LCGC vs BBM Subsidi
A
A
A
KEHADIRAN mobil murah ramah lingkungan (low cost green car/LCGC) yang sudah mewarnai jalanan, kembali mengundang perdebatan baru seputar bahan bakar yang dikonsumsi.
Fakta di lapangan, keberadaan LCGC tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah yang terus berusaha menekan pemakaian bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Hal itu tidak bisa dipungkiri di mana mobil kecil tersebut lebih banyak mengerubuti stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) yang menyalurkan BBM bersubsidi.
Situasi ini membuat pemerintah dalam posisi serbasalah, sebab untuk melarang pemilik LCGC mengonsumsi BBM bersubsidi belum ada aturan yang mengikatnya, sementara meminta produsen LCGC menghentikan produksi adalah sesuatu hal yang mustahil.
Selain itu, pihak produsen juga tak bisa dikambinghitamkan dalam persoalan konsumsibahanbakar, sebab pabrikan sudah memproduksi mobil dengan spesifikasi hemat bahan bakar dengan oktan tinggi. Artinya mobil seharusnya menggunakan bahan bakar nonsubsidi. Kelahiran LCGC memang diawali dengan perdebatan panjang terutama pemberian insentif pajak dan penggunaan bahan bakar nonsubsidi.
Pihak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) ketika itu tarik-ulur dengan Kementerian Perindustrian (Kemenperin). Kemenkeu yang dinakhodai Agus Martowardojo waktu itu bersedia memberi keringanan pajak untuk LCGC, tetapi dengan catatan tidak mengonsumsi BBM bersubsidi.
Kenyataannya, insentif pajak didapat dan BBM bersubsidi juga disedot. Karena itu, wajar saja kalau Menteri Keuangan (Menkeu) Chatib Basri mulai diliputi kekhawatiran terjadinya pembengkakan konsumsi BBM bersubsidi yang dipicu oleh mobil murah.
Menkeu meyakini apabila tidak ada langkah untuk mengatasi kondisi tersebut, dengan tetap membiarkan LCGC memakai BBM bersubsidi, akan membuat volume BBM bersubsidi jebol dari target yang dipatok pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2014 sebanyak 48 kiloliter. Sejak pekan lalu, pihak Kemenkeu sudah melayangkan surat kepada Kemenperin mempertanyakan seputar penggunaan BBM bersubsidi oleh mobil murah.
Kemenkeu menanti aksi nyata dari Kemenperin untuk membuat aturan yang melarang mobil murah mengonsumsi BBM bersubsidi. Sebelumnya, Menteri Perindustrian MS Hidayat menyatakan pihaknya sedang merancang penerapan sanksi kepada pemilik mobil murah yang mengonsumsi premium.
Namun, efektivitas pengenaan sanksi tidak semudah yang dibayangkan, petugas dari mana yang akan memonitor setiap pergerakan mobil murah yang sudah mulai menjamur di tengah masyarakat. Sebenarnya terasa tidak adil bila hanya menuding program LCGC dengan menyorot habis dalamu rusankonsumsi BBM bersubsidi.
Bilamau adil, pihak berwenang juga harus tegas melarang mobil pelat hitam lainnya mengonsumsi premium yang subsidinya terus membebani negara. Di sisi lain, bagaimana pemerintah merumuskan kebijakan energi yang benar agar persoalan BBM bersubsidi tidak menghambat segala gerak langkah kebijakan pemerintah yang lainnya, termasuk program LCGC, yang diharapkan memperkuat industri automotif nasional untuk menjadikan Indonesia sebagai basis produksi.
Memang, cukup dilematis program LCGC yang bebas pajak penjualanatasbarangmewah (PPnBM) masih menggunakan BBM bersubsidi, tetapi jangan lupa program ini bukanlah sekadar pepesan kosong.
Saat ini, berdasarkan data dari pihak Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), tak kurang dari 80.000 unit LCGC yang sudah terjual. Tentu saja penjualan tersebut menghasilkan pajak pertambahan nilai dan bea balik nama. Andaikan harga rata-rata LCGC sebesar Rp100 juta per unit, pajak dan bea yang disumbangkan terhadap kas negara tak kurang dari Rp800 miliar.
Populasi mobil murah masih sangat kecil hanya sekitar 1% dari total mobil yang ada. Dari sisi investasi, keterlibatan lima produsen mobil dalam proyek LCGC telah menjaring investasi baru sebesar USD6,5 miliar serta ratusan perusahaan komponen baru yang telah lahir, apalagi lima tahun ke depan telah dipatok penggunaan konten lokal sudah mencapai 80%.
Jadi, sebenarnya yang harus dibenahi adalah kebijakan energi agar subsidi BBM tidak menyandera pemerintah setiap saat, yang pada akhirnya harus mengorbankan program lainnya yang sudah jelas lebih berguna ketimbang mempertahankan subsidi BBM yang terus menggelembung setiap tahun.
