Pesan pencerahan Waisak bagi bangsa

Kamis, 15 Mei 2014 - 08:40 WIB
Pesan pencerahan Waisak...
Pesan pencerahan Waisak bagi bangsa
A A A
UMAT Buddha di seluruh dunia merayakan Hari Raya Waisak 2558 yang jatuh pada Kamis, 15 Mei 2014 dengan suka cita. OngkoDigdoyo, salah satu tokoh dari Buddhist Education Center Surabaya,
ketika mengantar penulis pulang dari sebuah acara keagamaan, mengungkapkan kerinduannya agar negeri kita yang majemuk ini kian dipenuhi dengan orang-orang yang mencintai perdamaian, menghargai kemajemukan serta dipenuhi belas kasih satu sama lain.

Ini tentu senada dengan pesan Dewan Kepausan di Vatikan tahun ini, yang mengajak setiap umat beragama (apa pun) di dunia terus merajut tali persaudaraan guna mengupayakan perdamaian dan kehidupan bersama yang saling menghargai di tengah semua perbedaan. Ungkapan kerinduan seperti itu tentu selalu relevan jika dikaitkan dengan pesan tantangan negara kita harihari ini.

Waisak selalu berisi ajakan pada umat Buddha dan segenap insan di dunia untuk senantiasa mengasah kembali kesadaran dan pengendalian diri dari perbuatan jahat. Pesan itu dilandasi konsep Dhamma bahwa pikiran menjadi lokomotif dari suatu tindakan.

Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran jahat, jelas penderitaan akan mengikutinya bagai roda pedati mengikuti derap kaki lembu yang menariknya. Demikian sebaliknya, jika seseorang berbicara dan berbuat dengan kesadaran pikiran, pasti kebahagiaan akan mengikutinya laksana bayang-bayang yang tidak pernah meninggalkan bendanya.

Maraknya kekerasan di sekitar kita, termasuk yang mengorbankan anak-anak dalam berbagai kasus pedofilia, bahkan sampai ada yang merenggut nyawa, jelas sangat mendegradasi martabat dan nilai-nilai kemanusiaan.

Kekerasan seperti itu jelas merupakan eksternalisasi dari pikiran jahat yang diselimuti kebencian. Kebencian itu menyusup secara perlahan ke dalam pikiran, ketika berahi politik, ekonomi, bahkan klaim untuk berebut kebenaran dalam beragama, sudah sedemikian kuat mencengkeram.

Jelang pilpres
Oleh karena itu, kita perlu menghapus kebencian dan selalu siap menaburkan belas kasih dalam kerangka mengembangkan toleransi, termasuk toleran terhadap segala pilihan politik yang berbeda. Kita berharap perbedaan pilihan politik dalam Pilpres 9 Juli 2014, tidak akan sampai mengoyak kebersamaan kita.

Kompetisi dalam pilpres, perlu tetap dilangsungkan dalam suasana damai dan toleran terhadap setiap perbedaan. Mohon tidak lagi berkampanye dengan menyudutkan agama atau ras tertentu. Empat pilar kehidupan berbangsa, yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika perlu terus dijadikan referensi.

Dengan begitu, perbedaan etnis, agama, suku bangsa, dan budaya akan kita lihat sebagai taman bunga yang beraneka warna. Mari terus kita pupuk cinta kasih yang luas kepada semua orang, melampaui segala perbedaan.

Pasalnya, cinta kasih yang universal akan meluaskan pikiran baik, menyingkap sekat pembatas dan menjadi kekuatan sejati dalam membina persaudaraan antar sesama. Seperti Sabda Sang Buddha: “Kebencian tidak akan pernah usai jika dibalas dengan kebencian, tapi kebencian akan berakhir dengan cinta kasih. Inilah hukum yang abadi” (Dhammapada 5). Mati kita bisa keluar dari tempurung ego.

Sebab jujur, selama ini hambatan primordial untuk mencintai sesama adalah egoisme. Kepentingan diri membuat orang memberi tanpa ketulusan. Kepentingan diri membuat kita melihat sesama manusia sebagai “yang lain”. Cinta kasih mustahil tumbuh dalam lingkungan keserbalainan. Acap kita melihat ironi.

Dengan dalih membela kebenaran, menegakkan keadilan, membangun demokrasi, menjaga HAM atau mencintai agama, justru ujung-ujungnya melahirkan kebencian dan tindak kekerasan baru. terhindarkan. Bumi ini jelas menangis ketika menyaksikan perilaku manusia diselimuti amuk kegelapan.

