Menimbang ulang kekuatan leadership Jokowi

Sabtu, 22 Maret 2014 - 06:56 WIB
Menimbang ulang kekuatan...
Menimbang ulang kekuatan leadership Jokowi
A A A
PENETAPAN Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo sebagai calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) merupakan ikhtiar politik mutakhir dari partai ”Banteng Mencereng” untuk menawarkan kepemimpinan alternatif bagi perubahan Indonesia ke depan.

Tampilnya Jokowi dalam pentas perpolitikan Ibu Kota melalui Pilkada 2012 telah menempatkan dirinya di atas panggung politik yang strategis dan efektif untuk memengaruhi perilaku politik masyarakat di tingkat lokal maupun nasional. Kuatnya akses media di Ibu Kota, baik yang pro maupun yang kontra terhadap kekuatan politik Jokowi, secara langsung maupun tidak langsung telah membantu membesarkan namanya.

Hanya dalam jangka satu setengah tahun terakhir, kepemimpinan Jokowi di Jakarta ternyata berhasil menjadi medan pertarungan gagasan serta ajang pencitraan model kepemimpinan baru yang tidak elitis, menyatu dengan kawula alit, serta berusaha menjawab kebutuhan riil masyarakat di akar rumput. Kepemimpinan Jokowi itu telah menjadi eksperimentasi politik yang ternyata berhasil ”menyihir” persepsi dan perilaku politik publik.

Hal itu dibuktikan oleh hampir semua survei nasional, baik dengan metode kualitatif maupun kuantitatif, secara ‘istiqomah’ menempatkan nama Jokowi sebagai pemimpin alternatif yang dianggap paling mampu mengeluarkan Indonesia dari ketidakpastian masa depan bangsa pasca turbulensi politik di era reformasi yang terlanjur berkomitmen pada liberalisasi pasar dan demokratisasi.

Rekam jejak
Karakter, integritas, dan komitmen Jokowi dalam memimpin sistem birokrasi dan pemerintahan telah dibuktikan keberhasilannya di Surakarta semasa menjabat wali kota. Sementara setahun kepemimpinan di Jakarta, tidak sedikit sanjungan sekaligus kritik dialamatkan kepada pemerintahannya. Di sisi lain, tidak sedikit pula yang menilai model kepemimpinan Jokowi dianggap belum efektif mentransformasi mental dan watak birokrasi menjadi lebih sensitif, melayani, dan bebas dari praktik korupsi, baik yang skala kecil (petty corruption) maupun besar (big corruption).

Tudingan itu dibuktikan oleh masih banyaknya praktik pungutan liar yang menjadi bukti rendahnya tingkat kedisiplinan dan integritas jajaran pegawai di tingkat lokal. Tingginya tingkat ketergantungan pemerintahan DKI Jakarta terhadap Jokowi dan Ahok selaku figur pimpinan menjadi bukti bahwa transformasi watak birokrasi belum terjadi.

Kasus terakhir terkait pengadaan bus Transjakarta yang tidak sesuai standar kelayakan barang menjadi bukti betapa ketelitian dan akurasi kebijakan pemerintahan Jokowi masih tetap bisa dikelabui oleh berbagai kelompok kepentingan yang berkelindan dengan para elite birokrasi dan politisi di lingkungan pemerintahan setempat.

Rekam jejak kepemimpinan Jokowi pun masih dianggap kurang terkait dengan kemampuan mengelola konflik politik serta konflik antar-lembaga negara yang menyangkut aktoraktor kunci di sejumlah lembaga tinggi negara. Pengalaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang dianggap bimbang dan tidak sigap dalam menyelesaikan tragedi konfrontasi antara KPK dan Polri dapat dijadikan pelajaran.

Model kepemimpinan yang cenderung ”cari selamat” (face saving strategy) ala SBY membuat lembaga anti korupsi yang paling berintegritas di negeri ini terseok-seok dan hampir tumbang diterjang serangan para koruptor (corruptors fight back).

Sejumlah pihak menilai, Jokowi memiliki potensi yang sama dengan SBY ketika menghadapi fenomena konflik dan konfrontasi semacam itu. Jika ketegasan Jokowi bisa diaplikasikan pada ranah pemerintahan sipil, lalu apakah yang bersangkutan juga memiliki nyali besar tatkala aktor-aktor yang bermain itu berasal dari kekuatan militer?

