Ekonomi, lingkungan, dan monorel
A
A
A
PERBINCANGAN tentang monorel kembali ramai dibahas di media massa dan media sosial. Monorel seakan menjadi trending topic, mungkin karena banyak alasan.
Pertama, kesemrawutan lalu lintas di Jakarta semakin parah sehingga orang menuntut adanya alat transportasi massal yang efektif. Kedua, ada segelintir orang penting yang mengusahakan agar program Gubernur DKI untuk mengatasi kemacetan ini dibatalkan. Penyebab utama kesemrawutan di Jakarta adalah arus lalu lintas melampaui kapasitas jalan akibat jumlah kepemilikan kendaraan yang tidak bisa dikendalikan oleh pemerintah.
Selain macet, pemborosan energi, kerugian waktu, peningkatan polusi udara, dan peningkatan stres pengguna jalan merupakan dampak lain kesemrawutan Jakarta. Melihat realitas dan dampak kesemrawutan lalu lintas ini, memang sangat disayangkan jika ada segelintir orang berusaha membatalkan program monorel.
Secara makro, monorel dibutuhkan Jakarta karena moda transportasi massal ini juga dapat melestarikan lingkungan. Jakarta adalah kota dengan tingkat polusi yang buruk. WHO (2010) menempatkan Jakarta bersama-sama Mexico City, Beijing, dan Kairo sebagai metropolitan dengan udara yang paling tercemar. Masih dalam skala global, kadar partikel debu (particulate matter) yang terkandung dalam udara Jakarta adalah yang tertinggi nomor 9 (104 mikrogram per meter kubik) dari 111 kota dunia yang disurvei oleh Bank Dunia.
Penyebab paling signifikan dari polusi udara di Jakarta adalah gas buang kendaraan bermotor yang menyumbang andil sebesar kurang lebih 70 persen dari total polusi udara. Situasi ini bisa bertambah buruk mengingat setiap harinya meluncur 1.000 unit mobil baru dan 5.000 unit sepeda motor baru di jalanan ibu kota. Monorel yang sedang dikembangkan di Jakarta adalah alat transportasi massal dengan rata-rata enam gerbong sekali jalan, melaju setiap tiga menit, dengan kapasitas penumpang bisa mencapai 600 ribu orang per hari.
Dengan adanya monorel yang berbahan bakar listrik, sehingga amat ramah lingkungan, maka diharapkan polusi udara di Jakarta bisa turut terkurangi. Pelajaran dari Las Vegas, Amerika Serikat, pada tahun 2007 menunjukkan, sistem monorel di sana sudah membantu menghapus emisi sebanyak lebih dari 58 ton karbon monoksida (CO), senyawa organik volatil (VOC), dan nitrogen oksida (NOx) selama setahun. Adanya monorel di sana memang sanggup mengurangi laju kendaraan sejauh 3,2 juta mil di jalan raya utama Southern Nevada.
Monorel juga memakai roda karet yang tidak berisik saat dipakai melintas di atas rel beton. Ini merupakan kelebihan monorel dibandingkan MRT dan KRL Commuter Line yang memakai roda besi dan berjalan di atas rel besi pula, sehingga menimbulkan polusi suara. Sepertinya monorel memang pas untuk Jakarta. Moda transportasi ini hanya membutuhkan ruang kecil untuk tiang-tiang penyangganya.
Monorel juga bisa didesain untuk mengatasi belantara beton ibukota. Moda ini bisa dibawa menanjak, menurun, berbelok lebih tajam dan cepat dibanding kereta biasa. Utamanya lagi, monorel juga aman karena keretanya yang seakan memegang erat jalur rel. Jalur monorel yang berada di atas jalan raya untuk menghindarinya dari ancaman tabrakan dengan pejalan raya dan pengendara lainnya. Menurut catatan the monorails society di Amerika, dari sebanyak 2 miliar pengguna monorel di seluruh dunia, angka kecelakaannya ternyata masih 0.
