Menumbuhkan kewirausahaan
A
A
A
JIKA kita simak belakangan, ada kecenderungan sulitnya mengurangi anak muda yang berpendidikan menengah yang menganggur di Indonesia. Total angka pengangguran terbuka bisa ditekan dari sekitar 10,1% tahun 2007 menjadi 6,2% tahun 2012.
Namun, angka pengangguran usia muda 15–19 tahun masih pada rentang tinggi, yakni 30,1% pada 2007sedikit menurun menjadi 26,5%. Angka pengangguran pendidikan tinggi (sarjana dan diploma) dari 13,3% pada 2007 bisa ditekan menjadi 6,2%.
Tersisa persoalan, angka pengangguran yang cukup serius dihadapi adalah pada kalangan berpendidikan menengah (umum dan vokasional). Di mana angkanya masih pada kisaran 10,0%, dan jumlahnya berkisar 6 juta orang. Banyak diskusi yang menjelaskan kenapa sampai terjadi pengangguran anak muda dan berpendidikan menengah.
Ada kelompok yang percaya bahwa terjadinya selektivitas permintaan tenaga kerja. Pada negara di mana tersedia upah murah, maka permintaan tenaga kerja berketerampilan rendah akan mengisi pasar kerja. Terjadinya proses tekan menekan ”depressing effect” di pasar kerja. Mereka yang menamatkan pendidikan sarjana mau masuk ke pekerjaan yang ditawarkan pada jenjang pendidikan menengah. Pekerjaan untuk mereka yang tidak terdidik masih dimasuki oleh pekerja yang berpendidikan menengah.
Karena penawaran angkatan kerja semi terdidik cukup besar, sebagian di antaranya mereka tidak terserap pada pasar kerja formal. Tenaga kerja tidak terdidik tidak punya pilihan lain. Selain harga bayangan upah ‘shadow market wage’ yang mereka terima memang relatif rendah, tidak ada pilihan-pilihan pekerjaan dilakukan oleh mereka yang tidak terdidik. Kondisi internal memaksa kelompok ini wajib bekerja, walaupun juga ada kecenderungan mereka bekerja di atas jam kerja normal, dan memiliki lebih dari satu jenis pekerjaan serabutan.
Sebaliknya karena mereka yang terdidik merasa memiliki nilai waktu lebih mahal, maka mereka sebagian menunda untuk dapat pekerjaan yang nilainya sama atau lebih tinggi dari pasar kerja. Pada masa itu mereka rela untuk berstatus sebagai pencari kerja.
Untuk kondisi eksternal, semakin baik mutu keadaan ekonomi makro, disertai proyek-proyek yang berasal dari kebijakan fiskal, maka makin besar juga permintaan tenaga kerja yang berpendidikan tinggi. Di sisi lain masih ada peluang untuk meningkatkan ketersediaan dari stok tenaga kerja, berupa peningkatan keterampilan kerja.
Mengingat mereka yang menyelesaikan pendidikan menengah dan tinggi memang kurang memiliki keterampilan. Dengan terbatasnya produk pendidikan yang belum menyiapkan tenaga kerja muda berketerampilan, pembenahan dari sisi ”supply” ini sebenarnya merupakan salah satu obat yang mungkin dapat meringankan tekanan pasar kerja yang ada pada saat sekarang.
Kewirausahaan
Jika kita ikuti kampanye yang telah berlalu, masih sangat minim perhatian para partai politik untuk menyikapi keadaan dari pasar kerja Indonesia. Ada beberapa partai yang mengusung ini semangat kewirausahaan walau sangat minim, dan masih umum sifatnya. Apa hal yang baru yang mesti kita buat sehingga daya ungkit dari program itu dapat memecahkan masalah tenaga kerja?
Ketika menjelang tahun 2009, muncul inisiatif untuk meningkatkan proporsi dari tenaga kerja yang mau berfungsi sebagai wirausahawan, dengan terminologi yang diajukan oleh Joseph A. Schumpeter (2008 Capitalism, Socialism and Democracy, Harperperenial) dengan istilah enterpreunership.