Bumi meronta menatap kaum jelata kelaparan di tengah pusaran perut penguasa yang kekenyangan. Bumi mengecam para elite yang tidak peduli pada nasib dan penderitaan kaum lemah. Bumi mengutuk para calon pemimpin yang pandai berkampanye mengumbar janji kesejahteraan, tapi giliran terpilih lupa daratan.

Bumi kerontang akibat ulah manusia yang mengeksploitasi alam tanpa henti. Momentum Waisak harus menjadi refleksi untuk saling mengintrospeksi diri. Tidak keliru, ajaran Buddha dijadikan referensi pembentukan sikap dan tingkah laku masyarakat agar menjadi lebih manusiawi.

Tindak agresi seperti membunuh sesama, sering kali menimbulkan dampak yang mengerikan. Bahkan kadang ada segelintir orang menyalahgunakan agama yang cinta damai, demi menyandera, merampok dan membunuh sehingga wajah kemanusiaan ternoda.

Mengapa? Biksu Sri Pannyavaro Mahathera, tokoh Buddha ternama negeri ini, pernah mengungkapkan, ada cukup banyak orang menganggap agama sama dengan Tuhan, padahal agama bukan Tuhan. Agama juga terlalu rendah jika dipakai sebagai kendaraan politik, apalagi jika untuk membenarkan segala bentuk kekerasan.

Momentum Waisak adalah kesempatan bagi umat Buddha untuk memperjuangkan nilai kemanusiaan daripada sekadar mempertahankan simbolisme agama yang kosong. Apalagi, dalam teologi Buddhis, agama hanyalah rakit. Orang beragama menggunakan rakit, tidak harus dimiliki, karena kalau seseorang melekat pada apapun, kemelekatan itu dalam kehidupan rohani akan merugikan.

Tiap rakit punya keunikan, kecepatan dan jenis yang berbeda. Meski demikian, tujuannya sama yakni ke pantai seberang. Oleh karena itu, ajaran Buddha menegaskan bahwa mengorbankan manusia demi kepentingan agama secara fundamental keliru dan sulit diterima akal sehat. Sebab agama bukan tujuan. Agama hanyalah jalan.

Riwayat Sang Buddha
Buddha Gautama asalnya adalah Pangeran Sidharta yang dinubuatkan apabila tidak menjadi raja diraja akan menjadi petapa. Sang ayah tidak menginginkan putra mahkotanya menjadi petapa. Karena itu, ia membesarkan Pangeran dengan segala kesenangan dan kemewahan, menjauhkan dari orang-orang yang mengalami kesusahan.

Pangeran dinikahkan dengan Putri Yasodhara yang memberinya seorang putra. Namun, tidak terelakkan, bagai terjaga dari mimpi, Pangeran menyaksikan bagaimana orang menderita, ditelan usia tua, sakit, dan mati. Pangeran bangun dari tidurnya. Di usia 29 tahun, Pangeran melupakan segala berbau duniawi.

Dia memilih menjadi rakyat jelata dan menjadi satu dengan yang menderita. Banyak guru ditemui, tetapi tidak satu pun mampu menunjukkan cara mengatasi penderitaan. Dia berpuasa menahan lapar hingga maut hampir merenggutnya. Lalu, timbul kesadaran untuk mengambil jalan tengah, menghindari dua bentuk ekstrem: mengumbar nafsu dan menyiksa diri.

Akhirnya, pada usia 35 tahun, Pangeran berhasil mencapai Penerangan Sempurna. Dia menjadi Buddha (mengalami pencerahan). Buddha tidak hanya mengajarkan spiritualitas personal, tetapi juga struktural. Dia mendirikan struktur monastik, yang dinamakan Sangha, yang membawa orang, individual, dan kelompok melatih diri mengatasi penderitaan.

Sangha adalah komunitas yang membongkar struktur sosial yang timpang, diskriminatif dan menindas. Atas dasar kasih sayang, Sangha bertugas melayani dan membahagiakan masyarakat banyak.

Kita berharap, Pilpres 9 Juli akan melahirkan pemimpin yang sungguh ingin melayani dan membahagiakan rakyat, bukan melayani ego dan kelompoknya. Semoga Waisak tahun ini sungguh membawa pencerahan pada kita untuk hidup lebih baik dan mengupayakan terwujudnya “bonum commune “ (kesejahteraan bersama), yang menjadi tujuan utama politik. Bukan sejahtera sendiri di atas penderitaan banyak orang. Selamat Waisak 2558.

TOM SAPTAATMAJA
Teolog dan Aktivis Lintas Agama
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.2728 seconds (0.1#10.140)