Tak Terbuka pada Rakyat
A
A
A
BATAS akhir pendaftaran kandidat calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 20 Mei pukul 18.00 WIB kian dekat.
Namun hingga saat ini belum ada pasangan capres-cawapres yang secara definitif diusung partai politik (parpol) peserta Pemilu Legislatif 2014. Yang ada baru wacana-wacana yang dikeluarkan para elite parpol yang jika kita perhatikan benar bisa dikategorikan sebagai sarana untuk menguji penerimaan publik saja (testing the water).
Sekalipun nama capres dan cawapres sudah memenuhi ruang publik, nyatanya sampai saat ini parpol-parpol masih saja saling bernegosiasi untuk menentukan pasangan yang akan maju pada Pilpres 9 Juli nanti.
Bahkan sekalipun urusan dukung-mendukung sudah dideklarasikan beberapa parpol, tetap saja nama pasangan resmi belum juga keluar. Kesemua parpol masih saja sibuk tawar-menawar dan mengedepankan kepentingan masing-masing dengan membawa-bawa jumlah suara rakyat yang ada dikantonginya saat Pileg 2014, 9 April lalu.
Tingkah polah para elite parpol yang seperti sedang sibuk arisan karena saling bertukar kunjungan dengan membawa jutaan suara rakyat Indonesia sebagai posisi tawar merupakan gambaran bahwa suara rakyat masih hanya diperlakukan sebagai syarat.
Janji-janji yang disampaikan saat masa kampanye Pileg 2014 sebagian—kalau tidak semua—akan dikhianati karena harus tunduk pada tawarmenawar dalam melahirkan koalisi dan pasangan capres-cawapres.
Mungkin para pendukung fanatik suatu partai akan beralasan bahwa berbagai macam penjajakan yang dilakukan partai masingmasing adalah cara untuk mengamankan agar semangat yang dibawanya sejak masa pileg akan terus hidup dalam pemerintahan mendatang.
Namun, tanpa perlu bersusah payah mencerna, rakyat kebanyakan akan sadar bahwa pertunjukan yang terus berulang sejak Pemilu 1999 ini bukanlah untuk kepentingan rakyat. Bahkan ideologi pun seperti sudah lama ditinggalkan di gudang berdebu masing-masing parpol.
Kalau ada politisi parpol yang masih bicara mengenai ideologi dan arah perjuangan parpol yang sedang diusahakan agar diterima dalam memilih pasangan koalisi tentu itu seperti lagu lama yang sama sekali tidak merdu.
Kalau memang berjuang untuk ideologi partai, dengan hanya beberapa kubu yang kemungkinan tercipta dalam pilpres ini, seharusnya sangat mudah mencari kawan seideologi tanpa harus mendatangi tiap kubu satu per satu.
Sebagai rakyat yang memiliki suara di kantong para politisi tersebut, sudah saatnya kita menuntut lebih dalam pemilu-pemilu ke depannya. Kita tentu tak ingin lagi terus-menerus dibohongi seperti membeli kucing dalam karung saat pemilu legislatif.
Harusnya sejak beberapa lama bahkan jauh sebelum pileg pasangan yang akan diusung suatu parpol sudah jelas. Dengan keterbukaan itu, rakyat akan tahu kira-kira seperti apa gaya kepemimpinan yang akan dibangun oleh suatu parpol ketika akhirnya memenangi pemilu.
Harus jelas misalnya dengan memilih parpol A atau parpol B yang mengusung pasangan capres-cawapres tertentu, maka kebijakan di sektor pangan, pendidikan, ekonomi, dan kebijakan lainnya akan dibawa ke mana.
Dari sanalah akan terbentuk budaya politik yang sehat di mana rakyat memilih sesuai kepentingan masing-masing yang dititipkan pada para parpol dan capres-cawapres yang diusungnya untuk diperjuangkan dalam proses politik di pemerintahan.
Kalaupun kondisi perolehan suara membuat tidak bisa mengajukan paket yang diinginkan, koalisi yang ideal adalah dengan partai yang memang sedari awal memiliki irisan paling besar dalam visi dan misinya mengenai arah memajukan Indonesia.
Jangan sampai yang terjadi seperti saat ini ketika semua parpol berusaha mendekati satu per satu kubu capres yang potensial untuk mendapatkan deal politik terbaik.
Pragmatisme macam itu hanya merugikan rakyat saja. Jangan jadikan sekitar 250 juta rakyat Indonesia hanya sebagai pelengkap dalam proses demokrasi di Indonesia. Kita sebagai rakyat pemilik suara juga harus menghukum aksi seperti ini dalam pemilu selanjutnya.
