Salah kaprah: Mengusik akal sehat kita?
A
A
A
AKAL sehat adalah terjemahan kontekstual dari common sense. Harfiahnya menunjuk pada arti pemahaman biasa yang dibuat oleh akal sehat orang kebanyakan tanpa banyak-banyak berpikir rumit-rumit atau berenung-renung sulit.
Semisal tanda alam langit berawan, akal sehat biasa ”menyimpulkan” akan hujan sebentar lagi. Apalagi bila angin dingin berair sudah bertiup dan kencang angin mulai memberat, common sense orang akan mengatakan sebentar lagi hujan. Geertz menaruh akal sehat ini sebagai tingkatan pemahaman sederhana sebelum diangkat ke refleksi logis sistematis terukur dan terverifikasi dalam ilmu pengetahuan. Tulisan ini cukup mengartikan akal sehat sebagai pemahaman biasa sederhana budi.
Akal sehat mulai diusik manakala pemahaman biasa akal budi diganggu oleh ketidaksesuaian antara logika (jalan pikiran) maknanya dan konsensus bersama proses memahami sebagai ”benar” logis yang ada. Akal sehat akan diganggu tatkala hukum logis nalar sebab-akibat dicederai lantaran keduanya tidak sekuensial atau tak bersambung. Lebih diusik lagi akal sehat biasa apabila proses diskursus (baca: berwacana) tiba-tiba disalahkaprahkan karena proses itu seharusnya dibuat sebelumnya (prafakta/praperistiwa), tetapi dilakukan post factum (sesudah peristiwa atau fakta).
Contoh fenomena salah kaprah yang mengusik akal sehat saat ini adalah wacana makna atau proses ”koalisi". Koalisi seharusnya dalam bingkai diskursus demokratis dibuat oleh partai-partai politik sebelum pemilu untuk tujuan berdialog mendapatkan kesamaan visi dan tujuan yang diemban demi kesejahteraan rakyat dari partai-partai lalu dirundingkan demi efektifnya pemerintahan untuk multipartai dalam parlemen agar pemerintah yang terbentuk bisa kuat dan efektif demi mencapai tujuan bernegara yaitu suara rakyat yang ingin keadilan, kesejahteraan, kedamaian, dan bisa cari nafkah yang cukup.
Jadi tidak untuk kuat pemerintahan demi dirinya sendiri atau demi kuasa dan pencapaian ambisi politik partainya apalagi demi bagi-bagi lahan kursi untuk berkuasanya partai yang tidak menaruh suara rakyat yang memilihnya untuk diwujudkan dalam tata masyarakat adil sejahtera. Salah kaprah wacana dan tindakan berkoalisi pasca-pemilu legislatif itulah yang dipersepsi dalam pemahaman salah sebagai bagi-bagi kuasa dan terus digulirkan tanpa menoleh sedikit pun dan sebentar pun pada pertanyaan mendasar tujuan pemilu oleh rakyat yang memilih.
Karena salah kaprah ”palsu” dan tidak otentiklah arti koalisi yang sebenar-benarnya hanya berupa runding-runding cari kepentingan dan keuntungan politis demi keuntungannya partai politik. Karena itu, yang benar saat ini adalah temu untuk kerja sama! Karena salah kaprahnya makna koalisi, lihatlah, muncul dualisme wacana antara yang terbuka disantunkan sebagai pendekatan silaturahmi dan ”yang tertutup” berisi perundingan siapa calon wapres dan capres nanti.
Lihatlah pula struktur pertemuan yang muncul keluar penandapenanda dualisme ambiguitas ini: pertemuan tertutup lalu disusul konferensi pers terbuka yang untuk akal sehat biasa tetap misterius terselubung isi sebenarnya. Sedang untuk akal budi yang kritis akan menggugat tanya: apa beda upacara temu kangen biasa dan silaturahmi tutup terselubung ”koalisi”?
Akal sehat kita kembali diusik oleh fenomena tidak logis dalam penentuan kebijakan penghematan BBM, namun diizinkan terus diproduksinya mobil murah. Ketika devisa hemat BBM jebol, lalu debat tidak setujunya mereka yang tahu ada keanehan logika mengatasi macet lalu lintas, namun mobil ditambahi terus tetap tidak ”berani diangkat”. Yang diambil solusinya lebih mengusik akal sehat lagi karena yang akan diganti adalah ukuran corong pipa bahan minyak dipompa-pompa bensin antara yang BBM subsidi dan yang tidak.
Akal sehat teraniaya lalu bertanya kritis tajam: bukankah manusianya yang menentukan kebijakan dan bukan ”saluran pipa bensin”. Tidakkah bila orangnya tidak mengelupas budinya yang salah kaprah antara mana sarana dan mana tujuan; mana esensi dan mana yang substansial, di sini terjadi pelecehan akal sehat kita semua.
Mengapa? Karena kita dianggap tidak bisa berpikir sehat dengan common sense sehat bahwa kebijakan yang sudah diikat kepentingan kalkulasi untung rugi uang dan kepentingan bukan sejahteranya orang banyak, di sanalah logika uang dan hasrat cari untung dan memenangkan bisnis modal besar akan ”membuat rabun” akal sehat manusia.
