Menghitung hasil pemilu
A
A
A
HARI pencoblosan sudah dilalui. Pemilih di luar dan di dalam negeri telah diberi kesempatan menyalurkan hak konstitusionalnya untuk turut menentukan nasib bangsa ini lima tahun ke depan.
Inilah praktik demokrasi elektoral yang sejatinya memang memerlukan dukungan warga secara sukarela. Biasanya ada tiga hal menarik yang ingin segera diketahui masyarakat usai pemilu legislatif. Pertama, tren kemenangan atau kekalahan partai kontestan.
Rujukan sementaranya adalah hitung cepat (quick count) dan exit poll yang dilakukan sejumlah lembaga. Kedua, tingkat partisipasi warga dalam pemilu, misalnya terkait dengan berapa jumlah pemilih dan berapa angka golput. Ketiga, potensi koalisi antar partai kontestan yang akan menjadi pijakan jelang pemilu presiden.
Demokrasi konsensus
Pemilu pasti tidak akan memuaskan semua pihak. Diperlukan kedewasaan berpolitik untuk menjaga sikap agar tidak kontradiktif dengan tujuan penyelenggaraan pemilu, yakni lahirnya kekuasaan yang sah (legitimate power). Sirkulasi elite lima tahunan yang sudah menjadi konsensus tentu akan menghasilkan pihak yang menang dan yang kalah. Jumlah kursi legislatif terbatas, 560 kursi untuk DPR RI, 132 kursi DPD, 2.112 kursi DPRD, sementara yang menjadi caleg ada sekitar 200.000 caleg dari beragam partai politik.
Di banyak hitungan cepat yang sudah beredar di media massa, tampak PDIP unggul. Dari data Indonesia Research Center (IRC) yang bekerja sama dengan KORAN SINDO menunjukkan angka perolehan suara PDIP 18,98%, Golkar 14,9%, dan Gerindra 11,9%.
Angka-angka tadi tentu bukan data resmi KPU sehingga partai yang diunggulkan jangan dulu jemawa. Masih harus menunggu tahapan pemilu berikutnya, yakni rekapitulasi suara tingkat nasional (28 April–6 Mei), penetapan hasil pemilu (7–9 Mei), penetapan perolehan kursi (11–18 Mei).
Namun demikian, tren perolehan suara yang dibaca secara ilmiah oleh lembaga-lembaga yang melakukan hitung cepat juga tak bisa dinafikan sebagai pendulum untuk menentukan posisi partaipartai kontestan pemilu, sekaligus sebagai menjadi rujukan posisi mereka jelang pemilu presiden. Artinya, beberapa jam setelah usai pemungutan suara, sesungguhnya bisa diprediksi seperti apa peta kekuatan partaipartai tersebut. Pemilu 2014, seperti halnya juga pemilu-pemilu sebelumnya, tak akan menghasilkan satu partai dominan.
Dalam tulisan Arend Lijphart Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries (1999) menyebutkan dalam masyarakat majemuk yang tidak ada partai dominannya, cenderung akan menggunakan demokrasi model konsensus. Koalisi untuk membangun pemerintahan merupakan bagian dari konsensus tersebut.
Di Pemilu 1955, hanya empat partai yang benar-benar mendapatkan dukungan signifikan di atas 16%, yakni PNI (22,3%), Masyumi (20,9%), NU (18,4%), dan PKI (16,4%). Selebihnya partai-partai kecil yang didukung kurang dari 3%.
Pola serupa terjadi di Pemilu 1999, hanya ada dua partai yang benar-benar memperoleh dukungan signifikan yakni PDIP (33,7%) dan Golkar (22,4%). Di luar itu, ada partai papan tengah seperti PKB (12,6%), PPP (10,7%) dan PAN (7,1%). Selebihnya hanya partai-partai yang didukung tak lebih dari 2%. Pemilu 2004 juga tak menghasilkan partai dominan, Golkar (21,6%), PDIP (18,5%), PKB (10,6%), PPP (8,2%), Partai Demokrat (7,5%), PKS (7,3%), PAN (6,4%).