Selain itu monorel juga menguntungkan secara bisnis. Dengan pengelolaan yang tepat dan efisien, kita bisa mengambil contoh Tokyo-Haneda Monorail yang sudah beroperasi sejak 1964. Layanan ini dimiliki oleh swasta dan terus menghasilkan keuntungan setiap tahun. Begitu pula The Seattle Center Monorail, yang dibangun tahun 1962, dijalankan oleh swasta pula dan sanggup memberikan pajak signifikan setoran ke pemerintah kota Seattle. Belakangan, kota-kota berpenduduk padat di seluruh dunia terus mengembangkan monorel.
Ambil contoh Mumbai dan Chennai di India, Beijing dan Xi’an di Tiongkok, Bangkok (Thailand), dan Sao Paolo (Brasil). Di sini, monorel juga bisa diharapkan mampu meningkatkan daya saing ekonomi Indonesia. Jakarta sebagai pusat ekonomi Indonesia dinilai sudah tidak efisien dan efektif untuk berbisnis. Di kota ini, mobil hanya melaju dengan kecepatan rata-rata 8,7 kilometer per jam! Dan setiap hari, setiap orang terpaksa membuang waktu setidaknya dua jam hanya untuk beperjalanan.
Kesemrawutan, kemacetan dan banjir memiliki opportunity cost yang tinggi terhadap bisnis. Pusat Penelitian Pusat Pengkajian dan Pengembangan IPB (P4W) Institut Pertanian Bogor menyatakan, kesemrawutan Jakarta mengakibatkan merosotnya daya saing Jakarta sebagai kota bisnis di mata Internasional. Jika ini terus berlangsung maka Jakarta bisa kehilangan daya saing bisnis dan ekonomi di tahun 2030 (Ernan Rustiadi, 2010).
Selain itu, berdasarkan data Kadin DKI yang didapatkan dari kajian Universitas Indonesia di akhir tahun 2013, kerugian ekonomi akibat kemacetan di Jakarta ini setiap tahunnya berkisar Rp12,8 triliun. Sementara, monorel lebih murah dibangun dan dirawat dibanding kereta bawah tanah. Jika ada monorel, dan moda transportasi massal ini berkembang di Jakarta, maka setiap orang bisa merasa lebih nyaman hidupnya. Waktu bisa dialokasikan secara lebih produktif.
Manfaat lain dari proyek monorel adalah terciptanya lapangan kerja. Tak kurang dari seribu pekerja baru akan terserap dalam proyek ini. Monorel juga bisa membuat Jakarta tidak lumpuh saat banjir. Jakarta, sebagai kota pesisir, rentan pada tingginya curah hujan dan peningkatan permukaan laut. Kedua hal itu merupakan penyebab banjir yang mampu melumpuhkan kota.
National Geographic dalam laporan akhir tahun 2013 menyatakan Indonesia sebagai kota kesebelas rawan banjir dari 101 negara yang disurvei di dunia. Ini berarti sampai 20 tahun ke depan Jakarta tetap rawan banjir. Monorel dengan jalur menggunakan tiang penyangga, memberikan solusi bagi masyarakat agar bisa bertransportasi saat banjir.
Dengan banyaknya manfaat dari monorel, kebijakan membangun monorel harus segera dimulai. Kita harus melihat monorel ini sebagai suatu kesatuan sistem transportasi massal di Indonesia. Monorel adalah salah satu penyangga dalam sistem tersebut yang ke depannya diharapkan sistem transportasi massal di Jakarta akan kian besar dengan berbagai pilihan yang memudahkan warga Jakarta.
Jika kita masih bercita-cita menjadi negara besar dan sejahtera, kita harus bisa melepas vesteddan political interest pribadi sebagai warga negara. Terakhir, untuk membuat Jakarta lebih baik, masyarakat Jakarta harus mementingkan kepentingan bersama dibanding kepentingan pribadi atau kelompok.