Jalan pikiran akal sehat berdasar pada logika sebabakibat. Ada asap pasti ada api. Ada buah baik tentu dari pohon yang baik. Ada akibat pecah belah kerukunan atau saling memaki halus atau melalui selubung santun puitis pastilah berasal dari sebab yang antisaling hormat dan antisaling menghargai. Inilah fenomena berikutnya yang mengusik akal sehat karena merasa baik, benar, dan berjuang untuk bangsa, namun hasil ucapan, laku tindakannya ”memecah belah” entah dengan memecah organisasinya atau menerjang anggaran dasar aturan kesepakatan.
Akal sehat akan melanjutkan renung prediktif ke depan: belum menjadi pemimpin besar bangsa majemuk kok sudah main otoritas alias otoriter. Mestinya akan jadi pemimpin pemersatu keragaman kok laku tindakannya membuat resah dan pecah. Logika akal sehat akan menggugat: bisakah buah yang buruk berasal dari pohon baik?
Dalam pokok ini akal sehat biasa akan dilukai dan dicederai manakala politik yang mestinya usaha perjuangan untuk Indonesia lebih baik, lebih sejahtera, lebih adil dan hormati kemajemukan suku, religi penyusun satunya Indonesia akan ”merintih luka” bila soal agama, beda ras, dan suku mulai dipakai untuk pemilu calon presiden. Jadi bisa ditarik garis kesimpulan untuk mengukur kerja-kerja akal sehat kita yaitu lihatlah buah-buah ucapan ”serang politik pada lawan!”.
Dari sanalah bisa diukur calon pemimpin sejati kita apakah ia ambisi untuk kekuasaan dengan segala cara dihalalkan mencapai kursi nomor satu atau kursi-kursi lain ataukah ia menaruh telinga, hati dan nuraninya di jantung sejati rakyat banyak dengan tulus kerja nyata dan bukan pidato citra.
Rakyat banyak sudah amat cerdas membaca dan memahami dengan hati tulusnya, mana yang integritasnya jujur dan mana yang kelam mendung tanggung jawabnya dalam menyikapi korban dan anak bangsa yang menanti perubahan perbaikan nasib hidupnya.
Padahal tanah airnya yang kaya mineral dan limpah kesuburan, tetapi selamanya mereka menjadi buruh di tanah yang bukan miliknya sendiri. Apalagi di air lautan yang sudah dikapling-kapling pemilikannya bukan oleh bangsa bahari Nusantara.
MUDJI SUTRISNO SJ
Guru Besar STF Driyarkara
Dosen Pascasarjana Universitas Indonesia
Budayawan
Semisal tanda alam langit berawan, akal sehat biasa ”menyimpulkan” akan hujan sebentar lagi. Apalagi bila angin dingin berair sudah bertiup dan kencang angin mulai memberat, common sense orang akan mengatakan sebentar lagi hujan. Geertz menaruh akal sehat ini sebagai tingkatan pemahaman sederhana sebelum diangkat ke refleksi logis sistematis terukur dan terverifikasi dalam ilmu pengetahuan. Tulisan ini cukup mengartikan akal sehat sebagai pemahaman biasa sederhana budi.
Akal sehat mulai diusik manakala pemahaman biasa akal budi diganggu oleh ketidaksesuaian antara logika (jalan pikiran) maknanya dan konsensus bersama proses memahami sebagai ”benar” logis yang ada. Akal sehat akan diganggu tatkala hukum logis nalar sebab-akibat dicederai lantaran keduanya tidak sekuensial atau tak bersambung. Lebih diusik lagi akal sehat biasa apabila proses diskursus (baca: berwacana) tiba-tiba disalahkaprahkan karena proses itu seharusnya dibuat sebelumnya (prafakta/praperistiwa), tetapi dilakukan post factum (sesudah peristiwa atau fakta).
Contoh fenomena salah kaprah yang mengusik akal sehat saat ini adalah wacana makna atau proses ”koalisi". Koalisi seharusnya dalam bingkai diskursus demokratis dibuat oleh partai-partai politik sebelum pemilu untuk tujuan berdialog mendapatkan kesamaan visi dan tujuan yang diemban demi kesejahteraan rakyat dari partai-partai lalu dirundingkan demi efektifnya pemerintahan untuk multipartai dalam parlemen agar pemerintah yang terbentuk bisa kuat dan efektif demi mencapai tujuan bernegara yaitu suara rakyat yang ingin keadilan, kesejahteraan, kedamaian, dan bisa cari nafkah yang cukup.
Jadi tidak untuk kuat pemerintahan demi dirinya sendiri atau demi kuasa dan pencapaian ambisi politik partainya apalagi demi bagi-bagi lahan kursi untuk berkuasanya partai yang tidak menaruh suara rakyat yang memilihnya untuk diwujudkan dalam tata masyarakat adil sejahtera. Salah kaprah wacana dan tindakan berkoalisi pasca-pemilu legislatif itulah yang dipersepsi dalam pemahaman salah sebagai bagi-bagi kuasa dan terus digulirkan tanpa menoleh sedikit pun dan sebentar pun pada pertanyaan mendasar tujuan pemilu oleh rakyat yang memilih.