Fakta di lapangan, keberadaan LCGC tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah yang terus berusaha menekan pemakaian bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Hal itu tidak bisa dipungkiri di mana mobil kecil tersebut lebih banyak mengerubuti stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) yang menyalurkan BBM bersubsidi.
Situasi ini membuat pemerintah dalam posisi serbasalah, sebab untuk melarang pemilik LCGC mengonsumsi BBM bersubsidi belum ada aturan yang mengikatnya, sementara meminta produsen LCGC menghentikan produksi adalah sesuatu hal yang mustahil.
Selain itu, pihak produsen juga tak bisa dikambinghitamkan dalam persoalan konsumsibahanbakar, sebab pabrikan sudah memproduksi mobil dengan spesifikasi hemat bahan bakar dengan oktan tinggi. Artinya mobil seharusnya menggunakan bahan bakar nonsubsidi. Kelahiran LCGC memang diawali dengan perdebatan panjang terutama pemberian insentif pajak dan penggunaan bahan bakar nonsubsidi.
Pihak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) ketika itu tarik-ulur dengan Kementerian Perindustrian (Kemenperin). Kemenkeu yang dinakhodai Agus Martowardojo waktu itu bersedia memberi keringanan pajak untuk LCGC, tetapi dengan catatan tidak mengonsumsi BBM bersubsidi.
Kenyataannya, insentif pajak didapat dan BBM bersubsidi juga disedot. Karena itu, wajar saja kalau Menteri Keuangan (Menkeu) Chatib Basri mulai diliputi kekhawatiran terjadinya pembengkakan konsumsi BBM bersubsidi yang dipicu oleh mobil murah.
Menkeu meyakini apabila tidak ada langkah untuk mengatasi kondisi tersebut, dengan tetap membiarkan LCGC memakai BBM bersubsidi, akan membuat volume BBM bersubsidi jebol dari target yang dipatok pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2014 sebanyak 48 kiloliter. Sejak pekan lalu, pihak Kemenkeu sudah melayangkan surat kepada Kemenperin mempertanyakan seputar penggunaan BBM bersubsidi oleh mobil murah.
Kemenkeu menanti aksi nyata dari Kemenperin untuk membuat aturan yang melarang mobil murah mengonsumsi BBM bersubsidi. Sebelumnya, Menteri Perindustrian MS Hidayat menyatakan pihaknya sedang merancang penerapan sanksi kepada pemilik mobil murah yang mengonsumsi premium.
Namun, efektivitas pengenaan sanksi tidak semudah yang dibayangkan, petugas dari mana yang akan memonitor setiap pergerakan mobil murah yang sudah mulai menjamur di tengah masyarakat. Sebenarnya terasa tidak adil bila hanya menuding program LCGC dengan menyorot habis dalamu rusankonsumsi BBM bersubsidi.
Bilamau adil, pihak berwenang juga harus tegas melarang mobil pelat hitam lainnya mengonsumsi premium yang subsidinya terus membebani negara. Di sisi lain, bagaimana pemerintah merumuskan kebijakan energi yang benar agar persoalan BBM bersubsidi tidak menghambat segala gerak langkah kebijakan pemerintah yang lainnya, termasuk program LCGC, yang diharapkan memperkuat industri automotif nasional untuk menjadikan Indonesia sebagai basis produksi.
Memang, cukup dilematis program LCGC yang bebas pajak penjualanatasbarangmewah (PPnBM) masih menggunakan BBM bersubsidi, tetapi jangan lupa program ini bukanlah sekadar pepesan kosong.
Saat ini, berdasarkan data dari pihak Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), tak kurang dari 80.000 unit LCGC yang sudah terjual. Tentu saja penjualan tersebut menghasilkan pajak pertambahan nilai dan bea balik nama. Andaikan harga rata-rata LCGC sebesar Rp100 juta per unit, pajak dan bea yang disumbangkan terhadap kas negara tak kurang dari Rp800 miliar.
Populasi mobil murah masih sangat kecil hanya sekitar 1% dari total mobil yang ada. Dari sisi investasi, keterlibatan lima produsen mobil dalam proyek LCGC telah menjaring investasi baru sebesar USD6,5 miliar serta ratusan perusahaan komponen baru yang telah lahir, apalagi lima tahun ke depan telah dipatok penggunaan konten lokal sudah mencapai 80%.
Jadi, sebenarnya yang harus dibenahi adalah kebijakan energi agar subsidi BBM tidak menyandera pemerintah setiap saat, yang pada akhirnya harus mengorbankan program lainnya yang sudah jelas lebih berguna ketimbang mempertahankan subsidi BBM yang terus menggelembung setiap tahun.
(nfl)