Demokrasi telur dadar
A
A
A
ORANG tua kita sering berkisah, dulu di zaman susah satu telur dibagi rata ke piring anak-anak. Semua tetap kebagian. Caranya telur dipecah, dituang dalam wadah, diaduk-aduk sedemikian rupa, dikasih garam secukupnya, dan digoreng.
Teknik demikian dinamakan mendadar, bukan menceplok. Kalau diceplok, namanya telur mata sapi, lebih eksklusif dengan bagian kuning telur yang kelihatan kontras dominan. Berbeda dengan pemilu di Turki yang bernuansa telur ceplok, karena dominannya Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), pemilu di Indonesia kali ini bertajuk demokrasi telur dadar. Dari hitung cepat, kecuali PKPI dan PBB, semua segmen partai terbuka (catch-all parties) maupun partai Islam kebagian kursi di parlemen.
Namun, itu artinya rekayasa penyederhanaan jumlah partai melalui penaikan persentase ketentuan ambang batas elektoral tiga setengah persen tidaklah manjur. Kalau Pemilu 2009 menghasilkan sembilan jumlah partai, kini malah sepuluh partai di parlemen.
Satu partai yang masuk itu Nasdem yang mengambil ceruk partai terbuka. Kalau melihat angka-angka hitung cepat, perolehan suara partai pimpinan Surya Paloh ini bukan dari Golkar, melainkan besar kemungkinan terkait memudarnya Demokrat.
Faktor lain, yang juga penting dicatat, karena PDIP yang sebelumnya diperkirakan mampu menembus target di atas 27% suara nyatanya tidak demikian. Efek Jokowi tidak masuk ke logika pemilu legislatif, kecuali yang cukup mengejutkan justru efek Prabowo dalam kasus kenaikan suara Gerindra. Jokowi seperti anak panah yang melesat, tetapi kurang tepat ke sasarannya.
Hiruk-pikuk pemberitaannya di media massa ternyata kurang sebanding dengan harapan bahwa dia bisa jadi faktor pelipat ganda elektoral PDIP. Ini ujiannya yangpertamadalamkonstelasi politik nasional yang kompetitif dan sensitif. PDIP harus menimbang betul langkahlangkahnya ke depan.
Demitologi Jokowi dalam arti rasionalisasi terhadap sosok fenomenalini, tentu cenderung meningkat ke depan. Sementara itu, Gerindra rupanya memperoleh momentum lebih baik. Tentu bukan sekadar heroisasi Prabowo yang dibuat untuk memperkuat ikon politik partai bergambar kepala garuda ini persoalannya.
Namun, Gerindra terposisikan sebagai partai yang berbeda dengan Demokrat dan bersaing dengan PDIP. Dari sini Gerindra tampak lebih kuat menunjukkan jati dirinya. Konsolidasi partai ini juga mengalami kemajuan signifikan.
Namun, ada apa dengan Golkar? Kenapa stagnan? Secara kelembagaan partai ini dikenal kuat, kendatipun secara mesin politik belum tentu. Stagnannya Golkar bisa dikaitkan dengan kurang adanya terobosan-terobosan politik yang fenomenal. Faktor Aburizal Bakrie juga layak ditimbang. Aburizal terkesan tampak lebih fokus ke pencapresannya. Tetapi tak seperti Prabowo, dia tidak menjadi efek pengangkat.
Kendatipun stagnan, posisi suara kedua membuat Golkar masih cukup unik. Mungkin Golkar akan tetap mempertahankan Aburizal Bakrie sebagai capres, tetapi tetap juga bisa masuk ke koalisi partai pemenang. Dari segmen parpol-parpol Islam, yang tampak menonjol adalah PKB.
Ia mampu mengambil kembali massa politik NU, kendatipun konsentrasi suaranya lebih di Jawa Timur. Memang ada yang menduga bahwa Rhoma Irama cukup tokcer sebagai penarik suara PKB, tetapi perluasan basis dukungannya masih banyak di sekitar massa NU. Di sisi lain, PBB yang paling terpuruk dan PKS cukup bisa bertahan di tengah isuisu yang tidak menguntungkan partainya. Dari segmen partai Islam, pangsanya tampak tidak berubah, kecuali posisi urutannya saja. PPP dan PAN juga masih bertahan. Semuanya masih di bawah dua digit persentase suaranya.
What next?
Di tengah konstelasi demikian, kompetisi pilpres semakin ketat. Koalisi antarpartai lah yang akan mengemuka. Pasangan capres-cawapres yang maju bisa lebih dari dua, kemungkinan tiga. Dalam kondisi demikian, kekuatan capres akan juga ditentukan oleh kekuatan sosok cawapres.