Selebihnya partai-partai yang didukung kurang dari 3%. Hasil Pemilu 2009 menunjukkan partai pemenang pemilu, yakni Demokrat, juga tak menjadi pemenang dominan dengan 20,8%. Masih ada Golkar (14,45%), PDIP (14,03%), di bawahnya ada partai-partai yang lolos parliamentary threshold yakni PKS, PAN, PPP, PKB, Gerindra, dan Hanura. Dengan demikian, ada benang merah yang nyata bahwa demokrasi konsensus inilah yang menjadi wajah hasil pemilu kita, termasuk di Pemilu 2014.
Peta jalan
Jika melihat hasil sementara versi hitung cepat Pemilu 2014, potensi koalisi ada di tiga poros seperti sudah diprediksi jauhjauh hari, yakni poros PDIP (Jokowi), Golkar (Aburizal Bakrie), dan Gerindra (Prabowo). Tetapi karena perolehan suara tak ada yang dominan, lagi-lagi peta koalisi akan sangat ditentukan oleh pergerakan partai-partai papan tengah. Menurut saya, koalisi partai akan sangat ditentukan oleh beberapa faktor utama. Pertama, pergerakan Demokrat, Golkar, Gerindra, dan Hanura.
Hingga sekarang, Demokrat masih menjalankan skenario konvensi untuk mencari presiden sendiri. Tapi sepertinya Demokrat akan lebih membaca hitungan realistis perolehan suara yang melorot tajam untuk menjalankan skenario BATNA (best alternative to negotiated agreement). Misalnya dengan memberikan dukungan kepada capres partai lain yang paling mungkin berkoalisi. Pertimbangan Demokrat tentu adalah kemungkinan fase turbulensi setelah turunnya SBY dari kekuasaan dua periode.
Skenario Golkar adalah mencari mitra paling potensial yang bisa menaikkan tingkat keterpilihan dan dukungan nyata untuk ARB. Namun, Golkar sebagai partai berpengalaman tentu akan berhitung cermat soal ”strategic entry”. Meminjam analisis Gary W Cox dalam bukunya Making Vote Count soal strategic entry menghitung tiga pertimbangan penting, yakni biaya memasuki arena (cost of entry), keuntungan-keuntungan yang didapat jika duduk dikekuasaan (benefits of office), dana danya kemungkinan-kemungkinan perolehan dukungan dari para pemilih (probably of receiving electoral support).
Dalam tiga pertimbangan ini, Golkar sangat lihai membaca peran sekaligus kekuatannya di tengah konfigurasi. Dengan demikian, Golkar masih sangat mungkin menjalankan skenario utama yakni mengusung ARB, bisa juga rencana B yakni Golkar menjadi” pedagang menentukan” bagi siapa pun yang berpotensi menang. Gerindra dan Hanura juga masih sangat mungkin berebut dukungan dari partai-partai tengah dan bawah. Prabowo kerap disebut sebagai lawan tanding Jokowi paling berpotensi.
Namun, skenario ini bisa juga tidak berjalan mulus akibat pergerakan komunikasi politik WIN-HT yangmasihsangat mungkin meyakinkan beberapa partai papan tengah dan bawah untuk membentuk poros kekuatan tersendiri. Faktor keberadaan Hary Tanoesoedibjo (HT) membuat Hanura masih sangat mungkin membuka strategi ZOPA (Zone of Possible Agreement) dengan kekuatan lain. Kedua, akan sangat ditentukan oleh sikap PDIP sebagai partai yang berpotensi menjadi pemenang pemilu.
Banyak elite PDIP yang bicara di media. Mereka akan menjalankan model koalisi terbatas berbasis platform. Jika skenario jadi digunakan, tentu PDIP akan berkoalisi dengan sedikit partai yang tidak memiliki hambatan psikopolitis, misalnya dengan PKB dan Nasdem yang memperoleh suara lumayan.
Memang, PDIP juga masih sangat mungkin berkoalisi dengan Hanura, PAN, atau bahkan Golkar. Skenario-skenario ini masih sangat mungkin dinegosiasikan dan dimatangkan dalam koalisi. Kita tentu berharap hasil pemilu legislatif ini menjadi modal dasar sirkulasi elite yang sehat.
Praktik koalisi besar hanya menimbulkan obesitas kekuasaan. Rumus dukungan besar di parlemen bisa menjamin pemerintahan efektif ternyata tak terbukti di dua periode pemerintahan SBY. Alasannya jelas, karena koalisi sangat pragmatis, rapuh, dan tak berorientasi pada rakyat.
