Eko drainase untuk atasi banjir

Sabtu, 18 Januari 2014 - 21:00 WIB
Eko drainase untuk atasi banjir
Eko drainase untuk atasi banjir
A A A
BANJIR merupakan salah satu permasalahan yang terjadi di semua kota-kota Indonesia terutama antara Januari sampai Maret tiap tahunnya. Banjir di Jakarta tercatat mulai terjadi dari tahun 1976 dan berulang pada tiap tahun selanjutnya.

Banjir ini merupakan permasalahan serius, karena berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), lebih dari 50% bencana di Indonesia disebabkan oleh banjir. Sesungguhnya pemerintah telah melakukan berbagai tindakan untuk mengatasi hal tersebut. Namun karena pendekatan penyelesaiannya tidak terintegrasi dari wilayah hulu sampai hilir, beban yang harus ditangani sangat besar.

Menyelesaikan permasalahan banjir harus didasarkan pada konsepsi sederhana, berapa jumlah limpasan yang menyebabkan banjir dan berapa volume yang dibutuhkan untuk mengatasi jumlah limpasan yang besar tersebut. Banjir Jakarta bukan hanya berasal dari hujan di wilayah Jakarta melainkan dari wilayah hulu yaitu Bogor dan Depok. Penanganan banjir di wilayah hilir sampai saat ini belum menghasilkan pengurangan banjir secara signifikan, meskipun kanal banjir telah dimanfaatkan.

Sementara itu, permasalahan lokal DKI Jakarta adalah topografi wilayah DKI Jakarta yang relatif landai. Ada sekitar 40% wilayah DKI Jakarta yang berada di dataran banjir di sekitar 13 sungai seperti Kali Angke, Pesanggrahan, Ciliwung, Cipinang, Sunter, dll. Dengan intensitas hujan tinggi antara 2.000–4.000 mm setiap tahunnya dengan waktu hujan yang lama, kapasitas berbagai sungai yang melintasi Jakarta tersebut tidak cukup untuk menampung dan mengalirkan air ke laut.

Belum lagi sering kali terjadi pasang air laut yang menghalangi pengaliran air ke laut. Untuk menangani masalah ini, volume air yang besar akibat akumulasi limpasan dari hulu kemudian memunculkan berbagai alternatif penyelesaian seperti berbagai infrastruktur skala raksasa yang sedang dilaksanakan maupun telah direncanakan akan dilaksanakan.

Beberapa di antaranya sudah masuk dalam tahap pembahasan seperti great sea wall, bendungan raksasa, dan polder raksasa. Pertanyaannya, apakah bangunan-bangunan raksasa tersebut akan mampu mengatasi permasalahan debit air yang semakin lama semakin membesar akibat perubahan fungsi tata guna lahan serta implikasi perubahan iklim

Eko drainase
Saat ini di beberapa negara dunia sedang terjadi perubahan besar-besaran paradigma penanganan bencana alam. Pengalaman negara-negara maju membuktikan bahwa pendekatan rekayasa teknik murni di bagian hilir tidak mampu menyelesaikan permasalahan banjir dan genangan yang terjadi akibat permasalahan lokal, terus menerus terjadinya perubahan tata guna lahan dan berbagai aktivitas negatif manusia serta berbagai fenomena perubahan iklim.

Apabila paradigma lama penyelesaian banjir adalah “menjauhkan air dari manusia” dan “menjauhkan manusia dari air”, konsep baru drainase saat ini adalah “menyimpan air selama mungkin dan memanfaatkan air semaksimal mungkin”. Karena konsep yang lama ternyata menimbulkan banyak masalah dari kekeringan di daerah hulu pada musim kemarau hingga besarnya debit air yang harus dialirkan ke laut dalam waktu sesingkat mungkin agar tidak menimbulkan genangan sementara hujan adalah bagian dari siklus hidrologi yang tidak dapat diatur sesuai keinginan manusia.

Sementara rekayasa cuaca yang telah dilakukan di negara maju ternyata menimbulkan hujan asam dan permasalahan baru seperti cyclone (badai) dan sebagainya. Sejalan dengan berkembangnya pola pikir komprehensif dalam bidang drainase tersebut, di mana air tidak semata-mata harus dibuang melainkan sebagai aset lingkungan yang harus senantiasa dijaga kuantitas, kualitas serta keberlanjutannya di beberapa negara maju kemudian berkembang aplikasi baru drainase dalam berbagai macam konsep.

