Menolehlah pada Lapan
A
A
A
BELAKANGAN ini bangsa ini disuguhi sejumlah terobosan mengagumkan dalam bidang teknologi pertahanan.
Terobosan dimaksud bukan sekadar pada belanja besar-besar alutsista canggih, melainkan juga kemampuan anak bangsa untuk merekayasa dan membuat sejumlah alutsista guna mendorong percepatan pemenuhan minimumessential force (MEF). Salah satunya ditunjukkan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan).
Nama lembaga satu ini memang tidak begitu terkenal dibandingkan nama-nama BUMNIS seperti PT Dirgantara Indonesia (DI), PT Pindad, PT PAL, atau perusahaan swasta nasional yang kiprahnya dalam industri pertahanan sudah tidak diragukan lagi seperti PT Palindo Shipyard Batam dan PT Lundin di Banyuwangi.
Tapi jika ditelusuri, karya Lapan sebenarnya tidak kalah gahar dibandingkan nama-nama tenar di atas. Kabar terbaru yang disuguhkan, lembaga tersebut Maret ini menguji coba roket canggih yang mempunyai jarak tembak hingga 100 kilometer (RX-420).
Program yang digarap bareng PT DI dan Bahana tersebut merupakan pengembangan dari R-Han 122 yang diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada puncak Hari Teknologi Nasional, Agustus 2013 lalu.
Di luar roket untuk membawa satelit luar angkasa untuk membawa satelit nasional, Lapan diam-diam bersama TNI AU dan PT Dahana juga tengah menggarap rudal penangkis serangan udara (PSU) untuk jarak menengah. Jika program terwujud, PSU akan bernilai strategis untuk mendukung Sistem Pertahanan Udara Nasional (Sishanudnas), demi menanggulangi ancaman udara, terutama untuk melindungi objek vital, baik dari ancaman pesawat tempur maupun rudal.
Sejauh ini, TNI hanya dilengkapi PSU jarak pendek seperti Oerlikon, Starstreak, VL Mica, Grom, maupun TD 2000 yang jarak tembaknya antara 5–7 km. Sedangkan untuk jarak menengah, seperti HQ-16 dan BUK-M2E, baru tahap wacana. Apalagi untuk jarak jauhnya.
Selain alutsista, Lapan ternyata sudah banyak meluncurkan karya seperti Lapan Surveillance Aircraft (PK-LSA01) yang beberapa waktu diluncurkan, pesawat tanpa awak (Lapan Surveillance UAV-LSU), Satelit LAPAN A1 (LAPAN TUBSAT yang dilanjutkan dengan Satelit LAPAN A2,Satellite Early Warning System (Sadewa).
Bahkan, Lapan juga berperan penting dalam pengembangan N219, yang rencananya akan dilanjutkan dengan program N245 dan N270. Dengan melihat begitu strategisnya posisi Lapan, semestinya bangsa ini memberikan perhatian lebih bangsa tersebut.
Perhatian dibutuhkan karena faktanya sejauh ini dukungan pendanaan, khususnya untuk riset, sangatlah minim. Misalnya untuk alokasi pengembangan roket, Lapan mendapat anggaran Rp10,5 miliar (2011-2012), Rp11 miliar (2013-2014), dan Rp42 miliar (2014- 2015).
Lapan memang juga mendapat suntikan dana dari sumber lain, misalnya dari TNI AD yang mengalokasikan anggaran Rp3,5 miliar. Alokasi dana pengembangan roket memang menunjukkan peningkatan. Tetapi secara teoretis, untuk dana research and development yang melibatkan inovasi dan material sangatlah membutuhkan keleluasaan dana.
Kecilnya anggaran tersebut tentu sangat ironis bila dibandingkan dengan alokasi anggaran yang sifatnya hura-hura, seperti dana kunjungan kerja dan kegiatan tetek bengek yang dilakukan eksekutif maupun legislatif.
Mempertimbangkan posisi strategis, karya nyata yang ditunjukkan, serta perkembangan lingkungan dunia, semestinya pemerintah memahami bahwa Lapan tidak bisa diperlakukan biasa. Lapan harus dijadikan center of excellence, termasuk untuk mendukung kemandirian alutsista sebagai salah satu elemen penting national power. Harapan ini tidak akan tercapai secara maksimal jika anggaran yang diberikan jauh dari memadai.
