Buta aksara moral
A
A
A
KETUA Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Din Syamsuddin dalam sebuah kesempatan pernah menyatakan bahwa bangsa ini telah terjangkit penyakit buta aksara moral (moral illiteracy).
Elemen bangsa ini seakan tidak mampu lagi membedakan antara benarsalah dan baik-buruk. Ungkapan tersebut terasa relevan untuk melukiskan kasus korupsi yang terus terjadi di negeri tercinta ini.
Padahal, pemerintah telah membentuk begitu banyak lembaga ad hoc yang berfungsi untuk memberantas korupsi. Salah satu lembaga anti rasuah yang kini menjadi harapan masyarakat adalah komisi pemberantasan korupsi (KPK).
Peningkatan jumlah kasus korupsi di antaranya dapat dibaca melalui pengumuman Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang menyatakan bahwa selama kurun 2004–2012 ada 173 dari 524 kepala daerah terlibat kasus korupsi.
Sebanyak 70% di antara kepala daerah itu telah dinyatakan bersalah dan dimasukkan penjara. Kasus lain yang menyita begitu banyak perhatian publik adalah suap impor daging sapi, Hambalang, Simulator SIM, Bank Century, dan cek perjalanan yang menyertai pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (DGS BI) Miranda Goeltom.
Kasus-kasus itu menunjukkan bahwa sebagai bangsa, kita telah mengalami buta aksara moral secara berjamaah. Koruptor di negeri ini dengan penuh percaya diri terus melakukan kaderisasi.
Mereka melibatkan sebanyak mungkin elemen masyarakat. Karena itu, tidak mengherankan jika latar belakang sosial koruptor kini pun sangat beragam; pengusaha, politisi, birokrat, aparat penegak hukum, TNI, Polri, dan elite agama. Pelaku korupsi juga merambah kelompok akademisi.
Penangkapan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini oleh KPK beberapa waktu lalu dapat menjadi contoh. Seperti diketahui, Rudi adalah guru besar dan akademisi ternama ITB. Bahkan, Rudi sempat dinobatkan menjadi dosen teladan. Jika yang dipersangkakan KPK terbukti, itu berarti akan menambah daftar kaum intelektual yang tersandung kasus korupsi.
Umumnya praktik korupsi yang melibatkan pejabat publik dilakukan dengan cara suap-menyuap, mark up dan mark down anggaran, serta penyalahgunaan jabatan. Ironinya, praktik korupsi di instansi pemerintahan pun dianggap sebagai fenomena yang biasa dengan dalih sudah sesuai ”prosedur”. Pola pikir ini jamak terjadi di lembaga-lembaga publik seperti eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Yang lebih menyedihkan, sistem sosial budaya di masyarakat pun menunjukkan sikap yang permisif dengan menganggap korupsi sebagai sesuatu yang wajar. Karena itulah, Mochtar Lubis dalam kata pengantar untuk buku Bunga Rampai Korupsi (1988) mengingatkan bahwa ekspresi korupsi telah mewujud dalam banyak budaya. Korupsi dikatakan telah bermetamorfosis dalam banyak wajah (multifaces).
Ekspresi korupsi dapat berbentuk tindakan menerima uang sogokan, uang kopi, uang lelah, uang rokok, salam tempel, uang semir, dan uang pelancar atau pelumas. Bahkan untuk mengelabui hukum, pemberian imbalan tidak langsung diberikan pada pejabat resmi, melainkan melalui istri, anak, menantu, kerabat, dan teman dekatnya. Budaya sogok atau suap merupakan salah satu ekspresi korupsi yang paling mudah dijumpai di masyarakat.
Budaya itu tumbuh subur karena masyarakat menyikapi suap-menyuap dengan cara yang berbeda. Sebagian menyatakan bahwa dalam kasus suap-menyuap tidak ada pihak yang dirugikan. Pihak yang disuap beruntung karena memperoleh tambahan penghasilan di luar gaji resmi. Pihak penyuap pun beruntung karena memperoleh kemudahan dalam mengurus persoalan. Sepintas jalan pikiran tersebut benar.
Tetapi jika direnungkan maka dalam kasus suap-menyuap itu yang paling dirugikan adalah sistem. Budaya suap pada saatnya dapat merusak sistem sehingga tidak berjalan sesuai tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Akibatnya hanya orang ”beruang” yang dapat menikmati pelayanan. Sistem pelayanan pun akhirnya dibangun dengan logika the rule of the rich, yakni untuk melayani orang-orang kaya.
Di antara faktor yang menyebabkan kurang berhasilnya program pemberantasan korupsi adalah karena gerakan antikorupsi dinilai belum memiliki konsep yang jelas. Pemberantasan korupsi juga mengalami kevakuman ideologi sehingga belum menjadi gerakan bagi seluruh komponen. Yang dimaksud ideologi dalam kaitan ini adalah seperangkat nilai yang digunakan sebagai arahan, justifikasi, alasan, dan keyakinan untuk mencapai tujuan.
