Adinegoro show: Dinamika jurnalistik televisi
A
A
A
HARI Pers Nasional (HPN) selalu dirayakan dengan meriah tapi tak menimbulkan gairah. Para insan pers, termasuk penerbit media, hanya memanfaatkan kala memperoleh hadiah jurnalistik. Berita kemenangan sendiri di medianya sendiri.
Padahal HPN punya jejak sejarah karya dan pemikiran tentang dunia jurnalisme. Tulisan ini mencoba mengingatkan bahkan masih ada dinamika besar yang bisa diberi bentuk perwujudan—kecuali kalau maunya berhenti di basa-basi. Nama Djamaluddin Gelar Datuk Marajo Sutan, segera dikenali jika ditambahkan nama pena, Adinegoro. Nama Adinegoro menemukan bentuk konkret dalam gelaran Anugerah Jurnalistik Adinegoro, yang berupa trofi, piagam, dan sejumlah uang yang diberikan kepada hasil jurnalistik terbaik sepanjang tahun.
Tadinya hanya diberikan kepada penulis—bukan hanya wartawan yang tergabung dalam organisasi wartawan, pada media cetak. Kini juga diberikan untuk media televisi, juga media cyber. Terjadi transformasi besar yang tidak disadari sepenuhnya, meskipun dirayakan secara nasional dan resmi setiap memperingati Hari Pers Nasional.
Tim
Adinegoro, meninggal di usia 63 tahun pada tahun1967, barang kali tidak menduga namanya juga diabadikan untuk penghargaan jurnalistik televisi— media yang belum berkembang saat itu. Wartawan yang gigih, pembuat peta, juga menulis novel, perokok yang disesali anak-anaknya, adalah nama besar dan mendasar dalam dunia jurnalistik.
Rumusan tentang hubungan pers-pemerintahmasyarakat masih menjadi acuan hingga kini. Meskipun kini unsur pasar juga menakar dunia media kita. Hingga layak dan pantaslah namanya menjadi inspirasi lewat trofi dalam penulisan tajuk rencana, berita berkedalaman, depth news, kemudian juga karikatur— beliau juga suka menggambar sketsa dan fotografi.
Kemudian kategori jurnalistik radio dan jurnalistik televisi. Sebelum kemudian juga dikaitkan penghargaan khusus untuk kategori hiburan dan jurnalistik cyber. Khusus untuk kategori jurnalistik televisi, sangat menarik dicermati.
Terutama dari segi proses kreatif berbeda sekali dengan yang terjadi pada media cetak. Pada karya televisi tidak mungkin dilahirkan dari satu atau dua atau tiga atau empat individu. Karena, sejak menentukan ”film statement”, ide dasar, sampai pembuatan skrip melibatkan banyak orang, demikian pula saat berproduksi, dan pascaproduksi berupa editing atau mixing.
Dinamika kerja keroyokan atau tim dalam kerja sama mempunyai peran yang sangat besar. Alasan kedua, kategori jurnalistik televisi bisa menjadi acuan, perbandingan dalam membuat program acara yang mendidik, menarik dan melirik ke-Indonesiaan.
Mengingat perkembangan acara televisi–yang jumlahnya lebih dari 1.400 nama program dalam sebulan, banyak menimbulkan keluhan, pertanyaan, atau gugatan. Setidaknya 50 karya yang dilombakan tahun ini menepis anggapan bahwa acara di televisi hanya soal nyanyi bersama, menjadi banci, menyihir, dan mencari jodoh semata.
Ternyata, banyak program yang senonoh, bagus, kokoh, dan terutama membicarakan—dalam istilah saya—dua dari tiga kerisauan masyarakat. Baik kurangnya air, kurangnya bidan, masalah di daerah perbatasan, curanmor, hutan yang menjadi kebun kelapa sawit, yang disajikan secara cerdas, bernas, dan menyodorkan gagas jalan keluar.
Show
Justru karena pentingnya penghargaan untuk menjadi pembanding, untuk melihat rel yang benar, satu Adinegoro setahun tidak mencukupi. Perlu trofi lain, apakah Piala Ishadi SK–atau Andy Noya, atau Karni Ilyas, apakah Najwa Shihab– atau nama-nama yang mewarnai dunia pertelevisian di negeri yang perkembangannya tak ada kontrol sama sekali. Nama-nama yang mempunyai pengaruh dalam program, yang barang kali tak terwadahi dengan nama Adinegoro. Apa yang disajikan Andy Noya melalui Kick Andy sungguh menggugah perhatian.
Kepiawaian menangkap aktualitas secara cerdas muncul dalam sajian Mata Najwa. Program yang disajikan seminggu sekali– kadang dengan reruns, putar ulang, memberikan informasi sekaligus informasi.