Terobosan dimaksud bukan sekadar pada belanja besar-besar alutsista canggih, melainkan juga kemampuan anak bangsa untuk merekayasa dan membuat sejumlah alutsista guna mendorong percepatan pemenuhan minimumessential force (MEF). Salah satunya ditunjukkan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan).
Nama lembaga satu ini memang tidak begitu terkenal dibandingkan nama-nama BUMNIS seperti PT Dirgantara Indonesia (DI), PT Pindad, PT PAL, atau perusahaan swasta nasional yang kiprahnya dalam industri pertahanan sudah tidak diragukan lagi seperti PT Palindo Shipyard Batam dan PT Lundin di Banyuwangi.
Tapi jika ditelusuri, karya Lapan sebenarnya tidak kalah gahar dibandingkan nama-nama tenar di atas. Kabar terbaru yang disuguhkan, lembaga tersebut Maret ini menguji coba roket canggih yang mempunyai jarak tembak hingga 100 kilometer (RX-420).
Program yang digarap bareng PT DI dan Bahana tersebut merupakan pengembangan dari R-Han 122 yang diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada puncak Hari Teknologi Nasional, Agustus 2013 lalu.
Di luar roket untuk membawa satelit luar angkasa untuk membawa satelit nasional, Lapan diam-diam bersama TNI AU dan PT Dahana juga tengah menggarap rudal penangkis serangan udara (PSU) untuk jarak menengah. Jika program terwujud, PSU akan bernilai strategis untuk mendukung Sistem Pertahanan Udara Nasional (Sishanudnas), demi menanggulangi ancaman udara, terutama untuk melindungi objek vital, baik dari ancaman pesawat tempur maupun rudal.
Sejauh ini, TNI hanya dilengkapi PSU jarak pendek seperti Oerlikon, Starstreak, VL Mica, Grom, maupun TD 2000 yang jarak tembaknya antara 5–7 km. Sedangkan untuk jarak menengah, seperti HQ-16 dan BUK-M2E, baru tahap wacana. Apalagi untuk jarak jauhnya.
Selain alutsista, Lapan ternyata sudah banyak meluncurkan karya seperti Lapan Surveillance Aircraft (PK-LSA01) yang beberapa waktu diluncurkan, pesawat tanpa awak (Lapan Surveillance UAV-LSU), Satelit LAPAN A1 (LAPAN TUBSAT yang dilanjutkan dengan Satelit LAPAN A2,Satellite Early Warning System (Sadewa).
Bahkan, Lapan juga berperan penting dalam pengembangan N219, yang rencananya akan dilanjutkan dengan program N245 dan N270. Dengan melihat begitu strategisnya posisi Lapan, semestinya bangsa ini memberikan perhatian lebih bangsa tersebut.
Perhatian dibutuhkan karena faktanya sejauh ini dukungan pendanaan, khususnya untuk riset, sangatlah minim. Misalnya untuk alokasi pengembangan roket, Lapan mendapat anggaran Rp10,5 miliar (2011-2012), Rp11 miliar (2013-2014), dan Rp42 miliar (2014- 2015).
Lapan memang juga mendapat suntikan dana dari sumber lain, misalnya dari TNI AD yang mengalokasikan anggaran Rp3,5 miliar. Alokasi dana pengembangan roket memang menunjukkan peningkatan. Tetapi secara teoretis, untuk dana research and development yang melibatkan inovasi dan material sangatlah membutuhkan keleluasaan dana.
Kecilnya anggaran tersebut tentu sangat ironis bila dibandingkan dengan alokasi anggaran yang sifatnya hura-hura, seperti dana kunjungan kerja dan kegiatan tetek bengek yang dilakukan eksekutif maupun legislatif.
Mempertimbangkan posisi strategis, karya nyata yang ditunjukkan, serta perkembangan lingkungan dunia, semestinya pemerintah memahami bahwa Lapan tidak bisa diperlakukan biasa. Lapan harus dijadikan center of excellence, termasuk untuk mendukung kemandirian alutsista sebagai salah satu elemen penting national power. Harapan ini tidak akan tercapai secara maksimal jika anggaran yang diberikan jauh dari memadai.
(nfl)