DR. GUN GUN HERYANTO
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
Inilah praktik demokrasi elektoral yang sejatinya memang memerlukan dukungan warga secara sukarela. Biasanya ada tiga hal menarik yang ingin segera diketahui masyarakat usai pemilu legislatif. Pertama, tren kemenangan atau kekalahan partai kontestan.
Rujukan sementaranya adalah hitung cepat (quick count) dan exit poll yang dilakukan sejumlah lembaga. Kedua, tingkat partisipasi warga dalam pemilu, misalnya terkait dengan berapa jumlah pemilih dan berapa angka golput. Ketiga, potensi koalisi antar partai kontestan yang akan menjadi pijakan jelang pemilu presiden.
Demokrasi konsensus
Pemilu pasti tidak akan memuaskan semua pihak. Diperlukan kedewasaan berpolitik untuk menjaga sikap agar tidak kontradiktif dengan tujuan penyelenggaraan pemilu, yakni lahirnya kekuasaan yang sah (legitimate power). Sirkulasi elite lima tahunan yang sudah menjadi konsensus tentu akan menghasilkan pihak yang menang dan yang kalah. Jumlah kursi legislatif terbatas, 560 kursi untuk DPR RI, 132 kursi DPD, 2.112 kursi DPRD, sementara yang menjadi caleg ada sekitar 200.000 caleg dari beragam partai politik.
Di banyak hitungan cepat yang sudah beredar di media massa, tampak PDIP unggul. Dari data Indonesia Research Center (IRC) yang bekerja sama dengan KORAN SINDO menunjukkan angka perolehan suara PDIP 18,98%, Golkar 14,9%, dan Gerindra 11,9%.
Angka-angka tadi tentu bukan data resmi KPU sehingga partai yang diunggulkan jangan dulu jemawa. Masih harus menunggu tahapan pemilu berikutnya, yakni rekapitulasi suara tingkat nasional (28 April–6 Mei), penetapan hasil pemilu (7–9 Mei), penetapan perolehan kursi (11–18 Mei).
Namun demikian, tren perolehan suara yang dibaca secara ilmiah oleh lembaga-lembaga yang melakukan hitung cepat juga tak bisa dinafikan sebagai pendulum untuk menentukan posisi partaipartai kontestan pemilu, sekaligus sebagai menjadi rujukan posisi mereka jelang pemilu presiden. Artinya, beberapa jam setelah usai pemungutan suara, sesungguhnya bisa diprediksi seperti apa peta kekuatan partaipartai tersebut. Pemilu 2014, seperti halnya juga pemilu-pemilu sebelumnya, tak akan menghasilkan satu partai dominan.
Dalam tulisan Arend Lijphart Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries (1999) menyebutkan dalam masyarakat majemuk yang tidak ada partai dominannya, cenderung akan menggunakan demokrasi model konsensus. Koalisi untuk membangun pemerintahan merupakan bagian dari konsensus tersebut.
Di Pemilu 1955, hanya empat partai yang benar-benar mendapatkan dukungan signifikan di atas 16%, yakni PNI (22,3%), Masyumi (20,9%), NU (18,4%), dan PKI (16,4%). Selebihnya partai-partai kecil yang didukung kurang dari 3%.
Pola serupa terjadi di Pemilu 1999, hanya ada dua partai yang benar-benar memperoleh dukungan signifikan yakni PDIP (33,7%) dan Golkar (22,4%). Di luar itu, ada partai papan tengah seperti PKB (12,6%), PPP (10,7%) dan PAN (7,1%). Selebihnya hanya partai-partai yang didukung tak lebih dari 2%. Pemilu 2004 juga tak menghasilkan partai dominan, Golkar (21,6%), PDIP (18,5%), PKB (10,6%), PPP (8,2%), Partai Demokrat (7,5%), PKS (7,3%), PAN (6,4%).
Selebihnya partai-partai yang didukung kurang dari 3%. Hasil Pemilu 2009 menunjukkan partai pemenang pemilu, yakni Demokrat, juga tak menjadi pemenang dominan dengan 20,8%. Masih ada Golkar (14,45%), PDIP (14,03%), di bawahnya ada partai-partai yang lolos parliamentary threshold yakni PKS, PAN, PPP, PKB, Gerindra, dan Hanura. Dengan demikian, ada benang merah yang nyata bahwa demokrasi konsensus inilah yang menjadi wajah hasil pemilu kita, termasuk di Pemilu 2014.