Inti dari pandangan Schumpeter adalah bahwa mereka yang mau mengambil risiko dan berinovasi tampil melakukan perubahan untuk menghasilkan barang dan jasaadalahpekerjayangakhirnya bisa lebih mandiri.
Di dalam tubuh wirausaha, lebih kental kemandirian, dan bahkan sanggup merekrut orang lain untuk dipekerjakan dalam merealisasikan ide-idenya dalam bentuk yang lebih nyata. Dalam menyikapi demikian, gagasan yang lahir di perguruan tinggi lebih didorong pula oleh pengusaha-pengusaha sekelas Ir. Ciputra, yang aktif mengembangkan sekolah enterpreunership.
Sayang sekali gerakan-gerakan seperti itu redup-redup sampai, sangat gesit ketika isu itu diembuskan, kemudian hilang tidak bertuan setelah itu. Sehingga kita tidak melihat adanya tren yang lebih positif terhadap upaya melahirkan para wirausahawan.
Nilai-nilai risiko dan terbiasa bekerja keras dan fokus ternyata tidak terlalu kental masuk ke dalam proses pembelajaran di jenjang pendidikan menengah dan tinggi. Adalah PM Malaysia Tun Abdul Razak, baru-baru ini melaksanakan apa yang mereka istilahkan Program Wirausahawan Muda.
Program ini mirip dengan wirausahawan yang dikembangkan di Indonesia di akhir 2009 di universitasuniversitas. Di Malaysia, program serupa lebih ditujukan kepada mereka yang tidak lagi terikat dengan pendidikan formal, namun akan memasuki dunia kerja. Selain penyiapan pekerja mandiri, penyiapan modal kerja untuk ”start up bussiess”.
Malaysia menyadari bahwa semakin terbatasnya lapangan pekerjaan upahan yang ada, sehingga upaya untuk melahirkan wirausahawan yang tidak bergantung pada kerajaan menjadi pilihan alternatif. Sekalipun keberhasilannya belum dapat kita periksa, program pelatihan dan penyediaan modal kerja menjadi salah satu yang dominan dilakukan pada anggaran fiskal tahun 2014 ini.
Bagaimana sebaiknya?
Di Indonesia jika kita ingin mempercepat melahirkan wirausaha, maka langkah untuk memilih kedua jalur adalah sangat memungkinkan. Jalur pertama adalah dengan mencoba merancang kurikulum di sekolah formal yang dapat meningkatkan porsi dari penumbuhan jiwa wirausaha.
Dengan praktik-praktik secukupnya, sehingga melalui proses pendidikan dan praktek diharapkan setelah selesainya menjalani pendidikan, peserta didik menjadi tinggi keinginannya untuk memulai pekerjaan dengan inovasi-inovasi baru. Unsur menumbuhkan keterampilan dan soft skills wirausaha adalah menjadi prioritas tertentu yang dirumuskan oleh kurikulum sekolah.
Pada jalur kedua adalah dengan menawarkan program persiapan menjadi wirausaha bagi mereka masa transisi, atau mereka yang sudah mulai terlibat dalam pekerjaan, namun belum berhasil.
Selama ini, upaya untuk menerima pencari kerja dan menyalurkannya adalah salah satu upaya yang sedikit manfaatnya. Mengingat sedikit perusahaan yang benar-benar mencari tenaga kerja melalui media iklan. Pada proses di mana mereka yang sudah tidak lagi sekolah, model-model menumbuhkan kewirausahaan menjadi sangat relevan.
Anak-anak muda yang belum atau masih sedikit keterampilannya mesti diupayakan agar mereka dapat mudah untuk ikut magang kerja, pelatihan-pelatihan, termasuk diberi kesempatan untuk menumbuhkan bakat dan seni. Ruang bagi mereka perlu dibuka seluas luasnya melalui program pembentukan wirausaha muda.
Jika kita saksikan dan lihat mereka yang berhasil menjadi wirausaha, jelas dapat disimpulkan bahwa ketekunan, kerja keras, dan fokus adalah menjadi cara kerja yang membuat sebagian di antara wirausaha berhasil dan sukses pada usia yang masih muda. Ke arah itu sangat relevan dilakukan terobosan oleh siapa pun yang mau melihat bahwa tenaga kerja adalah masalah besar bangsa ke depan.
