar Rp208 triliun.
Realisasi investasi pembangunan infrastruktur pada proyek Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) perakhir2013 mencapai Rp828,7 triliun (sektor riil dan infrastruktur). Di akhir 2014, realisasi investasi program MP3EI diperkirakan dapat mencapai Rp1.000 triliun. Ketiga, terus mendorong investasi sebagai salah satu motor pertumbuhan.
Realisasi investasi Januari-Desember 2013 mencapai Rp398,6 triliun atau melebih target sebesar Rp390 triliun. Untuk 2014, pemerintah menargetkan investasi yang masuk baik PMA maupun PMDN dapat mencapai kisaran Rp450 triliun. Untuk kuartal I-2014, realisasi investasi sudah mencapai Rp106 triliun atau masih sesuai Prognosis 2014.
Keempat, penguatan sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Penguatan UMKM sebagai basis penopang perekonomian nasional perlu terus didorong dalam meningkatkan daya saing, kapasitas, cakupan, danaksespermodalan. Kelima, dengan pembangunan infrastruktur, investasi sektor riil dan penguatan UMKM diharapkan dapat memperlebar pasar tenaga kerja nasional sehingga ekonomi dapat terus tumbuh positif dan berkualitas.
Urgensi pembangunan infrastruktur
Dalam aspek peringkat daya saing, Indonesia masih tertinggaldibandingkanSingapura, Malaysia, Brunei, dan Thailand. Peringkat daya saing Indonesia lebih baik dibandingkan Filipina, Vietnam, Laos, Kamboja dan Myanmar.
Kekuatan Indonesia ada pada ukuran pasar. Sayangnya, Indonesia masih lemah dalam aspek labor market efficiency, technological readiness dan infrastructures. Di bidang infrastruktur, peringkat Indonesia ke-61 terhadap lebih dari 100 negara dalam The Global Competitiveness Index 2013-2014, World Economic Forum. Lemahnya infrastruktur menyebabkan biaya logistik Indonesia mencapai 17% dari total produksi.
Ini berarti biaya logistik di Indonesia lebih dari tiga kali lipat biaya logistik di Jepang, sekitar tiga kali lipat dibandingkan Singapura, dan lebih dari dua kali lipat biaya logistik di Malaysia. Hal ini menyebabkan aktivitas ekonomi di sini menjadi berbiaya tinggi dan tidak kompetitif.
Sebenarnya pemerintah sudah memiliki solusi pembangunan infrastruktur, yaitu melalui program MP3EI) yang diluncurkan sejak Mei 2011 lalu. Sebagian besar fokus program MP3EI adalah infrastruktur yang mencakup lebih dari 44% proyek-proyek MP3EI. Sekitar Rp1.774 triliun atau 44% dari total estimasi investasi MP3EI yang sebesar lebih dari Rp4.000 triliun adalah untuk proyek-proyek infrastruktur.
Proyek jalan raya dan energi meliputi sekitar 57% dari proyek-proyek infrastruktur MP3EI. Sejauh ini porsi anggaran belanja infrastruktur Indonesia masih jauh dari ideal. Bahkan anggaran infrastruktur dalam APBN masih lebih rendah daripada subsidi energi dan belanja pegawai. Maklum, peliknya masalah infrastruktur tidak lepas dari rendahnya alokasi anggaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur.
Rasio anggaran infrastruktur Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) di bawah 3%, bahkan trennya menurun dalam beberapa tahun ini. Kondisi ini masih jauh di bawah rasio ideal yang mensyaratkan minimal 5% PDB. Hanya, lantaran keterbatasan anggaran pemerintah dalam APBN, mutlak diperlukan dukungan investor swasta, termasuk pembiayaan perbankan.
Sumber pembiayaan infrastruktur
Sekitar 88% pembiayaan proyek-proyek MP3EI diharapkan datang dari swasta, badan usaha milik negara (BUMN) dan campuran (termasuk pembiayaan perbankan). Dari total nilai indikasi investasi sebesar Rp4.000 triliun, pemerintah hanya sanggup untuk membiayai sekitar 12 persennya karena keterbatasan dana.
Di sinilah peran investor, termasuk pembiayaan perbankan memegang peranan penting. Dalam lima tahun terakhir (2009-2013), penyaluran kredit perbankan tumbuh rata-rata 20,3% per tahun. Sepanjang periode tersebut, kredit ke sektor terkait infrastruktur juga tumbuh, namun dengan tingkat pertumbuhan lebih rendah, yaitu hanya 16,8% per tahun.
Kendati demikian, pada beberapa sektor infrastruktur seperti listrik, gas, dan air bersih, justru terjadi pertumbuhan sangat tinggi pada periode yang sama (terutama listrik akibat program percepatan 10.000 MW). Dalam lima tahun terakhir juga non performing loan (NPL) perbankan terus menunjukkan penurunan signifikan. Saat ini total NPL kredit perbankan sudah lebih rendah dibandingkan NPL kredit pada sektor terkait infrastruktur. Bahkan ada kecenderungan NPL pada berbagai sektor terkait infrastruktur sudah cukup rendah, kecuali pada sektor konstruksi yang cukup tinggi, yaitu 3,6% di 2013.
