'Duka-suka' pariwisata Indonesia

Kamis, 09 Januari 2014 - 07:54 WIB
Duka-suka pariwisata...
'Duka-suka' pariwisata Indonesia
A A A
DARI 8–10 juta wisatawan asing yang berkunjung ke Indonesia setiap tahun, sebagian bukan karena semata-mata, utamanya, tertarik wisata Indonesia. Tentu terdengar agak aneh dan lucu. Jika tidak tertarik mengapa ke Indonesia. Bahwa tidak sedikit di antara mereka datang ke Indonesia mengunjungi para sahabat dekat, yaitu orang-orang Indonesia yang pernah mereka kenal, pernah bergaul, pernah hidup bersama dan bermakna bagi hidup mereka.

Ada juga untuk melakukan bisnis. Kunjungan itu mereka gandeng dengan kegiatan wisata di Indonesia. Di era Indonesia semakin maju, terbuka, dan banyak masyarakatnya go international, hubungan masyarakat Indonesia dengan masyarakat berbagai negara juga kian luas, erat dan meningkat, terutama dengan negara-negara maju.

Saling kunjung menjadi karakter kuat dalam ranah dan dinamika persahabatan antarbangsa itu. Jutaan orang Indonesia pernah berdomisili di luar negeri, sebagai pekerja, ikut keluarga atau pelajar dan mahasiswa. Mereka memiliki hubungan persahabatan erat dengan puluhan bahkan ratusan juta orang setempat, apalagi diaspora Indonesia. Langsung atau tidak, mereka akan bicara dan ikut mempromosikan Indonesia.

Gerbang Indonesia
Namun, amat disayangkan, tidak sedikit wisatawan asing, termasuk yang mempunyai sahabat orang Indonesia mempunyai catatan negatif dan merasa kecewa dari kunjungan mereka ke Indonesia. Contoh, kejadian 17 November 2013. Satu rombongan wisatawan dari negara bagian Arkansas, Amerika Serikat (AS) mendarat di Bandara Soekarno Hatta, Jakarta. Mereka hendak bertemu sahabat lama di Jakarta, orang Indonesia, sekaligus hendak berwisata.

Cerita indah tentang Indonesia, baik kemajuan pembangunan, ekonomi, toleransi antarumat, seni-budaya, keindahan alam, dan reformasi pelayanan publik, mendorong wisatawan AS itu untuk memutuskan segera berkunjung ke Indonesia. Tidak mudah meyakinkan mereka, apalagi harus terbang lebih 20 jam. Namun apa nak dikata, mereka sangat kecewa di bandara. Mereka bersama ratusan wisatawan internasional lain yang mendarat saat itu, harus antre hampir dua jam untuk melewati gerbang imigrasi. Ditambah lagi, mereka dicekik udara panas dan pengap di ruang yang mestinya berhawa sejuk itu.

Sesuatu yang hampir tidak pernah terjadi di mana pun negara di dunia. “We are at the airport, an hour now. The immigration line is not moving. It is very hot here”, tulis seorang wisatawan itu melalui HP kepada sahabatnya yang tengah menunggu di sebuah hotel berbintang di Jakarta.

Satu jam setelahnya, turis AS itu kembali mengirimkan pesan singkat, “Now loading bags into hotel van. See you soon”. Orang Indonesia itu sangatlah heran, kecewa, bahkan merasa sangat malu tentang pelayanan di negerinya. Ia pun berpikir keras, apa yang hendak ia katakan nanti saat berjumpa sahabatnya.

Saat menceritakan pengalaman mereka di lobi hotel, “No greet, no good face”, ucap wisatawan AS itu merujuk petugas imigrasi yang melayani mereka di bandara. “Inilah negeriku tercinta yang hendak menjadi tujuan utama wisatawan dunia,” kata orang Indonesia itu dalam hati sambil mengurut dada. Padahal, bandara adalah pintu gerbang utama Indonesia, bagi siapa saja. Kisah masuk Indonesia itu, bukanlah yang pertama, dan tidak seorang pun yang berani mengatakan itu untuk terakhir.