ELFINDRI
Profesor Ekonomi SDM dan Koordinator Program S-3 Ilmu Ekonomi Universitas Andalas, Padang
Namun, angka pengangguran usia muda 15–19 tahun masih pada rentang tinggi, yakni 30,1% pada 2007sedikit menurun menjadi 26,5%. Angka pengangguran pendidikan tinggi (sarjana dan diploma) dari 13,3% pada 2007 bisa ditekan menjadi 6,2%.
Tersisa persoalan, angka pengangguran yang cukup serius dihadapi adalah pada kalangan berpendidikan menengah (umum dan vokasional). Di mana angkanya masih pada kisaran 10,0%, dan jumlahnya berkisar 6 juta orang. Banyak diskusi yang menjelaskan kenapa sampai terjadi pengangguran anak muda dan berpendidikan menengah.
Ada kelompok yang percaya bahwa terjadinya selektivitas permintaan tenaga kerja. Pada negara di mana tersedia upah murah, maka permintaan tenaga kerja berketerampilan rendah akan mengisi pasar kerja. Terjadinya proses tekan menekan ”depressing effect” di pasar kerja. Mereka yang menamatkan pendidikan sarjana mau masuk ke pekerjaan yang ditawarkan pada jenjang pendidikan menengah. Pekerjaan untuk mereka yang tidak terdidik masih dimasuki oleh pekerja yang berpendidikan menengah.
Karena penawaran angkatan kerja semi terdidik cukup besar, sebagian di antaranya mereka tidak terserap pada pasar kerja formal. Tenaga kerja tidak terdidik tidak punya pilihan lain. Selain harga bayangan upah ‘shadow market wage’ yang mereka terima memang relatif rendah, tidak ada pilihan-pilihan pekerjaan dilakukan oleh mereka yang tidak terdidik. Kondisi internal memaksa kelompok ini wajib bekerja, walaupun juga ada kecenderungan mereka bekerja di atas jam kerja normal, dan memiliki lebih dari satu jenis pekerjaan serabutan.
Sebaliknya karena mereka yang terdidik merasa memiliki nilai waktu lebih mahal, maka mereka sebagian menunda untuk dapat pekerjaan yang nilainya sama atau lebih tinggi dari pasar kerja. Pada masa itu mereka rela untuk berstatus sebagai pencari kerja.
Untuk kondisi eksternal, semakin baik mutu keadaan ekonomi makro, disertai proyek-proyek yang berasal dari kebijakan fiskal, maka makin besar juga permintaan tenaga kerja yang berpendidikan tinggi. Di sisi lain masih ada peluang untuk meningkatkan ketersediaan dari stok tenaga kerja, berupa peningkatan keterampilan kerja.
Mengingat mereka yang menyelesaikan pendidikan menengah dan tinggi memang kurang memiliki keterampilan. Dengan terbatasnya produk pendidikan yang belum menyiapkan tenaga kerja muda berketerampilan, pembenahan dari sisi ”supply” ini sebenarnya merupakan salah satu obat yang mungkin dapat meringankan tekanan pasar kerja yang ada pada saat sekarang.
Kewirausahaan
Jika kita ikuti kampanye yang telah berlalu, masih sangat minim perhatian para partai politik untuk menyikapi keadaan dari pasar kerja Indonesia. Ada beberapa partai yang mengusung ini semangat kewirausahaan walau sangat minim, dan masih umum sifatnya. Apa hal yang baru yang mesti kita buat sehingga daya ungkit dari program itu dapat memecahkan masalah tenaga kerja?
Ketika menjelang tahun 2009, muncul inisiatif untuk meningkatkan proporsi dari tenaga kerja yang mau berfungsi sebagai wirausahawan, dengan terminologi yang diajukan oleh Joseph A. Schumpeter (2008 Capitalism, Socialism and Democracy, Harperperenial) dengan istilah enterpreunership.
Inti dari pandangan Schumpeter adalah bahwa mereka yang mau mengambil risiko dan berinovasi tampil melakukan perubahan untuk menghasilkan barang dan jasaadalahpekerjayangakhirnya bisa lebih mandiri.