Capres yang mengambil model cawapres seperti Boediono, yang dalam Pilpres 2009 tampak sebagai pelengkap Susilo Bambang Yudhoyono yang elektabilitasnya paling tinggi, akan cukup berisiko. Idealnya, cawapres masing-masing ialah yang punya efek menambah suara (vote getter), bukan justru pengurang suara.
Saling melengkapi kekurangan dan kelebihan pasangan capres-cawapres akan menentukan kemenangan. Logika pilpres memang beda dengan pileg. Pileg sering dipandang alat pelontar bagi munculnya pasangan capres. Tetapi melihat konstelasi perolehan suara dalam pileg sedemikian, saya cenderung kurang begitu sepakat dengan hal demikian. Pendukung partai tertentu dalam pileg tetap saja akan mempertimbangkan ke mana dukungan suaranya akan diarahkan. Pertama kali mereka akan berpikir untuk mengarahkan ke pasangan capres yang diajukan partainya.
Kalau tidak sreg alias tidak berkenan, baru beralih ke yang lain. Kalau logika ini yang berjalan, preferensi partai tetap penting. Efek-efek perorangan atau kekuatan tokoh akan diuji langsung. Apakah efek Jokowi memang akan efektif kelak?
Belum tentu, kalau pasangannya tidak mampu menarik dukungan suara dan mampu mengelola stabilitas politik. Efek Prabowo bisa berbalik tidak efektif, manakala ”salah memilih pasangan”. Dalam konteks Aburizal Bakrie, andai saja tetap maju sebagai capres, juga demikian. Siapa pasangan dia, tentu yang mampu menutup kelemahannya, sekaligus punya efek pelipat ganda dukungan yang signifikan.
Demikianlah, kita masih akan meraba-raba sejumlah kemungkinan. Tetapi dengan hasil hitung cepat, bayangannya semakin jelas. Posisi partai-partai yang jelas, akan menghadirkan analisis-analisis kemungkinan yang lebih masuk akal. Namun, matematika politik itu beda dengan matematika biasa. Pasangan capres yang diperkirakan kalah, tetap saja akan maju, dengan harapan ada perubahan tiba-tiba yang membuatnya terpilih. Begitulah politik. Wallahu”lam.
M ALFAN ALFIAN
Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta
Teknik demikian dinamakan mendadar, bukan menceplok. Kalau diceplok, namanya telur mata sapi, lebih eksklusif dengan bagian kuning telur yang kelihatan kontras dominan. Berbeda dengan pemilu di Turki yang bernuansa telur ceplok, karena dominannya Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), pemilu di Indonesia kali ini bertajuk demokrasi telur dadar. Dari hitung cepat, kecuali PKPI dan PBB, semua segmen partai terbuka (catch-all parties) maupun partai Islam kebagian kursi di parlemen.
Namun, itu artinya rekayasa penyederhanaan jumlah partai melalui penaikan persentase ketentuan ambang batas elektoral tiga setengah persen tidaklah manjur. Kalau Pemilu 2009 menghasilkan sembilan jumlah partai, kini malah sepuluh partai di parlemen.
Satu partai yang masuk itu Nasdem yang mengambil ceruk partai terbuka. Kalau melihat angka-angka hitung cepat, perolehan suara partai pimpinan Surya Paloh ini bukan dari Golkar, melainkan besar kemungkinan terkait memudarnya Demokrat.
Faktor lain, yang juga penting dicatat, karena PDIP yang sebelumnya diperkirakan mampu menembus target di atas 27% suara nyatanya tidak demikian. Efek Jokowi tidak masuk ke logika pemilu legislatif, kecuali yang cukup mengejutkan justru efek Prabowo dalam kasus kenaikan suara Gerindra. Jokowi seperti anak panah yang melesat, tetapi kurang tepat ke sasarannya.
Hiruk-pikuk pemberitaannya di media massa ternyata kurang sebanding dengan harapan bahwa dia bisa jadi faktor pelipat ganda elektoral PDIP. Ini ujiannya yangpertamadalamkonstelasi politik nasional yang kompetitif dan sensitif. PDIP harus menimbang betul langkahlangkahnya ke depan.
Demitologi Jokowi dalam arti rasionalisasi terhadap sosok fenomenalini, tentu cenderung meningkat ke depan. Sementara itu, Gerindra rupanya memperoleh momentum lebih baik. Tentu bukan sekadar heroisasi Prabowo yang dibuat untuk memperkuat ikon politik partai bergambar kepala garuda ini persoalannya.