PRIMA GANDHI
Pengajar pada Departemen Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan FEM IPB
Pertama, kesemrawutan lalu lintas di Jakarta semakin parah sehingga orang menuntut adanya alat transportasi massal yang efektif. Kedua, ada segelintir orang penting yang mengusahakan agar program Gubernur DKI untuk mengatasi kemacetan ini dibatalkan. Penyebab utama kesemrawutan di Jakarta adalah arus lalu lintas melampaui kapasitas jalan akibat jumlah kepemilikan kendaraan yang tidak bisa dikendalikan oleh pemerintah.
Selain macet, pemborosan energi, kerugian waktu, peningkatan polusi udara, dan peningkatan stres pengguna jalan merupakan dampak lain kesemrawutan Jakarta. Melihat realitas dan dampak kesemrawutan lalu lintas ini, memang sangat disayangkan jika ada segelintir orang berusaha membatalkan program monorel.
Secara makro, monorel dibutuhkan Jakarta karena moda transportasi massal ini juga dapat melestarikan lingkungan. Jakarta adalah kota dengan tingkat polusi yang buruk. WHO (2010) menempatkan Jakarta bersama-sama Mexico City, Beijing, dan Kairo sebagai metropolitan dengan udara yang paling tercemar. Masih dalam skala global, kadar partikel debu (particulate matter) yang terkandung dalam udara Jakarta adalah yang tertinggi nomor 9 (104 mikrogram per meter kubik) dari 111 kota dunia yang disurvei oleh Bank Dunia.
Penyebab paling signifikan dari polusi udara di Jakarta adalah gas buang kendaraan bermotor yang menyumbang andil sebesar kurang lebih 70 persen dari total polusi udara. Situasi ini bisa bertambah buruk mengingat setiap harinya meluncur 1.000 unit mobil baru dan 5.000 unit sepeda motor baru di jalanan ibu kota. Monorel yang sedang dikembangkan di Jakarta adalah alat transportasi massal dengan rata-rata enam gerbong sekali jalan, melaju setiap tiga menit, dengan kapasitas penumpang bisa mencapai 600 ribu orang per hari.
Dengan adanya monorel yang berbahan bakar listrik, sehingga amat ramah lingkungan, maka diharapkan polusi udara di Jakarta bisa turut terkurangi. Pelajaran dari Las Vegas, Amerika Serikat, pada tahun 2007 menunjukkan, sistem monorel di sana sudah membantu menghapus emisi sebanyak lebih dari 58 ton karbon monoksida (CO), senyawa organik volatil (VOC), dan nitrogen oksida (NOx) selama setahun. Adanya monorel di sana memang sanggup mengurangi laju kendaraan sejauh 3,2 juta mil di jalan raya utama Southern Nevada.
Monorel juga memakai roda karet yang tidak berisik saat dipakai melintas di atas rel beton. Ini merupakan kelebihan monorel dibandingkan MRT dan KRL Commuter Line yang memakai roda besi dan berjalan di atas rel besi pula, sehingga menimbulkan polusi suara. Sepertinya monorel memang pas untuk Jakarta. Moda transportasi ini hanya membutuhkan ruang kecil untuk tiang-tiang penyangganya.
Monorel juga bisa didesain untuk mengatasi belantara beton ibukota. Moda ini bisa dibawa menanjak, menurun, berbelok lebih tajam dan cepat dibanding kereta biasa. Utamanya lagi, monorel juga aman karena keretanya yang seakan memegang erat jalur rel. Jalur monorel yang berada di atas jalan raya untuk menghindarinya dari ancaman tabrakan dengan pejalan raya dan pengendara lainnya. Menurut catatan the monorails society di Amerika, dari sebanyak 2 miliar pengguna monorel di seluruh dunia, angka kecelakaannya ternyata masih 0.