Indikatornya, banyak orang yang berteriak-teriak anti korupsi saat masih berada di luar kekuasaan. Tetapi tatkala kekuasaan berada di genggaman, mereka pun tidak tahan godaan sehingga larut dalam budaya korupsi.
Budaya korupsi dengan berbagai ekspresinya kini tidak hanya urusan kaum elite. Masyarakat lapisan bawah pun mengenal berbagai budaya korupsi. Akibatnya, praktik korupsi tumbuh subur di tengah-tengah masyarakat. Ironinya, budaya korupsi terjadi dalam urusan yang berkaitan dengan kelahiran hingga kematian.
Itu dapat diamati dalam kegiatan yang melibatkan warga dan pejabat publik saat mengurus akta kelahiran. Begitu juga saat warga mengurus pemakaman anggota keluarganya, hampir semua aktivitas ini dijalani warga dengan cara yang dapat dikategorikan suap. Persoalannya, mengapa masyarakat begitu mudah terpengaruh budaya suap?
Pertanyaan ini dapat dijawab dengan merujuk hasil survei Universitas Paramadina Jakarta dan Lembaga Pride Indonesia (2010). Hasil survei itu menyatakan bahwa tipologi masyarakat kita termasuk yang paling mudah disuap. Survei itu dilakukan secara spesifik untuk menjawab pertanyaan mengapa praktek money politics dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) sulit diberantas.
Karakter mudah disuap itulah yang menjadikan budaya korupsi dengan segala ekspresinya sulit diberantas. Karena itulah, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa bangsa ini mengalami gejala moral illiteracy akut. Bahkan lebih ekstrem, Profesor Taufiq Abdullah menyatakan bahwa bangsa ini telah mengalami spiral stupidity (lingkaran kebodohan), yang melibatkan rakyat jelata hingga elit.
Meski korupsi telah merajalela tetapi karena masalah korupsi sama dengan problem ekonomi, politik, dan sosialbudaya lainnya, maka usaha untuk memberantasnya harus tetap digelorakan. Itu berarti pejuang antikorupsi tidak boleh bersikap fatalis, dengan menyatakan bahwa karena korupsi sudah begitu akut maka usaha memberantasnya akan sia-sia.
Agar budaya korupsi dapat diberantas, pejuang antikorupsi harus konsisten menjadikan korupsi dengan segala ekspresinya sebagai musuh bersama (common enemy). Inilah spirit ideologis yang harus terus disemai dalam hati satubari.
Komitmen ini penting agar pada saatnya negara kita terhindar dari penyakit moral illiteracy akut, apalagi jika penyakit itu dialami warga bangsa secara berjamaah. Kita berlindung pada Allah SWT dari sifat demikian.
BIYANTO
Dosen IAIN Sunan Ampel Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim
Elemen bangsa ini seakan tidak mampu lagi membedakan antara benarsalah dan baik-buruk. Ungkapan tersebut terasa relevan untuk melukiskan kasus korupsi yang terus terjadi di negeri tercinta ini.
Padahal, pemerintah telah membentuk begitu banyak lembaga ad hoc yang berfungsi untuk memberantas korupsi. Salah satu lembaga anti rasuah yang kini menjadi harapan masyarakat adalah komisi pemberantasan korupsi (KPK).
Peningkatan jumlah kasus korupsi di antaranya dapat dibaca melalui pengumuman Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang menyatakan bahwa selama kurun 2004–2012 ada 173 dari 524 kepala daerah terlibat kasus korupsi.
Sebanyak 70% di antara kepala daerah itu telah dinyatakan bersalah dan dimasukkan penjara. Kasus lain yang menyita begitu banyak perhatian publik adalah suap impor daging sapi, Hambalang, Simulator SIM, Bank Century, dan cek perjalanan yang menyertai pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (DGS BI) Miranda Goeltom.
Kasus-kasus itu menunjukkan bahwa sebagai bangsa, kita telah mengalami buta aksara moral secara berjamaah. Koruptor di negeri ini dengan penuh percaya diri terus melakukan kaderisasi.
Mereka melibatkan sebanyak mungkin elemen masyarakat. Karena itu, tidak mengherankan jika latar belakang sosial koruptor kini pun sangat beragam; pengusaha, politisi, birokrat, aparat penegak hukum, TNI, Polri, dan elite agama. Pelaku korupsi juga merambah kelompok akademisi.
Penangkapan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini oleh KPK beberapa waktu lalu dapat menjadi contoh. Seperti diketahui, Rudi adalah guru besar dan akademisi ternama ITB. Bahkan, Rudi sempat dinobatkan menjadi dosen teladan. Jika yang dipersangkakan KPK terbukti, itu berarti akan menambah daftar kaum intelektual yang tersandung kasus korupsi.
Umumnya praktik korupsi yang melibatkan pejabat publik dilakukan dengan cara suap-menyuap, mark up dan mark down anggaran, serta penyalahgunaan jabatan. Ironinya, praktik korupsi di instansi pemerintahan pun dianggap sebagai fenomena yang biasa dengan dalih sudah sesuai ”prosedur”. Pola pikir ini jamak terjadi di lembaga-lembaga publik seperti eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Yang lebih menyedihkan, sistem sosial budaya di masyarakat pun menunjukkan sikap yang permisif dengan menganggap korupsi sebagai sesuatu yang wajar. Karena itulah, Mochtar Lubis dalam kata pengantar untuk buku Bunga Rampai Korupsi (1988) mengingatkan bahwa ekspresi korupsi telah mewujud dalam banyak budaya. Korupsi dikatakan telah bermetamorfosis dalam banyak wajah (multifaces).
