Kasus HP dalam pajak BCA
A
A
A
GEBRAKAN KPK di masa iklim politik yang memanas akhir-akhir ini adalah penetapan HP, mantan Dirjen Pajak 2002-2004 dan mantan Kepala BPK RI. HP telah menjadi berita nasional.
Pertanyaan tentu menyeruak, yaitu bagaimana KPK dapat menetapkan suatu kasus pajak menjadi kasus korupsi sehingga merupakan kewenangan KPK untuk menjalankan tugas dan wewenangnya berdasarkan UU KPK dan UU Tipikor Tahun 1999 yang diubah pada UU Tipikor Tahun 2001?
Hal yang sangat menarik perhatian kita, dengan gebrakan KPK ini justru terkait kewajiban pajak dari bank BCA yang dikenal sebagai bank take over (BTO) yang telah memperoleh bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebagai akibat dampak krisis perbankan pada 1998.
Menarik perhatian dan patut diteliti kemungkinan telah terjadi tax evasion atau bahkan tax fraud di dalam permohonan keberatan pajak terutang dari BCA. Perlu kita bersama mendudukkan perkara pajak HP sesuai dengan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Tahun 1983 yang telah diubah ketiga kalinya pada tahun 2009 (UU KUP). Karena keputusan Dirjen Pajak, HP, yang dipersoalkan KPK adalah masih dalam ranah hukum pajak yang merupakan hukum (pidana) administratif; bukan ranah Undang-Undang Tipikor 1999/2001.
Pengalihan perkara hukum pidana administratif ke hukum pidana khusus cq UU Tipikor tersebut secara doktrin dan secara normatif hampir mustahil oleh karena terganjal ketentuan Pasal 14 UU Tipikor/1999 yang berbunyi: ”Jika pelanggaran terhadap undang-undang lain disebutkan secara tegas sebagai tindak pidana korupsi, maka yang berlaku ketentuan sanksi dalam undang-undang ini.”
Atau secara a contrario, dapat dikatakan bahwa, ”Jika di dalam undang-undang lain, selain Undang-Undang Tipikor tidak ditegaskan bahwa pelanggaran terhadap undang-undang lain itu sebagai tindak pidana korupsi, maka yang berlaku ketentuan undang-undang lain itu.”
Ketentuan tersebut merupakan rujukan bagi penegak hukum, bahwa ketentuan UU Tipikor tidak boleh digunakan layaknya ”pukat harimau”. Sehingga sejatinya pelanggaran-pelanggaran yang bersifat administratif serta-merta merupakan tindak pidana korupsi, asalkan ada kerugian negara di dalamnya. Lagipula, keputusan Dirjen Pajak ketika itu, HP, jelas merupakan kewenangan yang diberikan oleh UU KUP. Ketentuan Pasal 25 ayat (1) UU KUP yang berbunyi.
”Wajib pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak,”; Pasal 26 ayat (1) UU KUP berbunyi, ”Direktur Jenderal Pajak dalam waktu 12 (duabelas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima harus memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan.”
Sehingga menjadi absurd dan terlalu dini untuk menyatakan bahwa, keputusan Dirjen Pajak, dalam hal ini HP, menerima keberatan pajak yang diajukan BCA (korporasi) merupakan penyalahgunaan wewenang yang ditengarai merugikan keuangan negara sebesar Rp 375 miliar.
Bahkan juga terlalu dini untuk menetapkan HP dalam kedudukan dan jabatan sebagai dirjen pajak ketika itu selaku tersangka. Hal ini disebabkan untuk penetapan sebagai tersangka dalam konteks UU KUP merupakan kewenangan penyidik PNS pajak atau penyidik kepolisian sesuai dengan KUHAP dan UU KUP.
Uraian normatif ini terlepas dari fakta bahwa HP selaku pegawai tinggi di Kemenkeu memiliki harta kekayaan yang sangat signifikan, bahkan jauh melebihi penghasilannya yang sah selaku dirjen pajak.
