Pelajaran berharga perbankan dan tahun politik

Rabu, 22 Januari 2014 - 06:25 WIB
Pelajaran berharga perbankan...
Pelajaran berharga perbankan dan tahun politik
A A A
PADA 4 Desember 2013 Komisi Eropa menjatuhkan hukuman denda terhadap sejumlah grup bank utama dengan total senilai 1,7 miliar euro untuk kejahatan perbankan berupa kolusi dan manipulasi tingkat suku bunga.

Grup-grup bank tersebut di antaranya JP Morgan, Citigroup, dan HSBC didakwa selama bertahun-tahun memanipulasi suku bunga acuan Eropa dan Jepang. Pelajaran berharga (lessons learned) apa yang dapat dipetik? Kasus yang disebut sebagai megaskandal abad 21 itu mencuat di permukaan sekitar pertengahan 2012. Beberapa bank berskala global diduga telah menjalankan komitmen bersama dalam menetapkan suku bunga pasar uang antarbank di Eropa atau Libor (London interbank offered rate).

Meskipun kasus itu bersumber utama di London, otoritas keuangan AS juga ikut melakukan penyelidikan kasus tersebut. Perbankan nasional juga tidak lepas dari aneka kasus perbankan yang melibatkan baik bank lokal maupun bank asing.

Artinya, selama ini bank asing yang dianggap lebih prudent ternyata juga terlindas kasus. Tetapi, itu tidak berarti bank lokal tidak memiliki potensi risiko sama sekali. Tengok saja, kasus-kasus perbankan nasional juga telah menelan kerugian keuangan dari miliaran sampai triliunan rupiah.

Aneka pelajaran berharga
Lantas, pelajaran berharga apa saja yang patut dipetik dari megaskandal tersebut? Pertama, bertindak ekstrahati- hati. Indonesia akan menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu) legislatif dan presiden dan wakil presiden pada 2014. Pada hajatan politik itu semua pihak dituntut untuk kian memasang telinga dan hidung sehingga mampu mencium aroma yang tak sedap.

Apalagi, tugas, fungsi, wewenang pengaturan, dan pengawasan di sektor perbankan nasional telah beralih dari Bank Indonesia (BI) ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) efektif 1 Januari 2014. Dengan bahasa lebih bening, masa transisi itu penting untuk dikawal supaya OJK sanggup mengemban tugas yang amat berat. Betapa tidak, saat itu BI hanya mengawasi 121 bank umum ditambah sekitar 1.600 Bank Perkreditan Rakyat (BPR).

Sebaliknya, kini OJK mengawasi bukan hanya lembaga keuangan bank, tetapi juga lembaga keuangan, bukan bank yang semula dikawal Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam). Ingat, OJK dibentuk dengan tujuan supaya keseluruhan kegiatan pada sektor jasa keuangan dapat terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel; mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

Apa tugas utama OJK? OJK bertugas mengatur dan mengawasi kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan, pasar modal, asuransi, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya. “Lembaga jasa keuangan lainnya” adalah pergadaian, lembaga penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia, perusahaan pembiayaan sekunder perumahan, dan lembaga yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib.

Itu meliputi penyelenggara program jaminan sosial, pensiun, dan kesejahteraan, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai pergadaian, penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia, perusahaan pembiayaan sekunder perumahan, dan pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib, serta lembaga jasa keuangan lain yang dinyatakan diawasi OJK berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Karena itu, OJK dan BI dan bank nasional harus bertindak ekstrahati-hati. Mengapa? Lantaran banyak pihak memerlukan dana setinggi gunung untuk mengadu nasib dalam pemilu. Kedua, memberikan sanksi lebih berat. Ketika kasus perbankan lahir, sebagian pihak menuding BI tak mampu mengawasi dengan jitu.