Namun hingga saat ini belum ada pasangan capres-cawapres yang secara definitif diusung partai politik (parpol) peserta Pemilu Legislatif 2014. Yang ada baru wacana-wacana yang dikeluarkan para elite parpol yang jika kita perhatikan benar bisa dikategorikan sebagai sarana untuk menguji penerimaan publik saja (testing the water).
Sekalipun nama capres dan cawapres sudah memenuhi ruang publik, nyatanya sampai saat ini parpol-parpol masih saja saling bernegosiasi untuk menentukan pasangan yang akan maju pada Pilpres 9 Juli nanti.
Bahkan sekalipun urusan dukung-mendukung sudah dideklarasikan beberapa parpol, tetap saja nama pasangan resmi belum juga keluar. Kesemua parpol masih saja sibuk tawar-menawar dan mengedepankan kepentingan masing-masing dengan membawa-bawa jumlah suara rakyat yang ada dikantonginya saat Pileg 2014, 9 April lalu.
Tingkah polah para elite parpol yang seperti sedang sibuk arisan karena saling bertukar kunjungan dengan membawa jutaan suara rakyat Indonesia sebagai posisi tawar merupakan gambaran bahwa suara rakyat masih hanya diperlakukan sebagai syarat.
Janji-janji yang disampaikan saat masa kampanye Pileg 2014 sebagian—kalau tidak semua—akan dikhianati karena harus tunduk pada tawarmenawar dalam melahirkan koalisi dan pasangan capres-cawapres.
Mungkin para pendukung fanatik suatu partai akan beralasan bahwa berbagai macam penjajakan yang dilakukan partai masingmasing adalah cara untuk mengamankan agar semangat yang dibawanya sejak masa pileg akan terus hidup dalam pemerintahan mendatang.
Namun, tanpa perlu bersusah payah mencerna, rakyat kebanyakan akan sadar bahwa pertunjukan yang terus berulang sejak Pemilu 1999 ini bukanlah untuk kepentingan rakyat. Bahkan ideologi pun seperti sudah lama ditinggalkan di gudang berdebu masing-masing parpol.
Kalau ada politisi parpol yang masih bicara mengenai ideologi dan arah perjuangan parpol yang sedang diusahakan agar diterima dalam memilih pasangan koalisi tentu itu seperti lagu lama yang sama sekali tidak merdu.
Kalau memang berjuang untuk ideologi partai, dengan hanya beberapa kubu yang kemungkinan tercipta dalam pilpres ini, seharusnya sangat mudah mencari kawan seideologi tanpa harus mendatangi tiap kubu satu per satu.
Sebagai rakyat yang memiliki suara di kantong para politisi tersebut, sudah saatnya kita menuntut lebih dalam pemilu-pemilu ke depannya. Kita tentu tak ingin lagi terus-menerus dibohongi seperti membeli kucing dalam karung saat pemilu legislatif.
Harusnya sejak beberapa lama bahkan jauh sebelum pileg pasangan yang akan diusung suatu parpol sudah jelas. Dengan keterbukaan itu, rakyat akan tahu kira-kira seperti apa gaya kepemimpinan yang akan dibangun oleh suatu parpol ketika akhirnya memenangi pemilu.
Harus jelas misalnya dengan memilih parpol A atau parpol B yang mengusung pasangan capres-cawapres tertentu, maka kebijakan di sektor pangan, pendidikan, ekonomi, dan kebijakan lainnya akan dibawa ke mana.
Dari sanalah akan terbentuk budaya politik yang sehat di mana rakyat memilih sesuai kepentingan masing-masing yang dititipkan pada para parpol dan capres-cawapres yang diusungnya untuk diperjuangkan dalam proses politik di pemerintahan.
Kalaupun kondisi perolehan suara membuat tidak bisa mengajukan paket yang diinginkan, koalisi yang ideal adalah dengan partai yang memang sedari awal memiliki irisan paling besar dalam visi dan misinya mengenai arah memajukan Indonesia.
Jangan sampai yang terjadi seperti saat ini ketika semua parpol berusaha mendekati satu per satu kubu capres yang potensial untuk mendapatkan deal politik terbaik.
Pragmatisme macam itu hanya merugikan rakyat saja. Jangan jadikan sekitar 250 juta rakyat Indonesia hanya sebagai pelengkap dalam proses demokrasi di Indonesia. Kita sebagai rakyat pemilik suara juga harus menghukum aksi seperti ini dalam pemilu selanjutnya.
(nfl)