Mewarnai dan membuktikan bahwa masyarakat kita cukup cerdas dan menjadi lebih cerdas, tanpa melalui hantu yang begitu mudah hidup lagi, wajah ibu yang memaksa menantu menggugurkan kandungan, atau jenis ”ibumu, babuku juga, sekaligus simpanan suamiku”, atau model YKS dan variannya.
Lebih dari itu semua, namanama keren itu membuktikan programnya tak kalah diminati dalam hitungan rating/sharing, pembagian penonton yang menonton acara tersebut dibandingkan yang menonton acara lain pada jam yang sama.
Pendekatan ini sekaligus menyadarkan bahwa mekanisme dinamis antara media cetak dan media televisi sangat berbeda. Pada media televisi, unsurshow, unsur pamer, unsur memikat, melekat untuk diperhitungkan setiap detik atau menitnya.
Bahkan, dari nama acaranya menggunakan unsur kata show, bukan wawancara biasa melainkan talk show, bukan bisnis biasa melainkan bisnis show, bukan berita biasa melainkan news show, bukan menggambarkan realitas biasa melainkan reality show. Di mana unsur penyangatan, penajaman, dragging, menjadi penting.
Ini yang membedakan era di mana Adinegoro melakukan tugas jurnalistiknya dengan era di mana Tuty Adhitama berada atau era Najwa sebagai acuan eksplorasi berikutnya. Rasa-rasanya Dewan Pers dan lembaga terkait tidak rugi memberi apresiasi tinggi pada nama-nama yang berpengaruh— yang tak mungkin mendapatkan dengan bentuk program yang sekarang ini, dan atau menjadikan nama penghargaan.
Setidaknya dibandingkan nama Piala Vidia— piala tertinggi untuk sinetron, yang diberikan bersamaan dengan Festival Film Indonesia,– yang tak jelas arti namanya selain nama yang dipakai seorang pramusaji di sebuah bar. Memaknai Piala Adinegoro untuk televisi saat ini adalah menghimpun dan memberikan contoh bagaimana kerja jurnalistik televisi telah melangkah jauh—tanpa meninggalkan unsur jurnalistiknya, dan berada dalam situasi yang berbeda.
Menjadikan karya-karya mereka sebagai tanda pencapaian, adalah memberi arahan perkembangan pertelevisian yang baik, benar dan boleh dilaksanakan. Mereka yang telah membuktikan komitmen besar ini rasa-rasanya perlu mendapat apresiasi lebih, justru karena dinamika yang dilahirkan melampaui batasan-batasan bentuk penghargaan yang dimuliakan, Adinegoro.
ARSWENDO ATMOWILOTO
Budayawan
Padahal HPN punya jejak sejarah karya dan pemikiran tentang dunia jurnalisme. Tulisan ini mencoba mengingatkan bahkan masih ada dinamika besar yang bisa diberi bentuk perwujudan—kecuali kalau maunya berhenti di basa-basi. Nama Djamaluddin Gelar Datuk Marajo Sutan, segera dikenali jika ditambahkan nama pena, Adinegoro. Nama Adinegoro menemukan bentuk konkret dalam gelaran Anugerah Jurnalistik Adinegoro, yang berupa trofi, piagam, dan sejumlah uang yang diberikan kepada hasil jurnalistik terbaik sepanjang tahun.
Tadinya hanya diberikan kepada penulis—bukan hanya wartawan yang tergabung dalam organisasi wartawan, pada media cetak. Kini juga diberikan untuk media televisi, juga media cyber. Terjadi transformasi besar yang tidak disadari sepenuhnya, meskipun dirayakan secara nasional dan resmi setiap memperingati Hari Pers Nasional.
Tim
Adinegoro, meninggal di usia 63 tahun pada tahun1967, barang kali tidak menduga namanya juga diabadikan untuk penghargaan jurnalistik televisi— media yang belum berkembang saat itu. Wartawan yang gigih, pembuat peta, juga menulis novel, perokok yang disesali anak-anaknya, adalah nama besar dan mendasar dalam dunia jurnalistik.
Rumusan tentang hubungan pers-pemerintahmasyarakat masih menjadi acuan hingga kini. Meskipun kini unsur pasar juga menakar dunia media kita. Hingga layak dan pantaslah namanya menjadi inspirasi lewat trofi dalam penulisan tajuk rencana, berita berkedalaman, depth news, kemudian juga karikatur— beliau juga suka menggambar sketsa dan fotografi.
Kemudian kategori jurnalistik radio dan jurnalistik televisi. Sebelum kemudian juga dikaitkan penghargaan khusus untuk kategori hiburan dan jurnalistik cyber. Khusus untuk kategori jurnalistik televisi, sangat menarik dicermati.