Karena fakta tersebut harus disertai bukti yang cukup untuk dapat dijadikan petunjuk atau alat bukti lainnya sehingga diperoleh dua alat bukti permulaan yang cukup untuk menetapkannya sebagai tersangka. Ketua KPK beralasan, penetapan HP si mantan Dirjen Pajak selaku tersangka dengan alasan fakta terdapat keganjilan-keganjilan dalam proses pengambilan keputusan oleh HP terhadap permohonan keberatan BCA.
Menurut pendapat saya, alasan-alasan tersebut baru merupakan kecurigaan semata- mata atau dugaan belaka tentang ”ada udang di balik batu” dalam keputusan (mantan) Dirjen Pajak, HP, ketika itu, untuk menerima keberatan pajak BCA. Namun dugaan itu pun harus didukung bukti materiil yang kuat di hadapan pemeriksaan sidang pengadilan.
Dalam konteks UU Tipikor 1999/2001, pernyataan Ketua KPK yang merujuk pada Pasal 3 atau Pasal 2 UU Tipikor merupakan terobosan hukum baru, di luar ketentuan UU KUP 1983/2007 yang hanya memberikan celah hukum pemberlakuan UU Tipikor tersebut pada perbuatan pemerasan semata- mata, eks Pasal 12 UU Tipikor sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 36 A ayat (4) UU KUP. Pimpinan KPK dan penyidik dalam perkara HP memang harus bekerja keras.
Pertama, untuk membuktikan telah terjadi penyalahgunaan wewenang karena kedudukan atau jabatan sebagai dirjen pajak, yang dilakukan dengan sengaja dan dengan maksud memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi; sehingga negara dirugikan karenanya (Pasal 3). Atau harus membuktikan bahwa telah terjadi perbuatan melawan hukum yang telah menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi sehingga negara dirugikan karenanya (Pasal 2).
Namun, menjadi pertanyaan normatif, apakah setiap kerugian negara yang terjadi karena keputusan pegawai pajak serta-merta dapat digolongkan sebagai tindak pidana korupsi? Selain terkait ketentuan Pasal 36A UU KUP khusus ditujukan pada Pasal 12 UU Tipikor (pemerasan dalam jabatan), juga terkait ketentuan UU Nomor 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara khususnya Bab XI (Penyelesaian Kerugian Keuangan Negara).
Aturan tersebut intinya menegaskan bahwa perbuatan baik yang disengaja maupun karena kelalaian oleh pejabat publik dan negara mengalami kerugian, maka penyelesaiannya adalah cukup jika pejabat negara itu mengembalikan kerugian keuangan negara tersebut kecuali jika ada temuan/ bukti oleh BPK bahwa ada unsur pidana di dalamnya.
Ketentuan Bab XI UU Nomor 1/2004 hakikatnya menegaskan bahwa perbuatan tersebut termasuk pelanggaran administratif sehingga cukup dengan sanksi administratif; tidak harus serta-merta merupakan pelanggaran pidana dan sanksi pidana.
Mungkin bagi pimpinan KPK yang dipersoalkan adalah fakta atau LHKPN HP selaku mantan dirjen pajak dan dari hasil penyelidikan KPK telah menimbulkan dugaan bahwa ada harta kekayaan yang bersangkutan yang dinilai sangat signifikan dibandingkan dengan penghasilan yang bersangkutan yang sah selaku pegawai /dirjen pajak.
Begitu pula, pimpinan KPK ada kemungkinan hendak menggunakan perkara pajak BCA dalam kaitan tersangka HP sebagai pintu masuk masalah kronis kasus BLBI terkait BCA sebagai BTO yang ditengarai tidak ”clear and clean” dalam proses pengambilalihan aset BCA oleh BPPN.
Inti dari sikap KPK dalam menghadapi perkara keputusan Dirjen Pajak HP adalah apakah keputusan mantan Dirjen Pajak HP telah benar-benar ”clear and clean” karena dua unsur ini sangat penting untuk mengetahui motif (niat) dari dikeluarkannya keputusan dirjen pajak menerima permohonan keberatan pajak dari BCA.
