Ilusi koalisi
A
A
A
PADA Jumat (9/5) lalu Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan hasil pemilihan umum (pemilu) legislatif tahun 2014. Sebagaimana telah diperkirakan oleh sejumlah lembaga survei melalui quick count (hitung cepat), hasil perhitungan resmi rekapitulasi suara yang dilakukan oleh KPU menunjukkan tidak ada satu partai politik pun mampu tampil dominan dengan perolehan suara di atas angka 20% kursi parlemen atau 25% suara pemilih. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sebagai pemenang pemilu legislatif meraih suara 18,95%.
Posisi kedua ditempati Partai Golkar dengan 14,75%. Kemudian, secara berturut-turut diikuti oleh Partai Gerindra (11,81%), Partai Demokrat (10,19%), Partai Kebangkitan Bangsa (9,04%), Partai Amanat Nasional (7,57%), Partai NasDem (6,72%), Partai Keadilan Sejahtera (6,79%), Partai Persatuan Pembangunan (6,53%), Partai Hanura (5,26%), Partai Bulan Bintang (1,46%), dan Partai Keadilan Persatuan Indonesia (0,91%).
Tidak adanya partai politik yang mampu meraih suara 20% kursi parlemen atau 25% suara pemilih sebagai syarat utama mencalonkan pasangan capres dan cawapres membuat koalisi mau tidak mau harus dilakukan.
Segera setelah hasil quick count dipublikasikan secara luas, elite-elite partai politik segera melakukan kunjungan satu sama lain guna menjalin komunikasi dan penjajakan koalisi. Silaturahmi politik Joko Widodo mengunjungi sejumlah petinggi partai politik dan tokoh nasional merupakan ilustrasi dari penjajakan koalisi tersebut.
Begitu pun dengan penjajakan koalisi dilakukan elite-elite politik lain, seperti safari politik Prabowo Subianto dan juga aksi Aburizal Bakrie. Koalisi sering diklaim oleh para elite sebagai sebuah ikhtiar politik untuk memperkuat bangunan sistem presidensial yang akan menjadi cikal bakal mewujudkan perbaikan nasib rakyat di masa mendatang. Studi Juan Linz dan Arturo Velenzuela dalam The Failure of Presidential Democracy: The Case of Latin America (1994) pun acap kali dijadikan sebagai dalil pembenaran untuk melakukan koalisi.
Linz dan Velenzuela mengatakan 'perkawinan' sistem pemerintahan presidensial dan sistem multipartai akan melahirkan konflik antara lembaga eksekutif dan legislatif sehingga mengakibatkan demokrasi cenderung tidak stabil.
Namun, benarkah penjajakan koalisi oleh partai-partai saat ini sunguh-sungguh didasarkan pada argumentasi tersebut? Sulit dimungkiri, penjajakan koalisi pasca pemilihan umum legislatif yang dilakukan PDIP dan partaipartai lain sesungguhnya sangat terkait erat dengan kepentingan politik jangka pendek partai-partai tersebut untuk memuluskan langkah menuju kursi kekuasaan, tidak lebih dari itu.
Secara teoritis, gagasan koalisi hanya relevan dalam konteks sistem pemerintahan parlementer, bukan sistem pemerintahan presidensial seperti dianut Indonesia. Koalisi diperlukan untuk menggalang dukungan dalam rangka membentuk pemerintahan oleh partai pemenang pemilu di satu sisi dan membangun blok oposisi bagi partai-partai yang tidak ikut serta dalam pemerintahan di sisi lain.
Dalam konteks sistem pemerintahan presidensial sebagaimana dianut Undang- Undang Dasar (UUD) 1945 pascaempat tahap amendemen, lembaga eksekutif dan legislatif merupakan dua lembaga tinggi terpisah yang tidak dapat saling menjatuhkan satu sama lain.
Kelangsungan hidup lembaga eksekutif tidak tergantung pada dukungan lembaga legislatif. Karena itu, klaim partaipartai selama ini bahwa koalisi merupakan usaha untuk memperkuat bangunan sistem presidensial tidak lebih dari sekadar ilusi politik belaka.
Alih-alih memperkuat sistem presidensial, keberadaan koalisi justru berpotensi melestarikan wajah buruk parlemen hari ini, di mana cenderung melembagakan perilaku parlementer ketimbang mengembangkan kultur sistem pemerintahan presidensial.
Jika memang benar concern utama dari partai-partai tersebut adalah mendorong efektivitas kinerja lembaga eksekutif dan memperkuat sistem presidensial di Indonesia, maka jalan yang harus dirintis adalah menginisiasi pembuatan regulasi ketatanegaraan yang dapat mendorong sistem presidensial agar lebih kompatibel dengan sistem multipartai di Indonesia.
Regulasi itu antara lain dapat berupa penerapan sistem distrik, memperkecil daerah pemilihan (dapil), menaikkan ambang batas parlemen (parliamentary threshold), dan pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilihan presiden.
Selain itu, hal negatif lain dari pembicaraan koalisi di tingkat elite saat ini adalah terlampau dominannya aroma pembagian kekuasaan "siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana" ketimbang mewujudkan penguatan sistem presidensial demi perbaikan nasib bangsa dan negara di masa mendatang.