BNI, sebagaisalahsatuBUMN dan bank terkemuka di Indonesia, memiliki peran strategis dalam pembiayaan infrastruktur. Sebagai fasilitator pertumbuhan ekonomi, BNI berkontribusi dengan fokus pada segmen business banking (BB) dan consumer and retail (CR).
Pada segmen consumer banking, BNI berkeinginan untuk menjadi lifetime banking partnerbagi para nasabahnya, tidak hanya hari ini saja namun untuk masa mendatang, melalui penyediaan pembiayaan dan jasa perbankan kepada konsumen. Pada segmen business banking, BNI menjadi fasilitator bagi pengembangan industri-industri di dalam negeri, salah satunya melalui penyediaan fasilitas kredit produktif dalam bentuk kredit modal kerja (KMK) dan kredit investasi (KI) serta jasa perbankan lain untuk kepentingan dunia usaha, termasuk pembiayaan infrastruktur.
Saya memandang mutlak dibutuhkan dukungan infrastruktur dasar sebagai backbone pertumbuhan ekonomi. Di sini BNI telah mengidentifikasi delapan sektor unggulan berskala nasional, yaitu pertanian; makanan dan minuman; perdagangan; kelistrikan; rekayasa dan konstruksi; minyak, gas dan pertambangan; komunikasi; serta kimia (termasuk kimia dasar). Kedelapan sektor ini diperkirakan menjadi penggerak perekonomian Indonesia, yang kesemuanya juga telah sejalan dengan MP3EI.
Selama ini pembangunan infrastruktur selalu mengandalkan dana APBN, sehingga sering ditemui kendala pendanaan untuk merealisasikannya. Salah satu contohnya pembangunan jalan tol yang sarat modal, padahal jalan tol merupakan salah satu solusi mengatasi problem konektivitas dan logistik di Tanah Air. Namun, adanya Pembangunan Jalan Tol Bali Mandara yang menghubungkan Nusa Dua- Ngurah Rai-Benoa membuktikan pembangunan infrastruktur dapat dilaksanakan tanpa membebani APBN, yaitu melalui sinergi antar-BUMN.
BNI pun berperan serta dalam proyek besar tersebut. Maka, saya boleh berbangga telah menjadi bagian dari sinergi antar-BUMN tersebut. Ke depan, saya pun berharap keberhasilan sinergi antar-BUMN ini dapat dijadikan percontohan untuk dapat diterapkan pada proyek-proyek infrastruktur lain, khususnya yang masuk dalam MP3EI. Saya melihat BUMN memiliki semua bidang usaha strategis, seperti di sektor rekayasa dan konstruksi, keuangan perbankan, sekuritas, semen, kelistrikan, telekomunikasi, jalan tol, dan masih banyak sektor lainnya.
Saya berkeyakinan jika sinergi dan kolaborasi dilakukan antar-BUMN dengan baik dan adanya peran-serta dan dukungan pemerintah dalam aspek regulasi, permasalahan infrastruktur akan terurai dengan sendirinya karena pembiayaan infrastruktur tidak menjadi masalah lagi.
Dari ilustrasi di atas, dapat saya simpulkan beberapa hal. Pertama, sinergi antar-BUMN merupakan keniscayaan karena memberikan keuntungan bersama (common benefits) bagi BUMN yang terlibat. Kedua, ruang kerja sama antar-BUMN terbuka lebar lantaran bidang usaha BUMN yang luas dan saling melengkapi secara sinergis.
Ketiga, sinergi antar-BUMN akan menciptakan pasar yang atraktif bagi sesama BUMN dengan tingkat operasional yang efisien dan efektif. Ini juga akan mendorong pengelola BUMN lebih kreatif dan inovatif membuka kerja sama saling menguntungkan.
Keempat, kontribusi BUMN akan menjadi lebih besar dan bernilai melalui beberapa kebijakan misalnya dividend pay out ratio BUMN yang jelas sehingga BUMN dapat merencanakan bisnisnya secara lebih baik. Terakhir, harmonisasi berbagai peraturan perundang-undangan dan sinkronisasi kebijakan baik pusat maupun daerah serta antara lembaga/kementerian, misalnya terkait rencana tata ruang wilayah (RT/RW), sistem bagi hasil yang jelas antara pusat dan daerah yang dituangkan dalam bentuk undang-undang, bukan peraturan yang lebih rendah.
Akhirnya, setelah semua masalah mendasar dibereskan, barulah perbankan bisa melakukan fasilitasi secara lebih optimal. Pada dasarnya BNI akan senantiasa terus berkomitmen dalam mendukung pembangunan infrastruktur demi kemajuan perekonomian bangsa agar dapat tumbuh tinggi, berkualitas, dan berkelanjutan.
GATOT M SUWONDO
CEO & Direktur Utama BNI
(nfl)