ROMLI ATMASASMITA
Profesor Emeritus Universitas Padjadjaran (Unpad)
Pertanyaan tentu menyeruak, yaitu bagaimana KPK dapat menetapkan suatu kasus pajak menjadi kasus korupsi sehingga merupakan kewenangan KPK untuk menjalankan tugas dan wewenangnya berdasarkan UU KPK dan UU Tipikor Tahun 1999 yang diubah pada UU Tipikor Tahun 2001?
Hal yang sangat menarik perhatian kita, dengan gebrakan KPK ini justru terkait kewajiban pajak dari bank BCA yang dikenal sebagai bank take over (BTO) yang telah memperoleh bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebagai akibat dampak krisis perbankan pada 1998.
Menarik perhatian dan patut diteliti kemungkinan telah terjadi tax evasion atau bahkan tax fraud di dalam permohonan keberatan pajak terutang dari BCA. Perlu kita bersama mendudukkan perkara pajak HP sesuai dengan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Tahun 1983 yang telah diubah ketiga kalinya pada tahun 2009 (UU KUP). Karena keputusan Dirjen Pajak, HP, yang dipersoalkan KPK adalah masih dalam ranah hukum pajak yang merupakan hukum (pidana) administratif; bukan ranah Undang-Undang Tipikor 1999/2001.
Pengalihan perkara hukum pidana administratif ke hukum pidana khusus cq UU Tipikor tersebut secara doktrin dan secara normatif hampir mustahil oleh karena terganjal ketentuan Pasal 14 UU Tipikor/1999 yang berbunyi: ”Jika pelanggaran terhadap undang-undang lain disebutkan secara tegas sebagai tindak pidana korupsi, maka yang berlaku ketentuan sanksi dalam undang-undang ini.”
Atau secara a contrario, dapat dikatakan bahwa, ”Jika di dalam undang-undang lain, selain Undang-Undang Tipikor tidak ditegaskan bahwa pelanggaran terhadap undang-undang lain itu sebagai tindak pidana korupsi, maka yang berlaku ketentuan undang-undang lain itu.”
Ketentuan tersebut merupakan rujukan bagi penegak hukum, bahwa ketentuan UU Tipikor tidak boleh digunakan layaknya ”pukat harimau”. Sehingga sejatinya pelanggaran-pelanggaran yang bersifat administratif serta-merta merupakan tindak pidana korupsi, asalkan ada kerugian negara di dalamnya. Lagipula, keputusan Dirjen Pajak ketika itu, HP, jelas merupakan kewenangan yang diberikan oleh UU KUP. Ketentuan Pasal 25 ayat (1) UU KUP yang berbunyi.
”Wajib pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak,”; Pasal 26 ayat (1) UU KUP berbunyi, ”Direktur Jenderal Pajak dalam waktu 12 (duabelas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima harus memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan.”
Sehingga menjadi absurd dan terlalu dini untuk menyatakan bahwa, keputusan Dirjen Pajak, dalam hal ini HP, menerima keberatan pajak yang diajukan BCA (korporasi) merupakan penyalahgunaan wewenang yang ditengarai merugikan keuangan negara sebesar Rp 375 miliar.
Bahkan juga terlalu dini untuk menetapkan HP dalam kedudukan dan jabatan sebagai dirjen pajak ketika itu selaku tersangka. Hal ini disebabkan untuk penetapan sebagai tersangka dalam konteks UU KUP merupakan kewenangan penyidik PNS pajak atau penyidik kepolisian sesuai dengan KUHAP dan UU KUP.
Uraian normatif ini terlepas dari fakta bahwa HP selaku pegawai tinggi di Kemenkeu memiliki harta kekayaan yang sangat signifikan, bahkan jauh melebihi penghasilannya yang sah selaku dirjen pajak.
