Partai Islam, sketsa buram 2014

Sabtu, 18 Januari 2014 - 18:05 WIB
Partai Islam, sketsa...
Partai Islam, sketsa buram 2014
A A A
BEBERAPA minggu terakhir ini, hasil survei menunjukkan tingkat elektabilitas partai Islam terus menurun. Survei Pol-Tracking Institute pada Oktober 2013 lalu menunjukkan bahwa total elektabilitas partai berbasis massa Islam tak lebih dari 15% dengan rincian: PKB 4,6%; PPP 3,4%; PKS 2,9%; PAN 2%; dan PBB 0,7%.

Artinya, gabungan (koalisi) Partai Islam tersebut masih kalah dengan PDIP (18,5%) ataupun Golkar (16,9%), dan juga belum mampu menembus presidential threshold 2014 sebesar 25% suara. Pun demikian dengan hasil survei terbaru Pol-Tracking Institute pada Desember 2013 yang menunjukkan Partai Islam masih kalah pamor: PKB 4,59%; PPP 4,50%; PKS 3,00%; PAN 2,67%; dan PBB 0,25%. Singkatnya, gabungan elektabilitas lima Partai Islam belum mampu mengungguli elektabilitas PDIP 22,44% pada survei Pol-Tracking Desember 2013 tersebut.

Dalam riwayat survei menjelang Pemilu 2014, kita akan sangat sulit menemukan elektabilitas partai Islam menembus dua digit. Walaupun, secara ideologi dan terlembaga di dalam AD/ART partai, sebenarnya hanya ada tiga partai Islam: PPP (AD/ART Bab II Pasal 2), PKB (AD/ART Bab III Pasal 4), dan PKS (AD/ART Bab I Pasal 2). Namun jika kita bicara basis massa, maka PAN adalah termasuk ‘partai Islam’ walaupun di dalam AD/ART berpijak pada nasionalisme religius (AD/ART Bab III). Partai peserta pemilu di luar partai parlemen saat ini, ada PBB yang juga melembagakan ideologi Islam (AD/ART Bab II Pasal 3).

Jika dihitung dari total kursi partai-partai Islam, hanya ada sekitar 21,61% dari jumlah kursi pada pemilihan umum tahun 2009. Dengan kata lain, tiga partai nasional teratas—Partai Demokrat (PD), Partai Golkar (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mampu memegang setidaknya 62,86% dari total kursi. Selanjutnya, kembali ke beberapa pemilu sebelumnya, naiknya partai Islam, dalam kondisi yang sama, total perolehan suara partai Islam pada pemilu 2004 adalah 38,1%, dan pemilu 1999 hanya mendapatkan 36,8%.

Artinya, hanya ada dua kutub ideologi partai (secara platformatis) di Indonesia yaitu partai berkecenderungan pada gagasan nasionalistis dan partai dengan mengambil gagasan Islam sebagai gerakan politik. Paling tidak dalam regulasi internal partai. Walaupun partai Islam muncul karena basis pembilahan sosial berdasarkan agama, rendahnya suara partai Islam di Indonesia menunjukkan bahwa demografi pemilih Indonesia tidak berpengaruh pada gagasan klasik Arend Lijphart (1968) soal consociational democracy.

Lijphart menyatakan bahwa peta demografi sosial sebuah negara merefleksikan peta demografi politik kepartaian di dalamnya. Sebagai misal, berdasarkan survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia dan majalah Tempo pada Pilkada DKI 2012 lalu, diketahui bahwa hanya 56% pemilih Hidayat-Didik (PKS) yang akan mengikuti elite partai untuk memilih Foke-Nara. Sementara 30% diketahui pasti akan memilih Jokowi- Basuki, dan sisanya belum memutuskan pilihan.

Ada perbedaan penting antara partai Islam saat ini dengan partai Islam era 1955. Dulu Masyumi dan NU menjadi poros kekuatan tersendiri, sehingga tercipta poros kekuatan politik nasional, Islam, dan komunis. Alhasil, kekuatan politik partai Islam hanya berlaku sepanjang politik aliran ala Clifford Geertz (1926-2006) dengan membagi demografi Indonesia menjadi santri, priyayi, dan abangan dalam ekspresi politik.

Sekarang era politik rasional. Kiai tidak lagi menjadi sumber legitimasi politik atas pilihan publik. Fakta kepartaian saat ini sangat berbeda dengan pemilu yang pertama kalinya diselenggarakan pada 1955. Pemilu 1955 menciptakan empat poros politik (baca: partai dengan perolehan suara dua digit), yaitu Partai Nasional Indonesia atau PNI dengan 22,32% suara, Masyumi dengan 20,92% suara, Nahdlatul Ulama dengan 18,41% suara, dan Partai Komunis Indonesia dengan suara 16,4%.