Beberapa di antaranya adalah Low Impact Development (LID) di Amerika Serikat dan Kanada, Sustainable Urban Drainage Systems (SUDS) di Inggris Raya, Water Sensitive Urban Design (WSUD) di Australia, dan Low Impact Urban Design and Development (LIUDD) di New Zealand dan Ecodrain di Indonesia. Hasil dari pelaksanaan konsep baru ini cukup menggembirakan.

Beberapa best practices aplikasi eko drainase ini di antaranya, di Frederick Country, Maryland, Amerika Serikat yang menggunakan sistem LID dan memberikan bonus kepada warganya melalui pengurangan pajak apabila mengaplikasikan sistem LID, terbukti mampu menangani 31% limpasan kota. Kota Boulder, Colorado yang mampu menangani limpasan hingga 80% dengan prinsip yang sama. Bahkan di Los Angeles, aplikasi sistem penampungan air hujan dari skala rumah dan diteruskan dengan penampungan melalui kolam-kolam retensi dan detensi baik di permukaan maupun di bawah tanah diklaim mampu menangani banjir bandang (flash flood) periode 100 tahunan.

Prinsip eko drainase
Karena sistem drainase baru ini sejalan dengan prinsip-prinsip keselarasan lingkungan maka sistem ini menangani banjir dengan cara yang lebih ramah terhadap flora, fauna maupun lingkungan. Pada prinsipnya terdapat empat tahapan yang harus diberlakukan dalam menangani banjir dan genangan dari wilayah hulu sampai hilir. Namun khusus untuk wilayah dengan karakteristik air tanah yang tinggi dibutuhkan perlakuan khusus dalam aplikasinya.

Prinsip pertama adalah menampung air sebanyak mungkin dan kemudian memanfaatkannya atau lebih dikenal dengan istilah pemanenan air hujan (rain harvesting). Pemanenan air hujan yang paling efektif dilakukan pada skala rumah tangga, melalui penampungan air hujan di tandon air di masing-masing rumah penduduk dan kawasan industri serta melakukan penanaman pohon dan tanaman di lingkungan perumahan.

Penampungan air diestimasikan mampu mengurangi beban limpasan dari masing-masing rumah penduduk hingga 40%, sementara penanaman pohon diestimasikan dapat mengurangi limpasan sebesar 14%, sehingga sisa limpasan dari tingkat rumah tangga yang harus ditangani tinggal 48%. Sisa limpasan tersebut dapat ditangani dengan prinsip-prinsip konvensional seperti pemanfaatan kembali waduk-waduk, rawa, situ dan sebagainya.

DKI Jakarta memiliki waduk dengan luas total 198,26 ha serta situ dan rawa di 23 lokasi dengan total luas 155,40 ha. Prinsip kedua adalah meresapkan air sebanyak mungkin ke dalam tanah melalui berbagai media seperti biopori, sumur resapan, dan sumur imbuhan. Namun, perlu diingat bahwa pemilihan jenis bangunan peresap ini harus dilandaskan pada prinsip-prinsip teknik. Misalnya penggunaan biopori pada wilayah dengan tanah lempung atau alluvial kurang sesuai karena kemampuan meresapkan air yang kecil dan berbeda dengan tanah pasir misalnya.

Prinsip ketiga adalah mengalirkan air melalui berbagai saluran air baik makro, penghubung hingga mikro. Dengan keberadaan tiga belas sungai dengan panjang 429,17 km dan saluran penghubung dan mikro sepanjang 13.595 km, apabila kapasitasnya terus dijaga maka dapat mereduksi limpasan yang mengakibatkan banjir di daratan Jakarta. Percepatan aliran juga dapat dilakukan dengan sarana dan prasarana pompa yang ada di DKI Jakarta yaitu air sejumlah 627 unit dengan total debit 406.512 m3/detik dan pintu pengendali banjir di 42 lokasi.

Dan, prinsip keempat adalah memelihara air. Apabila pada ketiga prinsip di atas berfokus pada segi kuantitas air, prinsip keempat ini berfokus pada penjagaan kualitas air agar air dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin sehingga flora maupun fauna dapat tetap hidup berdampingan dengan manusia. Pada prinsip inilah penggunaan teknologi seperti bioremediasi, fitoremediasi, penyaringan sampah, hingga larangan membuang sampah di saluran diberlakukan. Semoga dengan mencoba melaksanakan keempat prinsip pengendalian banjir dan genangan di atas, banjir di kawasan DKI Jakarta dan kota-kota lainnya dapat diatasi. Wallahualam.

DIAN INDRAWATI, ST, MT

Peneliti di Pusat Studi Sumber Daya Air ITB
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3904 seconds (0.1#10.140)