Ironi Kekerasan Seksual pada Anak

Selasa, 20 Mei 2014 - 13:23 WIB
Ironi Kekerasan Seksual...
Ironi Kekerasan Seksual pada Anak
A A A
DUA bulan terakhir ini tema pelecehan seksual terhadap anak terus mengemuka. Topik ini menjadi perbincangan menarik di media massa, baik nasional maupun lokal. Sebab, belum tuntas kasus pedofil yang melibatkan satu anak TK/PAUD Jakarta International School (JIS) sebagai korbannya (dan ada indikasi korban lebih dari satu), kini publik kembali terperangah akibat ulah bejat Andri Sobari, alias Emon, remaja asal Sukabumi yang melakukan sodomi terhadap lebih dari 100 anak.

Kasus pelecehan seksual terhadap anak sejatinya bukan berita yang benar-benar baru, melainkan setiap tahun terjadi. Kasus Robot Gedek pada tahun 1995 yang telah melakukan kejahatan seksual kepada 12 anak dan memutilasi korbannya membuktikan bahwa kasus seperti ini sudah lama terjadi. Sayangnya, problem tersebut selama ini masih minim publikasi, perhatian, serta upaya pencegahan dari banyak pihak, tak terkecuali dari elemen pemerintah.

Hingga kini pun tema-tema mengenai perlindungan anak masih menjadi opini yang tersubordinasi dibanding kisruh politik dan pemberitaan korupsi yang tak produktif. Nomenklatur perlindungan anak yang telah hadir melalui undang-undang pada tahun 2002, baru muncul pada kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2 dengan nama Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Bisa kita bayangkan di daerah, isu perlindungan anak masih belum mendapat tempat.

Padahal, aksi penyelewengan seksual terhadap anak-anak trennya mengalami peningkatan setiap tahun. Menurut data pengaduan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), total kasus pelecahan seksual terhadap anak pada 2011 mencapai 329, tahun 2012 naik menjadi 746 kasus, dan 525 kasus pada 2013. Sementara di tahun ini (hingga triwulan pertama), dari pengaduan ke KPAI dan laporan media, kasus kekerasan seksual mencapai 459 kasus).

Hasil pantauan KPAI menemukan rata-rata 45 anak mengalami kekerasan seksual setiap bulannya. Tentu saja, kondisi yang tidak berpihak pada anakanak ini sangat menyayat hati, terutama bagi para orangtua.

Bukan hanya kekerasan seksual yang mereka alami, melainkan masa depan mereka yang terenggut karena sakit psikologis. Ironisnya, dalam kondisi yang demikian parah penegakan hukum kita belum bekerja secara optimal. Bahkan para penyelenggara baru bersikap agresif ketika korban pelanggaran seksual anak mendapat pemberitaan yang massif dari media massa.

Padahal, sejatinya anak-anak memiliki hak konstitusional mendapat perlindungan dari kekerasan seksual. Hak perlindungan anak tertuang dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 pasal 4 Tentang Perlindungan Anak, yaitu setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Sementara dalam pasal 82 disebutkan, setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana paling lama 15 tahun dan paling singkat 3 tahun dan denda paling banyak Rp300 juta dan paling sedikit Rp 60 juta.

Hukuman ini pun perlu direvisi mengingat kejahatan seksual terhadap anak sangat membahayakan masa depan anak-anak sekaligus masa depan bangsa ini. Berdasarkan norma itu, pemerintah dipandang berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap perlindungan anak dari kekerasan seksual.

Negara dituntut berperan aktif untuk mewujudkan kondisi sosial yang ramah terhadap tumbuh kembang mereka. Sebab, anakanak masih memiliki masa depan yang tidak mustahil di antara mereka akan memegang estafet kepemimpinan bangsa di masa mendatang.

Di tengah hiruk-pikuk dinamika politik menjelang pemilihan presiden (Pilpres) yang tinggal sebentar lagi (Juli 2014), diharapkan ada di antara partai politik maupun caprescawapres yang menjadikan tema perlindungan anak sebagai salah satu visi dan misi mereka.

Sayangnya, harapan itu masih jauh panggang dari api karena elite politik tampaknya lebih sibuk bicara koalisi dibanding mengedepankan berbagai problem yang akan mengemuka lima tahun mendatang. Bahkan, nyaris tidak ditemukan para calon anggota legislatif di pileg kemarin yang menempatkan problem perlindungan anak sebagai visi perjuangan.

Padahal aksi kekerasan seksual, tindakan asusila, dan penjualan anak terus memekatkan langit bumi pertiwi. Setiap sudut ruang publik, mulai dari sekolah, bus kota, angkutan umum, tempat pariwisata, hingga di lingkungan desa sekalipun dinilai tidak aman dari aksi predator anak.

Tak ayal, bila banyak pengamat pendidikan dan psikolog anak yang menyebut situasi ini sebagai darurat kekerasan seksual pada anak. Bahkan informasi terbaru menyebutkan, guru SD berinisial AM asal Samarinda diciduk polisi setempat karena berbuat cabul terhadap 20 murid perempuannya.

Sungguh situasi elegis ini sangat tidak masuk akal, mestinya guru bisa menjadi pengayom bagi muridmuridnya, bukan justru mematikan masa depan mereka. Dalam kondisi seperti ini ada beberapa hal yang mesti dilakukan.

Pertama , untuk pemerintah tidak cukup bila darurat penyelewengan seksual yang menempatkan anak-anak sebagai korbannya tersebut disikapi dengan rasa prihatin saja. Dalam hal ini, pemerintah perlu bertindak tegas terhadap pelaku pedofil anak, meski itu melibatkan sekolah internasional.

Pemerintah melalui kepolisian diharapkan bisa bekerjasama dengan berbagai elemen sosial lain untuk membuka kasus secara transparan di depan hukum. Apapun kasusnya jika itu melibatkan anak-anak sebagai korbannya, maka tidak perlu ditutup-tutupi.

Dengan begitu setiap penyelewengan seksual anak bisa diselesaikan hingga ke akar-akarnya. Kedua, bagi para guru. Dengan maraknya aksi predator anak di berbagai sekolah, baik di Jakarta maupun daerah-daerah lain, para stakeholder pendidikan perlu melakukan pengawasan secara lebih terhadap anak-anak, dengan tanpa mengikat gerak mereka untuk bermain dan bersosialisasi dengan teman-temannya.

Sementara ketiga, bagi kalangan pendidik dan orangtua berkewajiban memberi bimbingan kepada anak-anaknya agar tidak suka berdiam diri, bersikap mudah menerima pemberian orang, atau mengikuti kehendak orang lain yang belum dikenal.

Mereka mesti dirangsang untuk selalu aktif dan mudah berkomunikasi dengan lingkungannya. Akhirnya, dengan beberapa langkah kecil itu diharapkan kekerasan seksual yang terjadi di kalangan anak-anak dapat diminimalisasi.

Selain memberi hukuman yang berat terhadap pelaku, para orang tua dan guru juga dituntut untuk lebih aktif melihat perkembangan anak. Sebab, terungkapnya beberapa kasus pelecehan seksual di beberapa daerah akhir-akhir ini menunjukkan bahwa predator pedofil ada di sekeliling kita. Sungguh situasi yang menyayat hati.

RITA PRANAWATI
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6303 seconds (0.1#10.140)