Terutama dari segi proses kreatif berbeda sekali dengan yang terjadi pada media cetak. Pada karya televisi tidak mungkin dilahirkan dari satu atau dua atau tiga atau empat individu. Karena, sejak menentukan ”film statement”, ide dasar, sampai pembuatan skrip melibatkan banyak orang, demikian pula saat berproduksi, dan pascaproduksi berupa editing atau mixing.
Dinamika kerja keroyokan atau tim dalam kerja sama mempunyai peran yang sangat besar. Alasan kedua, kategori jurnalistik televisi bisa menjadi acuan, perbandingan dalam membuat program acara yang mendidik, menarik dan melirik ke-Indonesiaan.
Mengingat perkembangan acara televisi–yang jumlahnya lebih dari 1.400 nama program dalam sebulan, banyak menimbulkan keluhan, pertanyaan, atau gugatan. Setidaknya 50 karya yang dilombakan tahun ini menepis anggapan bahwa acara di televisi hanya soal nyanyi bersama, menjadi banci, menyihir, dan mencari jodoh semata.
Ternyata, banyak program yang senonoh, bagus, kokoh, dan terutama membicarakan—dalam istilah saya—dua dari tiga kerisauan masyarakat. Baik kurangnya air, kurangnya bidan, masalah di daerah perbatasan, curanmor, hutan yang menjadi kebun kelapa sawit, yang disajikan secara cerdas, bernas, dan menyodorkan gagas jalan keluar.
Show
Justru karena pentingnya penghargaan untuk menjadi pembanding, untuk melihat rel yang benar, satu Adinegoro setahun tidak mencukupi. Perlu trofi lain, apakah Piala Ishadi SK–atau Andy Noya, atau Karni Ilyas, apakah Najwa Shihab– atau nama-nama yang mewarnai dunia pertelevisian di negeri yang perkembangannya tak ada kontrol sama sekali. Nama-nama yang mempunyai pengaruh dalam program, yang barang kali tak terwadahi dengan nama Adinegoro. Apa yang disajikan Andy Noya melalui Kick Andy sungguh menggugah perhatian.
Kepiawaian menangkap aktualitas secara cerdas muncul dalam sajian Mata Najwa. Program yang disajikan seminggu sekali– kadang dengan reruns, putar ulang, memberikan informasi sekaligus informasi.
Mewarnai dan membuktikan bahwa masyarakat kita cukup cerdas dan menjadi lebih cerdas, tanpa melalui hantu yang begitu mudah hidup lagi, wajah ibu yang memaksa menantu menggugurkan kandungan, atau jenis ”ibumu, babuku juga, sekaligus simpanan suamiku”, atau model YKS dan variannya.
Lebih dari itu semua, namanama keren itu membuktikan programnya tak kalah diminati dalam hitungan rating/sharing, pembagian penonton yang menonton acara tersebut dibandingkan yang menonton acara lain pada jam yang sama.
Pendekatan ini sekaligus menyadarkan bahwa mekanisme dinamis antara media cetak dan media televisi sangat berbeda. Pada media televisi, unsurshow, unsur pamer, unsur memikat, melekat untuk diperhitungkan setiap detik atau menitnya.
Bahkan, dari nama acaranya menggunakan unsur kata show, bukan wawancara biasa melainkan talk show, bukan bisnis biasa melainkan bisnis show, bukan berita biasa melainkan news show, bukan menggambarkan realitas biasa melainkan reality show. Di mana unsur penyangatan, penajaman, dragging, menjadi penting.
Ini yang membedakan era di mana Adinegoro melakukan tugas jurnalistiknya dengan era di mana Tuty Adhitama berada atau era Najwa sebagai acuan eksplorasi berikutnya. Rasa-rasanya Dewan Pers dan lembaga terkait tidak rugi memberi apresiasi tinggi pada nama-nama yang berpengaruh— yang tak mungkin mendapatkan dengan bentuk program yang sekarang ini, dan atau menjadikan nama penghargaan.
Setidaknya dibandingkan nama Piala Vidia— piala tertinggi untuk sinetron, yang diberikan bersamaan dengan Festival Film Indonesia,– yang tak jelas arti namanya selain nama yang dipakai seorang pramusaji di sebuah bar. Memaknai Piala Adinegoro untuk televisi saat ini adalah menghimpun dan memberikan contoh bagaimana kerja jurnalistik televisi telah melangkah jauh—tanpa meninggalkan unsur jurnalistiknya, dan berada dalam situasi yang berbeda.
Menjadikan karya-karya mereka sebagai tanda pencapaian, adalah memberi arahan perkembangan pertelevisian yang baik, benar dan boleh dilaksanakan. Mereka yang telah membuktikan komitmen besar ini rasa-rasanya perlu mendapat apresiasi lebih, justru karena dinamika yang dilahirkan melampaui batasan-batasan bentuk penghargaan yang dimuliakan, Adinegoro.
ARSWENDO ATMOWILOTO
Budayawan
(nfl)