Pemilu serentak minimalisir politik transaksional

Sabtu, 25 Januari 2014 - 07:33 WIB
Pemilu serentak minimalisir politik transaksional
Pemilu serentak minimalisir politik transaksional
A A A
Sindonews.com - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) serentak pada 2019, disambut baik oleh berbagai pihak.

Pengamat hukum dari Indonesia Law Reform Institute (ILRINS) Jeppri F Silalahi mengatakan, dengan adanya putusan ini, bisa menghemat biaya.

"Karena secara biaya jauh lebih hemat dan yang terpenting meminimalisir transaksional politik dalam penciptaan koalisi seperti yang terjadi selama pemilu belakangan ini," kata Jeppri saat dihubungi Sindonews, Jumat 24 Januari 2014, malam.

Seperti diketahui, pengujian UU tentang pemilu serentak yang diajukan Effendi Gazali ini telah selesai pada 14 Maret 2013. Pengujian UU tentang pemilu serentak itu dimohonkan sejak 10 Januari 2013.

Dalam pemohonannya, Pemohon beranggapan bahwa “Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD”, yang tercantum pada pasal 3 ayat (5) UU Pilpres bertentangan dengan pasal 22E ayat (1) UUD 1945.

Ketentuan ini mengatur penyelenggaraan pemilu menjadi dua kali pelaksanaan pemilu (tidak serentak) yakni, pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD serta pilpres.
Pemohon berpendapat, pelaksanaan pemilu yang lebih dari satu kali tersebut, telah menimbulkan banyak akibat yang merugikan hak konstitusional warga negara.

Pertama, kemudahan bagi warga negara untuk melaksanakan hak pilihnya secara efisien terancam. Kedua, dana untuk menyelenggarakan pemilu yang tidak serentak menjadi amat boros dan seharusnya digunakan untuk memenuhi hak konstitusional lain warga negara.

Original Intent ketentuan pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945, dapat kita temukan ketika anggota MPR yang menyusun Amandemen Konstitusi pada tahun 2001, dengan jelas menyatakan, pemilihan umum memang dimaksudkan untuk diselenggarakan lima tahun sekali (serentak) untuk memilih (sekaligus) anggota DPR, DPD, DPRD, serta presiden dan wakil presiden.

Sedangkan pasal 3 ayat (5) UU 42/2008 yang berbunyi, “Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD” bertentangan dengan original Intent Penyusun Konstitusi terutama pasal 6A ayat (2) dan pasal 22E ayat (1) dan ayat (2), sehingga harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Yusril tak setuju pemilu serentak 2019.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0202 seconds (0.1#10.140)