Peta jalan
Jika melihat hasil sementara versi hitung cepat Pemilu 2014, potensi koalisi ada di tiga poros seperti sudah diprediksi jauhjauh hari, yakni poros PDIP (Jokowi), Golkar (Aburizal Bakrie), dan Gerindra (Prabowo). Tetapi karena perolehan suara tak ada yang dominan, lagi-lagi peta koalisi akan sangat ditentukan oleh pergerakan partai-partai papan tengah. Menurut saya, koalisi partai akan sangat ditentukan oleh beberapa faktor utama. Pertama, pergerakan Demokrat, Golkar, Gerindra, dan Hanura.
Hingga sekarang, Demokrat masih menjalankan skenario konvensi untuk mencari presiden sendiri. Tapi sepertinya Demokrat akan lebih membaca hitungan realistis perolehan suara yang melorot tajam untuk menjalankan skenario BATNA (best alternative to negotiated agreement). Misalnya dengan memberikan dukungan kepada capres partai lain yang paling mungkin berkoalisi. Pertimbangan Demokrat tentu adalah kemungkinan fase turbulensi setelah turunnya SBY dari kekuasaan dua periode.
Skenario Golkar adalah mencari mitra paling potensial yang bisa menaikkan tingkat keterpilihan dan dukungan nyata untuk ARB. Namun, Golkar sebagai partai berpengalaman tentu akan berhitung cermat soal ”strategic entry”. Meminjam analisis Gary W Cox dalam bukunya Making Vote Count soal strategic entry menghitung tiga pertimbangan penting, yakni biaya memasuki arena (cost of entry), keuntungan-keuntungan yang didapat jika duduk dikekuasaan (benefits of office), dana danya kemungkinan-kemungkinan perolehan dukungan dari para pemilih (probably of receiving electoral support).
Dalam tiga pertimbangan ini, Golkar sangat lihai membaca peran sekaligus kekuatannya di tengah konfigurasi. Dengan demikian, Golkar masih sangat mungkin menjalankan skenario utama yakni mengusung ARB, bisa juga rencana B yakni Golkar menjadi” pedagang menentukan” bagi siapa pun yang berpotensi menang. Gerindra dan Hanura juga masih sangat mungkin berebut dukungan dari partai-partai tengah dan bawah. Prabowo kerap disebut sebagai lawan tanding Jokowi paling berpotensi.
Namun, skenario ini bisa juga tidak berjalan mulus akibat pergerakan komunikasi politik WIN-HT yangmasihsangat mungkin meyakinkan beberapa partai papan tengah dan bawah untuk membentuk poros kekuatan tersendiri. Faktor keberadaan Hary Tanoesoedibjo (HT) membuat Hanura masih sangat mungkin membuka strategi ZOPA (Zone of Possible Agreement) dengan kekuatan lain. Kedua, akan sangat ditentukan oleh sikap PDIP sebagai partai yang berpotensi menjadi pemenang pemilu.
Banyak elite PDIP yang bicara di media. Mereka akan menjalankan model koalisi terbatas berbasis platform. Jika skenario jadi digunakan, tentu PDIP akan berkoalisi dengan sedikit partai yang tidak memiliki hambatan psikopolitis, misalnya dengan PKB dan Nasdem yang memperoleh suara lumayan.
Memang, PDIP juga masih sangat mungkin berkoalisi dengan Hanura, PAN, atau bahkan Golkar. Skenario-skenario ini masih sangat mungkin dinegosiasikan dan dimatangkan dalam koalisi. Kita tentu berharap hasil pemilu legislatif ini menjadi modal dasar sirkulasi elite yang sehat.
Praktik koalisi besar hanya menimbulkan obesitas kekuasaan. Rumus dukungan besar di parlemen bisa menjamin pemerintahan efektif ternyata tak terbukti di dua periode pemerintahan SBY. Alasannya jelas, karena koalisi sangat pragmatis, rapuh, dan tak berorientasi pada rakyat.
DR. GUN GUN HERYANTO
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
(nfl)