Di dalam tubuh wirausaha, lebih kental kemandirian, dan bahkan sanggup merekrut orang lain untuk dipekerjakan dalam merealisasikan ide-idenya dalam bentuk yang lebih nyata. Dalam menyikapi demikian, gagasan yang lahir di perguruan tinggi lebih didorong pula oleh pengusaha-pengusaha sekelas Ir. Ciputra, yang aktif mengembangkan sekolah enterpreunership.
Sayang sekali gerakan-gerakan seperti itu redup-redup sampai, sangat gesit ketika isu itu diembuskan, kemudian hilang tidak bertuan setelah itu. Sehingga kita tidak melihat adanya tren yang lebih positif terhadap upaya melahirkan para wirausahawan.
Nilai-nilai risiko dan terbiasa bekerja keras dan fokus ternyata tidak terlalu kental masuk ke dalam proses pembelajaran di jenjang pendidikan menengah dan tinggi. Adalah PM Malaysia Tun Abdul Razak, baru-baru ini melaksanakan apa yang mereka istilahkan Program Wirausahawan Muda.
Program ini mirip dengan wirausahawan yang dikembangkan di Indonesia di akhir 2009 di universitasuniversitas. Di Malaysia, program serupa lebih ditujukan kepada mereka yang tidak lagi terikat dengan pendidikan formal, namun akan memasuki dunia kerja. Selain penyiapan pekerja mandiri, penyiapan modal kerja untuk ”start up bussiess”.
Malaysia menyadari bahwa semakin terbatasnya lapangan pekerjaan upahan yang ada, sehingga upaya untuk melahirkan wirausahawan yang tidak bergantung pada kerajaan menjadi pilihan alternatif. Sekalipun keberhasilannya belum dapat kita periksa, program pelatihan dan penyediaan modal kerja menjadi salah satu yang dominan dilakukan pada anggaran fiskal tahun 2014 ini.
Bagaimana sebaiknya?
Di Indonesia jika kita ingin mempercepat melahirkan wirausaha, maka langkah untuk memilih kedua jalur adalah sangat memungkinkan. Jalur pertama adalah dengan mencoba merancang kurikulum di sekolah formal yang dapat meningkatkan porsi dari penumbuhan jiwa wirausaha.
Dengan praktik-praktik secukupnya, sehingga melalui proses pendidikan dan praktek diharapkan setelah selesainya menjalani pendidikan, peserta didik menjadi tinggi keinginannya untuk memulai pekerjaan dengan inovasi-inovasi baru. Unsur menumbuhkan keterampilan dan soft skills wirausaha adalah menjadi prioritas tertentu yang dirumuskan oleh kurikulum sekolah.
Pada jalur kedua adalah dengan menawarkan program persiapan menjadi wirausaha bagi mereka masa transisi, atau mereka yang sudah mulai terlibat dalam pekerjaan, namun belum berhasil.
Selama ini, upaya untuk menerima pencari kerja dan menyalurkannya adalah salah satu upaya yang sedikit manfaatnya. Mengingat sedikit perusahaan yang benar-benar mencari tenaga kerja melalui media iklan. Pada proses di mana mereka yang sudah tidak lagi sekolah, model-model menumbuhkan kewirausahaan menjadi sangat relevan.
Anak-anak muda yang belum atau masih sedikit keterampilannya mesti diupayakan agar mereka dapat mudah untuk ikut magang kerja, pelatihan-pelatihan, termasuk diberi kesempatan untuk menumbuhkan bakat dan seni. Ruang bagi mereka perlu dibuka seluas luasnya melalui program pembentukan wirausaha muda.
Jika kita saksikan dan lihat mereka yang berhasil menjadi wirausaha, jelas dapat disimpulkan bahwa ketekunan, kerja keras, dan fokus adalah menjadi cara kerja yang membuat sebagian di antara wirausaha berhasil dan sukses pada usia yang masih muda. Ke arah itu sangat relevan dilakukan terobosan oleh siapa pun yang mau melihat bahwa tenaga kerja adalah masalah besar bangsa ke depan.
ELFINDRI
Profesor Ekonomi SDM dan Koordinator Program S-3 Ilmu Ekonomi Universitas Andalas, Padang
(nfl)