Karena salah kaprah ”palsu” dan tidak otentiklah arti koalisi yang sebenar-benarnya hanya berupa runding-runding cari kepentingan dan keuntungan politis demi keuntungannya partai politik. Karena itu, yang benar saat ini adalah temu untuk kerja sama! Karena salah kaprahnya makna koalisi, lihatlah, muncul dualisme wacana antara yang terbuka disantunkan sebagai pendekatan silaturahmi dan ”yang tertutup” berisi perundingan siapa calon wapres dan capres nanti.
Lihatlah pula struktur pertemuan yang muncul keluar penandapenanda dualisme ambiguitas ini: pertemuan tertutup lalu disusul konferensi pers terbuka yang untuk akal sehat biasa tetap misterius terselubung isi sebenarnya. Sedang untuk akal budi yang kritis akan menggugat tanya: apa beda upacara temu kangen biasa dan silaturahmi tutup terselubung ”koalisi”?
Akal sehat kita kembali diusik oleh fenomena tidak logis dalam penentuan kebijakan penghematan BBM, namun diizinkan terus diproduksinya mobil murah. Ketika devisa hemat BBM jebol, lalu debat tidak setujunya mereka yang tahu ada keanehan logika mengatasi macet lalu lintas, namun mobil ditambahi terus tetap tidak ”berani diangkat”. Yang diambil solusinya lebih mengusik akal sehat lagi karena yang akan diganti adalah ukuran corong pipa bahan minyak dipompa-pompa bensin antara yang BBM subsidi dan yang tidak.
Akal sehat teraniaya lalu bertanya kritis tajam: bukankah manusianya yang menentukan kebijakan dan bukan ”saluran pipa bensin”. Tidakkah bila orangnya tidak mengelupas budinya yang salah kaprah antara mana sarana dan mana tujuan; mana esensi dan mana yang substansial, di sini terjadi pelecehan akal sehat kita semua.
Mengapa? Karena kita dianggap tidak bisa berpikir sehat dengan common sense sehat bahwa kebijakan yang sudah diikat kepentingan kalkulasi untung rugi uang dan kepentingan bukan sejahteranya orang banyak, di sanalah logika uang dan hasrat cari untung dan memenangkan bisnis modal besar akan ”membuat rabun” akal sehat manusia.
Jalan pikiran akal sehat berdasar pada logika sebabakibat. Ada asap pasti ada api. Ada buah baik tentu dari pohon yang baik. Ada akibat pecah belah kerukunan atau saling memaki halus atau melalui selubung santun puitis pastilah berasal dari sebab yang antisaling hormat dan antisaling menghargai. Inilah fenomena berikutnya yang mengusik akal sehat karena merasa baik, benar, dan berjuang untuk bangsa, namun hasil ucapan, laku tindakannya ”memecah belah” entah dengan memecah organisasinya atau menerjang anggaran dasar aturan kesepakatan.
Akal sehat akan melanjutkan renung prediktif ke depan: belum menjadi pemimpin besar bangsa majemuk kok sudah main otoritas alias otoriter. Mestinya akan jadi pemimpin pemersatu keragaman kok laku tindakannya membuat resah dan pecah. Logika akal sehat akan menggugat: bisakah buah yang buruk berasal dari pohon baik?
Dalam pokok ini akal sehat biasa akan dilukai dan dicederai manakala politik yang mestinya usaha perjuangan untuk Indonesia lebih baik, lebih sejahtera, lebih adil dan hormati kemajemukan suku, religi penyusun satunya Indonesia akan ”merintih luka” bila soal agama, beda ras, dan suku mulai dipakai untuk pemilu calon presiden. Jadi bisa ditarik garis kesimpulan untuk mengukur kerja-kerja akal sehat kita yaitu lihatlah buah-buah ucapan ”serang politik pada lawan!”.
Dari sanalah bisa diukur calon pemimpin sejati kita apakah ia ambisi untuk kekuasaan dengan segala cara dihalalkan mencapai kursi nomor satu atau kursi-kursi lain ataukah ia menaruh telinga, hati dan nuraninya di jantung sejati rakyat banyak dengan tulus kerja nyata dan bukan pidato citra.
Rakyat banyak sudah amat cerdas membaca dan memahami dengan hati tulusnya, mana yang integritasnya jujur dan mana yang kelam mendung tanggung jawabnya dalam menyikapi korban dan anak bangsa yang menanti perubahan perbaikan nasib hidupnya.
Padahal tanah airnya yang kaya mineral dan limpah kesuburan, tetapi selamanya mereka menjadi buruh di tanah yang bukan miliknya sendiri. Apalagi di air lautan yang sudah dikapling-kapling pemilikannya bukan oleh bangsa bahari Nusantara.
MUDJI SUTRISNO SJ
Guru Besar STF Driyarkara
Dosen Pascasarjana Universitas Indonesia
Budayawan
(hyk)