Belum lagi kemampuan-kemampuan Jokowi dalam memainkan strategi diplomasi internasional secara cerdas, tanpa harus mengompromikan kepentingan nasional dan kedaulatan negara dalam berbagai sengketa, dalam politik internasional. Aspek-aspek itu belum pernah dijamah oleh Jokowi dalam kapasitasnya sebagai wali kota dan gubernur.

Terbatasnya saham politik Jokowi
Stabilitas pemerintahan sangat ditentukan oleh kuat atau lemahnya dukungan politik di parlemen. Berdasarkan sejumlah survei kuantitatif, Jokowi yang berasal dari PDI-P perjuangan memberikan efek boosting terhadap elektabilitas dan akseptabilitas politik PDI-P di kalangan masyarakat.

Kendati demikian, sekuat apapun PDI-P akan kerepotan untuk menjaga stabilitas parlemen jika Jokowi diusung dengan figur dari parpol yang sama. Karena itu, strategi koalisi menjadi keniscayaan. Selain itu, stabilitas partai pendukung juga tidak hanya dipengaruhi oleh loyalitas partai-partai koalisi yang berkomitmen memberikan dukungan politiknya di parlemen dan kabinet.

Pertanyaan mendasarnya, jika benar hasil-hasil survei itu terbukti validitasnya di mana Jokowi terpilih sebagai Presiden RI, lalu seberapa besarkah kekuatan Jokowi dalam memengaruhi arah kebijakan di internal PDI-P selaku partai penguasa (the ruling party)?

Harus digarisbawahi bahwa majunya Jokowi merupakan ikhtiar politik Ketua Umum PDIP Megawati yang berusaha menangkap aspirasi politik di internal partainya. Meskipun pada saat yang sama, pencalonan Jokowi ini juga dikabarkan menyisakan persoalan faksionalisme di tubuh PDI-P yang mengonsolidasikan kelompok yang tidak menyetujui pencalonan Jokowi.

Terlebih lagi, konon faksi penolak Jokowi adalah kelompok pendukung kemurnian dinasti politik Soekarno. Artinya, meski saat ini Megawati selaku jangkar kekuasaan PDIP merasa legawa mencapreskan Jokowi, tidak sedikit pula pihak-pihak yang selama ini menyandarkan afiliasi politik mereka ke anak-anak Megawati sebagai patron di internal partai untuk mengontrol atau bahkan mencari momentum tepat untuk” mengambilalih” tongkat kekuasaan itu kembali.

Di sinilah kedewasaan dan komitmen politik keluarga Megawati diuji, akankah mereka ”taqlid” pada ikhtiar politik Megawati ataukah tengah menyiapkan pembangkangan dengan memperalat para ”putra mahkota” yang telah disiapkan selama ini.

Terlepas daripada itu, patut digarisbawahi bahwa kekuatan politik Jokowi di internal partainya bukanlah variabel yang independent, melainkan variabel dependent. Artinya, kekuatan pengaruh Jokowi terhadap internal PDI-P sangat bergantung pada restu dan kalkulasi politik Megawati dan anak-anak biologisnya selaku pemilik ”saham utama partai”.

Maka, jika ke depan terjadi gesekan kepentingan antara Jokowi yang dipercaya publik hendak memperjuangkan clean government dan good government, dengan kelompok kepentingan lain di internal partainya yang berseberangan, maka krisis legitimasi dari partai penguasa (the ruling party) berpotensi terjadi.

Dalam konteks ini, posisi Jokowi sangat rentan (vulnerable) terhadap tekanan politik dari internal partainya. Situasi ini berpeluang menimbulkan instabilitas dan ketidakefektifan kinerja pemerintahan, mengingat akuntabilitas kekuasaan tertinggi dalam sistem presidensial berada di tangan presiden.

Lalu jika otoritas presiden itu ternyata cenderung dikendalikan oleh kelompok-kelompok kepentingan dari internal partai, maka tidak berlebihan jika stereotype Jokowi sebagai ”boneka politik” itu benar adanya.

AHMAD KHOIRUL UMAM
Kandidat Doktor Ilmu Politik di School of Political Science & International Studies, The University of Queensland, Australia, dan Peneliti Senior di Paramadina Public Policy Institute (PPPI), Jakarta
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0644 seconds (0.1#10.140)