Audit bank sentral terhadap bank nasional pada umumnya dilakukan hanya dua kali dalam setahun. Itu belum cukup. Dengan kalimat lebih lugas, waktu itu BI memang tidak dapat melakukan pengawasan setiap hari terhadap satu bank. Tetapi, itu bukan alasan untuk mengelak. Maka itu, bank nasional wajib pula melakukan audit internal dengan lebih awas. Bukan hanya itu, terkadang sanksi yang diberikan BI juga dianggap ringan.

Karena itu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang kini sedang menggodok revisi Undang-Undang Perbankan perlu mencermati ini. Sanksi harus lebih berat lagi sehingga dapat menimbulkan bukan hanya efek jera, tetapi juga jerih bagi bank bersangkutan dan bank lainnya. Ketiga, menghargai pembuka kasus (whistle blower).

Bank yang disebutkan berpartisipasi dalam kartel adalah Barclays, Deutsche Bank, RBS, Societe Generale, Credit Agricole, HSBC, JPMorgan, UBS, dan Citigroup. Hal yang menarik dari pengungkapan megakasus suku bunga Libor itu adalah Komisi Eropa yang merupakan Badan Eksekutif Uni Eropa menghapuskan dua bank UBS dan Barclays dari daftar terdakwa karena membantu dalam penyelidikan.

Dua bank tersebut seharusnya membayar hukuman denda paling besar yakni 2,5 miliar euro dan 690 juta euro. Ini sungguh baik bagi BI dan OJK untuk meniru pola penghargaan kepada pembuka kasus dan atau pembantu penyelidikan suatu kasus. Terlebih dalam melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan, OJK mempunyai empat wewenang.

Tugas itu meliputi wewenang pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank, wewenang pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank, wewenang pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, dan wewenang pemeriksaan bank.

Menu komplit. Keempat, membendung kejahatan perbankan dan keuangan. Meskipun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus memberantas tindak pidana korupsi, tindak pidana korupsi bagai tak surut.

Hasil korupsi itu kemudian dicuci habis antara lain melalui perbankan nasional. UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menitahkan bahwa yang dimaksud dengan pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsurunsur tindak pidana sesuai ketentuan dalam UU ini.

Untuk itu, BI telah meluncurkan Surat Edaran BI Nomor 15/21/DPNP tanggal 14 Juni 2013 tentang Penerapan Program Antipencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Bank Umum. Aturan ini terbit karena transaksi perbankan yang warna-warni itu dapat mengakibatkan bank nasional sangat rentan terhadap kemungkinan digunakan sebagai media pencucian uang dan pendanaan terorisme.

Bank nasional wajib membentuk Unit Kerja Khusus yang bertanggung jawab atas penerapan Program Antipencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme. Apa itu Unit Kerja Khusus (UKK)? UKK merupakan unit kerja yang bertanggung jawab atas penerapan Program Antipencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme. Unit ini akan berada di kantor pusat dan kantor cabang.

Dengan demikian, bank nasional amat diharapkan dapat bekerja sama dengan KPK dan mencegah pencucian uang dan pendanaan terorisme. Terlebih ketika bank nasional senantiasa melakukan revitalisasi penerapan manajemen risiko yang meliputi identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko. Kelima, menerapkan know your customer (KYC).

Ketika menemukan transaksi yang mencurigakan, bank nasional wajib menerapkan prinsip-prinsip KYC. Bagaimana kiatnya? Dengan menelusuri pengirim dan penerima transfer, asal usul dana, dan tujuannya. Sarinya, tidak asal kirim.

Berbekal aneka pelajaran dan langkah strategis demikian, bank nasional dapat terhindar dari potensi risiko kasus perbankan. Kondisi itu akan mendorong pertumbuhan ekonomi lebih bergairah sehingga mampu menekan tingkat pengangguran terbuka yang mencapai 9,22% per Agustus 2013.

PAUL SUTARYONO
Pengamat Perbankan & Mantan Assistant Vice President BNI
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1697 seconds (0.1#10.140)