Fakta elektoral ini menunjukkan bahwa benar partai Islam adalah kekuatan politik, tetap dia belum bisa disebut memenangi Pemilu 1955. Setelah runtuhnya pemerintahan Soeharto, kelompok Islam hanya mampu diwakili oleh sosok presiden yaitu Abdurrahman Wahid pada akhir 1999, itu pun dipilih melalui parlemen, bukan melalui pemilihan langsung, dan berakhir sebelum periode resminya.

Dengan kata lain, partai Islam sebagai sebuah sayap politik tidak pernah menjadi partai yang memimpin setelah berakhirnya periode kediktatoran, partai Islam di Indonesia sebagai sebuah komunitas politik berkecenderungan menurun. Rendahnya elektabilitas partai Islam tersebut disebabkan oleh dua alasan penting. Pertama, secara internal masyarakat Islam tidak terkonsolidasi sebagai kekuatan politik tunggal, dan sejarah mencatat bahwa konsolidasi ini tak pernah berhasil sejak Indonesia lahir sebagai sebuah negara.

Masyarakat Islam secara kultural terfragmentasi sehingga ekspresi politik Islam menjadi lebih terfragmentasi. Era perjuangan, ada kelompok Islam pondok dan Islam sekolahan (Muhammadiyah), kini fragmentasi menjadi lebih variatif dengan adanya santri perkotaan (PKS). Jika secara kultural, terdapat kaum nahdliyin, dalam ekspresi politik akan berlipat ganda menjadi “nahdliyin Muhaimin” dan “nahdliyin Gus Dur”. Ekspresi politik Islam yang bersatu padu hanya terjadi beberapa waktu dalam kelembagaan nonpartai: Serikat Islam di bawah HOS Cokroaminoto, itu pun kemudian terpecah dengan adanya faksi SI Merah di bawah Semaoen.

Fragmentasi kultural melipatgandakan fragmentasi ekspresi politik masyarakat Islam, dan hal inilah yang menjelaskan partai politik Islam tak pernah menang dalam sejarah pemilu di Indonesia. Kedua, secara eksternal, banyaknya partai nasional yang hadir bukan dengan serta-merta memecah suara existing political party berbasis massa, tetapi juga mengambil ceruk suara dari massa partai Islam yang juga terpecah. Hal inilah yang menjelaskan partai Islam saat ini tidak pernah memperoleh angka elektabilitas dua digit atau di atas 10%, dan dalam sejarah kepartaian di Indonesia, partai Islam hanya mampu sampai di pemenang kedua (Masyumi pada pemilu 1955).

Di sisi lain, perilaku memilih publik yang terus bergeser dan bergerak ke tengah juga merupakan faktor eksternal yang menjelaskan kemunduran partai Islam. Publik pemegang hak pilih tidak terkonsolidasi sebagai segmentasi sosial dari partai Islam, perilaku memilih publik menjadi demikian kabur karena semua partai dianggap berperilaku sama: partai elit. Partai tidak sedang memperjuangkan preferensi politik Islam, dan perjuangan Islam bagi publik saat ini bukan menjadi prioritas utama dan tunggal.

Dalam perspektif pemilih, yang pertama adalah soal kesejahteraan dan keamanan. Sementara partai politik termasuk partai Islam berperilaku sama, memenangkan pemilu dan memperoleh kekuasaan (Strom, 1992), selesai sampai di situ. Sementara itu, secara ideologis, partai politik Islam Indonesia saat ini tetap berdiri dalam asumsi sebagai wakil konstituen tradisional, sedangkan muslim tradisional berpaling untuk memilih partai nasionalis.

Sehingga hal ini adalah penyebab menurunnya PKB dan PPP yang berasosiasi sebagai akomodator muslim tradisional di Indonesia. Dan, PKS sebagai wakil muslim moderat cenderung menjadi kelompok eksklusif yang mengumpulkan penduduk kota dan terpelajar. Alhasil, sayap Islam selalu yang menjadi nomor dua di tengah pluralitas politik yang cair. Partai Islam seolah akan berada dalam sekam jika tak menyadari fakta politik dan bergesernya bandul perilaku memilih publik saat ini.

ARYA BUDI
Manager Riset Politik Pol-Trancking Institute
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7839 seconds (0.1#10.140)