Karena fakta tersebut harus disertai bukti yang cukup untuk dapat dijadikan petunjuk atau alat bukti lainnya sehingga diperoleh dua alat bukti permulaan yang cukup untuk menetapkannya sebagai tersangka. Ketua KPK beralasan, penetapan HP si mantan Dirjen Pajak selaku tersangka dengan alasan fakta terdapat keganjilan-keganjilan dalam proses pengambilan keputusan oleh HP terhadap permohonan keberatan BCA.
Menurut pendapat saya, alasan-alasan tersebut baru merupakan kecurigaan semata- mata atau dugaan belaka tentang ”ada udang di balik batu” dalam keputusan (mantan) Dirjen Pajak, HP, ketika itu, untuk menerima keberatan pajak BCA. Namun dugaan itu pun harus didukung bukti materiil yang kuat di hadapan pemeriksaan sidang pengadilan.
Dalam konteks UU Tipikor 1999/2001, pernyataan Ketua KPK yang merujuk pada Pasal 3 atau Pasal 2 UU Tipikor merupakan terobosan hukum baru, di luar ketentuan UU KUP 1983/2007 yang hanya memberikan celah hukum pemberlakuan UU Tipikor tersebut pada perbuatan pemerasan semata- mata, eks Pasal 12 UU Tipikor sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 36 A ayat (4) UU KUP. Pimpinan KPK dan penyidik dalam perkara HP memang harus bekerja keras.
Pertama, untuk membuktikan telah terjadi penyalahgunaan wewenang karena kedudukan atau jabatan sebagai dirjen pajak, yang dilakukan dengan sengaja dan dengan maksud memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi; sehingga negara dirugikan karenanya (Pasal 3). Atau harus membuktikan bahwa telah terjadi perbuatan melawan hukum yang telah menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi sehingga negara dirugikan karenanya (Pasal 2).
Namun, menjadi pertanyaan normatif, apakah setiap kerugian negara yang terjadi karena keputusan pegawai pajak serta-merta dapat digolongkan sebagai tindak pidana korupsi? Selain terkait ketentuan Pasal 36A UU KUP khusus ditujukan pada Pasal 12 UU Tipikor (pemerasan dalam jabatan), juga terkait ketentuan UU Nomor 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara khususnya Bab XI (Penyelesaian Kerugian Keuangan Negara).
Aturan tersebut intinya menegaskan bahwa perbuatan baik yang disengaja maupun karena kelalaian oleh pejabat publik dan negara mengalami kerugian, maka penyelesaiannya adalah cukup jika pejabat negara itu mengembalikan kerugian keuangan negara tersebut kecuali jika ada temuan/ bukti oleh BPK bahwa ada unsur pidana di dalamnya.
Ketentuan Bab XI UU Nomor 1/2004 hakikatnya menegaskan bahwa perbuatan tersebut termasuk pelanggaran administratif sehingga cukup dengan sanksi administratif; tidak harus serta-merta merupakan pelanggaran pidana dan sanksi pidana.
Mungkin bagi pimpinan KPK yang dipersoalkan adalah fakta atau LHKPN HP selaku mantan dirjen pajak dan dari hasil penyelidikan KPK telah menimbulkan dugaan bahwa ada harta kekayaan yang bersangkutan yang dinilai sangat signifikan dibandingkan dengan penghasilan yang bersangkutan yang sah selaku pegawai /dirjen pajak.
Begitu pula, pimpinan KPK ada kemungkinan hendak menggunakan perkara pajak BCA dalam kaitan tersangka HP sebagai pintu masuk masalah kronis kasus BLBI terkait BCA sebagai BTO yang ditengarai tidak ”clear and clean” dalam proses pengambilalihan aset BCA oleh BPPN.
Inti dari sikap KPK dalam menghadapi perkara keputusan Dirjen Pajak HP adalah apakah keputusan mantan Dirjen Pajak HP telah benar-benar ”clear and clean” karena dua unsur ini sangat penting untuk mengetahui motif (niat) dari dikeluarkannya keputusan dirjen pajak menerima permohonan keberatan pajak dari BCA.
ROMLI ATMASASMITA
Profesor Emeritus Universitas Padjadjaran (Unpad)
(nfl)