Selain itu monorel juga menguntungkan secara bisnis. Dengan pengelolaan yang tepat dan efisien, kita bisa mengambil contoh Tokyo-Haneda Monorail yang sudah beroperasi sejak 1964. Layanan ini dimiliki oleh swasta dan terus menghasilkan keuntungan setiap tahun. Begitu pula The Seattle Center Monorail, yang dibangun tahun 1962, dijalankan oleh swasta pula dan sanggup memberikan pajak signifikan setoran ke pemerintah kota Seattle. Belakangan, kota-kota berpenduduk padat di seluruh dunia terus mengembangkan monorel.
Ambil contoh Mumbai dan Chennai di India, Beijing dan Xi’an di Tiongkok, Bangkok (Thailand), dan Sao Paolo (Brasil). Di sini, monorel juga bisa diharapkan mampu meningkatkan daya saing ekonomi Indonesia. Jakarta sebagai pusat ekonomi Indonesia dinilai sudah tidak efisien dan efektif untuk berbisnis. Di kota ini, mobil hanya melaju dengan kecepatan rata-rata 8,7 kilometer per jam! Dan setiap hari, setiap orang terpaksa membuang waktu setidaknya dua jam hanya untuk beperjalanan.
Kesemrawutan, kemacetan dan banjir memiliki opportunity cost yang tinggi terhadap bisnis. Pusat Penelitian Pusat Pengkajian dan Pengembangan IPB (P4W) Institut Pertanian Bogor menyatakan, kesemrawutan Jakarta mengakibatkan merosotnya daya saing Jakarta sebagai kota bisnis di mata Internasional. Jika ini terus berlangsung maka Jakarta bisa kehilangan daya saing bisnis dan ekonomi di tahun 2030 (Ernan Rustiadi, 2010).
Selain itu, berdasarkan data Kadin DKI yang didapatkan dari kajian Universitas Indonesia di akhir tahun 2013, kerugian ekonomi akibat kemacetan di Jakarta ini setiap tahunnya berkisar Rp12,8 triliun. Sementara, monorel lebih murah dibangun dan dirawat dibanding kereta bawah tanah. Jika ada monorel, dan moda transportasi massal ini berkembang di Jakarta, maka setiap orang bisa merasa lebih nyaman hidupnya. Waktu bisa dialokasikan secara lebih produktif.
Manfaat lain dari proyek monorel adalah terciptanya lapangan kerja. Tak kurang dari seribu pekerja baru akan terserap dalam proyek ini. Monorel juga bisa membuat Jakarta tidak lumpuh saat banjir. Jakarta, sebagai kota pesisir, rentan pada tingginya curah hujan dan peningkatan permukaan laut. Kedua hal itu merupakan penyebab banjir yang mampu melumpuhkan kota.
National Geographic dalam laporan akhir tahun 2013 menyatakan Indonesia sebagai kota kesebelas rawan banjir dari 101 negara yang disurvei di dunia. Ini berarti sampai 20 tahun ke depan Jakarta tetap rawan banjir. Monorel dengan jalur menggunakan tiang penyangga, memberikan solusi bagi masyarakat agar bisa bertransportasi saat banjir.
Dengan banyaknya manfaat dari monorel, kebijakan membangun monorel harus segera dimulai. Kita harus melihat monorel ini sebagai suatu kesatuan sistem transportasi massal di Indonesia. Monorel adalah salah satu penyangga dalam sistem tersebut yang ke depannya diharapkan sistem transportasi massal di Jakarta akan kian besar dengan berbagai pilihan yang memudahkan warga Jakarta.
Jika kita masih bercita-cita menjadi negara besar dan sejahtera, kita harus bisa melepas vesteddan political interest pribadi sebagai warga negara. Terakhir, untuk membuat Jakarta lebih baik, masyarakat Jakarta harus mementingkan kepentingan bersama dibanding kepentingan pribadi atau kelompok.
PRIMA GANDHI
Pengajar pada Departemen Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan FEM IPB
(nfl)