Ekspresi korupsi dapat berbentuk tindakan menerima uang sogokan, uang kopi, uang lelah, uang rokok, salam tempel, uang semir, dan uang pelancar atau pelumas. Bahkan untuk mengelabui hukum, pemberian imbalan tidak langsung diberikan pada pejabat resmi, melainkan melalui istri, anak, menantu, kerabat, dan teman dekatnya. Budaya sogok atau suap merupakan salah satu ekspresi korupsi yang paling mudah dijumpai di masyarakat.
Budaya itu tumbuh subur karena masyarakat menyikapi suap-menyuap dengan cara yang berbeda. Sebagian menyatakan bahwa dalam kasus suap-menyuap tidak ada pihak yang dirugikan. Pihak yang disuap beruntung karena memperoleh tambahan penghasilan di luar gaji resmi. Pihak penyuap pun beruntung karena memperoleh kemudahan dalam mengurus persoalan. Sepintas jalan pikiran tersebut benar.
Tetapi jika direnungkan maka dalam kasus suap-menyuap itu yang paling dirugikan adalah sistem. Budaya suap pada saatnya dapat merusak sistem sehingga tidak berjalan sesuai tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Akibatnya hanya orang ”beruang” yang dapat menikmati pelayanan. Sistem pelayanan pun akhirnya dibangun dengan logika the rule of the rich, yakni untuk melayani orang-orang kaya.
Di antara faktor yang menyebabkan kurang berhasilnya program pemberantasan korupsi adalah karena gerakan antikorupsi dinilai belum memiliki konsep yang jelas. Pemberantasan korupsi juga mengalami kevakuman ideologi sehingga belum menjadi gerakan bagi seluruh komponen. Yang dimaksud ideologi dalam kaitan ini adalah seperangkat nilai yang digunakan sebagai arahan, justifikasi, alasan, dan keyakinan untuk mencapai tujuan.
Indikatornya, banyak orang yang berteriak-teriak anti korupsi saat masih berada di luar kekuasaan. Tetapi tatkala kekuasaan berada di genggaman, mereka pun tidak tahan godaan sehingga larut dalam budaya korupsi.
Budaya korupsi dengan berbagai ekspresinya kini tidak hanya urusan kaum elite. Masyarakat lapisan bawah pun mengenal berbagai budaya korupsi. Akibatnya, praktik korupsi tumbuh subur di tengah-tengah masyarakat. Ironinya, budaya korupsi terjadi dalam urusan yang berkaitan dengan kelahiran hingga kematian.
Itu dapat diamati dalam kegiatan yang melibatkan warga dan pejabat publik saat mengurus akta kelahiran. Begitu juga saat warga mengurus pemakaman anggota keluarganya, hampir semua aktivitas ini dijalani warga dengan cara yang dapat dikategorikan suap. Persoalannya, mengapa masyarakat begitu mudah terpengaruh budaya suap?
Pertanyaan ini dapat dijawab dengan merujuk hasil survei Universitas Paramadina Jakarta dan Lembaga Pride Indonesia (2010). Hasil survei itu menyatakan bahwa tipologi masyarakat kita termasuk yang paling mudah disuap. Survei itu dilakukan secara spesifik untuk menjawab pertanyaan mengapa praktek money politics dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) sulit diberantas.
Karakter mudah disuap itulah yang menjadikan budaya korupsi dengan segala ekspresinya sulit diberantas. Karena itulah, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa bangsa ini mengalami gejala moral illiteracy akut. Bahkan lebih ekstrem, Profesor Taufiq Abdullah menyatakan bahwa bangsa ini telah mengalami spiral stupidity (lingkaran kebodohan), yang melibatkan rakyat jelata hingga elit.
Meski korupsi telah merajalela tetapi karena masalah korupsi sama dengan problem ekonomi, politik, dan sosialbudaya lainnya, maka usaha untuk memberantasnya harus tetap digelorakan. Itu berarti pejuang antikorupsi tidak boleh bersikap fatalis, dengan menyatakan bahwa karena korupsi sudah begitu akut maka usaha memberantasnya akan sia-sia.
Agar budaya korupsi dapat diberantas, pejuang antikorupsi harus konsisten menjadikan korupsi dengan segala ekspresinya sebagai musuh bersama (common enemy). Inilah spirit ideologis yang harus terus disemai dalam hati satubari.
Komitmen ini penting agar pada saatnya negara kita terhindar dari penyakit moral illiteracy akut, apalagi jika penyakit itu dialami warga bangsa secara berjamaah. Kita berlindung pada Allah SWT dari sifat demikian.
BIYANTO
Dosen IAIN Sunan Ampel Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim
(nfl)