Bahkan, boleh jadi, bukan sekadar persoalan "siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana," tetapi juga kalkulasi mobilisasi dana partai politik guna keperluan pemilu lima tahun mendatang. Sudah menjadi rahasia umum bila jabatan di kementerian sering menjadi pintu masuk aliran dana bagi partai politik tempat menteri bersangkutan bernaung.
BAWONO KUMORO
Peneliti Politik The Habibie Center
Posisi kedua ditempati Partai Golkar dengan 14,75%. Kemudian, secara berturut-turut diikuti oleh Partai Gerindra (11,81%), Partai Demokrat (10,19%), Partai Kebangkitan Bangsa (9,04%), Partai Amanat Nasional (7,57%), Partai NasDem (6,72%), Partai Keadilan Sejahtera (6,79%), Partai Persatuan Pembangunan (6,53%), Partai Hanura (5,26%), Partai Bulan Bintang (1,46%), dan Partai Keadilan Persatuan Indonesia (0,91%).
Tidak adanya partai politik yang mampu meraih suara 20% kursi parlemen atau 25% suara pemilih sebagai syarat utama mencalonkan pasangan capres dan cawapres membuat koalisi mau tidak mau harus dilakukan.
Segera setelah hasil quick count dipublikasikan secara luas, elite-elite partai politik segera melakukan kunjungan satu sama lain guna menjalin komunikasi dan penjajakan koalisi. Silaturahmi politik Joko Widodo mengunjungi sejumlah petinggi partai politik dan tokoh nasional merupakan ilustrasi dari penjajakan koalisi tersebut.
Begitu pun dengan penjajakan koalisi dilakukan elite-elite politik lain, seperti safari politik Prabowo Subianto dan juga aksi Aburizal Bakrie. Koalisi sering diklaim oleh para elite sebagai sebuah ikhtiar politik untuk memperkuat bangunan sistem presidensial yang akan menjadi cikal bakal mewujudkan perbaikan nasib rakyat di masa mendatang. Studi Juan Linz dan Arturo Velenzuela dalam The Failure of Presidential Democracy: The Case of Latin America (1994) pun acap kali dijadikan sebagai dalil pembenaran untuk melakukan koalisi.
Linz dan Velenzuela mengatakan 'perkawinan' sistem pemerintahan presidensial dan sistem multipartai akan melahirkan konflik antara lembaga eksekutif dan legislatif sehingga mengakibatkan demokrasi cenderung tidak stabil.
Namun, benarkah penjajakan koalisi oleh partai-partai saat ini sunguh-sungguh didasarkan pada argumentasi tersebut? Sulit dimungkiri, penjajakan koalisi pasca pemilihan umum legislatif yang dilakukan PDIP dan partaipartai lain sesungguhnya sangat terkait erat dengan kepentingan politik jangka pendek partai-partai tersebut untuk memuluskan langkah menuju kursi kekuasaan, tidak lebih dari itu.
Secara teoritis, gagasan koalisi hanya relevan dalam konteks sistem pemerintahan parlementer, bukan sistem pemerintahan presidensial seperti dianut Indonesia. Koalisi diperlukan untuk menggalang dukungan dalam rangka membentuk pemerintahan oleh partai pemenang pemilu di satu sisi dan membangun blok oposisi bagi partai-partai yang tidak ikut serta dalam pemerintahan di sisi lain.
Dalam konteks sistem pemerintahan presidensial sebagaimana dianut Undang- Undang Dasar (UUD) 1945 pascaempat tahap amendemen, lembaga eksekutif dan legislatif merupakan dua lembaga tinggi terpisah yang tidak dapat saling menjatuhkan satu sama lain.
Kelangsungan hidup lembaga eksekutif tidak tergantung pada dukungan lembaga legislatif. Karena itu, klaim partaipartai selama ini bahwa koalisi merupakan usaha untuk memperkuat bangunan sistem presidensial tidak lebih dari sekadar ilusi politik belaka.
Alih-alih memperkuat sistem presidensial, keberadaan koalisi justru berpotensi melestarikan wajah buruk parlemen hari ini, di mana cenderung melembagakan perilaku parlementer ketimbang mengembangkan kultur sistem pemerintahan presidensial.
Jika memang benar concern utama dari partai-partai tersebut adalah mendorong efektivitas kinerja lembaga eksekutif dan memperkuat sistem presidensial di Indonesia, maka jalan yang harus dirintis adalah menginisiasi pembuatan regulasi ketatanegaraan yang dapat mendorong sistem presidensial agar lebih kompatibel dengan sistem multipartai di Indonesia.
Regulasi itu antara lain dapat berupa penerapan sistem distrik, memperkecil daerah pemilihan (dapil), menaikkan ambang batas parlemen (parliamentary threshold), dan pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilihan presiden.
Selain itu, hal negatif lain dari pembicaraan koalisi di tingkat elite saat ini adalah terlampau dominannya aroma pembagian kekuasaan "siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana" ketimbang mewujudkan penguatan sistem presidensial demi perbaikan nasib bangsa dan negara di masa mendatang.
Bahkan, boleh jadi, bukan sekadar persoalan "siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana," tetapi juga kalkulasi mobilisasi dana partai politik guna keperluan pemilu lima tahun mendatang. Sudah menjadi rahasia umum bila jabatan di kementerian sering menjadi pintu masuk aliran dana bagi partai politik tempat menteri bersangkutan bernaung.
BAWONO KUMORO
Peneliti Politik The Habibie Center
(nfl)