Namun, Gerindra terposisikan sebagai partai yang berbeda dengan Demokrat dan bersaing dengan PDIP. Dari sini Gerindra tampak lebih kuat menunjukkan jati dirinya. Konsolidasi partai ini juga mengalami kemajuan signifikan.
Namun, ada apa dengan Golkar? Kenapa stagnan? Secara kelembagaan partai ini dikenal kuat, kendatipun secara mesin politik belum tentu. Stagnannya Golkar bisa dikaitkan dengan kurang adanya terobosan-terobosan politik yang fenomenal. Faktor Aburizal Bakrie juga layak ditimbang. Aburizal terkesan tampak lebih fokus ke pencapresannya. Tetapi tak seperti Prabowo, dia tidak menjadi efek pengangkat.
Kendatipun stagnan, posisi suara kedua membuat Golkar masih cukup unik. Mungkin Golkar akan tetap mempertahankan Aburizal Bakrie sebagai capres, tetapi tetap juga bisa masuk ke koalisi partai pemenang. Dari segmen parpol-parpol Islam, yang tampak menonjol adalah PKB.
Ia mampu mengambil kembali massa politik NU, kendatipun konsentrasi suaranya lebih di Jawa Timur. Memang ada yang menduga bahwa Rhoma Irama cukup tokcer sebagai penarik suara PKB, tetapi perluasan basis dukungannya masih banyak di sekitar massa NU. Di sisi lain, PBB yang paling terpuruk dan PKS cukup bisa bertahan di tengah isuisu yang tidak menguntungkan partainya. Dari segmen partai Islam, pangsanya tampak tidak berubah, kecuali posisi urutannya saja. PPP dan PAN juga masih bertahan. Semuanya masih di bawah dua digit persentase suaranya.
What next?
Di tengah konstelasi demikian, kompetisi pilpres semakin ketat. Koalisi antarpartai lah yang akan mengemuka. Pasangan capres-cawapres yang maju bisa lebih dari dua, kemungkinan tiga. Dalam kondisi demikian, kekuatan capres akan juga ditentukan oleh kekuatan sosok cawapres.
Capres yang mengambil model cawapres seperti Boediono, yang dalam Pilpres 2009 tampak sebagai pelengkap Susilo Bambang Yudhoyono yang elektabilitasnya paling tinggi, akan cukup berisiko. Idealnya, cawapres masing-masing ialah yang punya efek menambah suara (vote getter), bukan justru pengurang suara.
Saling melengkapi kekurangan dan kelebihan pasangan capres-cawapres akan menentukan kemenangan. Logika pilpres memang beda dengan pileg. Pileg sering dipandang alat pelontar bagi munculnya pasangan capres. Tetapi melihat konstelasi perolehan suara dalam pileg sedemikian, saya cenderung kurang begitu sepakat dengan hal demikian. Pendukung partai tertentu dalam pileg tetap saja akan mempertimbangkan ke mana dukungan suaranya akan diarahkan. Pertama kali mereka akan berpikir untuk mengarahkan ke pasangan capres yang diajukan partainya.
Kalau tidak sreg alias tidak berkenan, baru beralih ke yang lain. Kalau logika ini yang berjalan, preferensi partai tetap penting. Efek-efek perorangan atau kekuatan tokoh akan diuji langsung. Apakah efek Jokowi memang akan efektif kelak?
Belum tentu, kalau pasangannya tidak mampu menarik dukungan suara dan mampu mengelola stabilitas politik. Efek Prabowo bisa berbalik tidak efektif, manakala ”salah memilih pasangan”. Dalam konteks Aburizal Bakrie, andai saja tetap maju sebagai capres, juga demikian. Siapa pasangan dia, tentu yang mampu menutup kelemahannya, sekaligus punya efek pelipat ganda dukungan yang signifikan.
Demikianlah, kita masih akan meraba-raba sejumlah kemungkinan. Tetapi dengan hasil hitung cepat, bayangannya semakin jelas. Posisi partai-partai yang jelas, akan menghadirkan analisis-analisis kemungkinan yang lebih masuk akal. Namun, matematika politik itu beda dengan matematika biasa. Pasangan capres yang diperkirakan kalah, tetap saja akan maju, dengan harapan ada perubahan tiba-tiba yang membuatnya terpilih. Begitulah politik. Wallahu”lam.
M ALFAN ALFIAN
Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta
(nfl)