Jembatan Indonesia
Suatu ketika November 2013, sebuah pesawat terbang perusahaan pelat merah bersiap-siap take off dari Jakarta ke Yogyakarta. Pesawat itu penuh penumpang dan banyak sekali wisatawan asing di dalamnya. Apa selanjutnya yang terjadi?

Setelah penumpang boarding berdesak-desak karena tidak patuh aturan sementara petugas tidak berusaha menegakkan aturan itu, perlu waktu hampir dua jam duduk manis penuh gelisah di tengah hawa panas sebelum take off. Konon pesawat harus antre. Padahal lama terbang Jakarta–Yogyakarta hanya 1 jam 10 menit.

Namun, penumpang pesawat itu tentu masih “beruntung” dibanding penumpang pesawat rute Jakarta–Yogyakarta 27 Desember lalu yang setelah delay dua jam, kemudian boarding, lalu terpaksa turun lagi karena pesawat tidak bisa diberangkatkan. Mereka take off besok hari. Kemungkinan besar ada wisatawan asing di dalamnya.

Mereka juga beruntung dibanding penumpang pesawat yang bandara tujuan mereka diblokade Bupati Ngada, Nusa Tenggara Timur sehingga terpaksa mendarat di bandara kota lain. Kemungkinan besar ada juga wisatawan asing di dalamnya.

Kisah terbang tak sedap seperti ini, menjadi cerita bersambung tak berujung di negeri kita. Rutin, media pers menyuguhkan kepada kita berbagai kejadian terbang yang sangat mengusik rasa aman dan nyaman penumpang.

Padahal, pesawat terbang adalah “jembatan” kota dan pulau Indonesia, termasuk untuk wisatawan. Di Bali, etalase utama wisata Indonesia itu, ternyata juga banyak kejadian tak menyenangkan wisatawan asing. Gubernur Bali Made Mangku Pastika sendiri mengakui bahwa itu adalah fakta, baik di airport, pelayanan taksi, mobil sewaan, tour guide, serta pengemis dan gelandangan.

Masih segar pula dalam ingatan kita kecurangan petugas money changerdan penangkapan seorang wisatawan asing yang tidak memakai helm oleh polisi lalu lintas, yang keduanya dapat disaksikan orang di seluruh dunia melalui YouTube.

Liputan majalah Time 9, April 2011, “Holidays in Hell: Bali’s Ongoing Woes” sempat pula membuat kita marah besar karena hati kita panas dan perasaan tak nyaman membacanya. Sejumlah media di Indonesia minggu lalu bahkan menulis pula adanya tumpukan 15 ton sampah yang rutin memenuhi Pantai Kuta. Meski begitu, survei menunjukkan bahwa 81% wisatawan asing menyatakan akan tetap berkunjung lagi ke Bali. Itulah Bali, dengan kekuatan dan daya tariknya.

Benah diri
Pemerintah Indonesia dan swasta terus berupaya melakukan promosi pariwisata di luar negeri. Hasilnya, sektor pariwisata mampu memberi kontribusi 5% kepada GDP dan menyerap 8 juta tenaga kerja tahun 2012.

Perwakilan RI di luar negeri, KBRI dan KJRI, tercatat memberi kontribusi besar pula terhadap pertumbuhan pariwisata Indonesia, di tengah anggaran mereka yang sangat terbatas. Banyak kalangan di tanah air yang sebenarnya kurang memahami sepak terjang sekitar 130 perwakilan RI di luar negeri dalam mempromosikan wisata Indonesia.

Andai setiap perwakilan RI menyelenggarakan promosi wisata sedikitnya sekali saja dalam satu bulan, berarti dalam satu tahun penyelenggaraan kegiatan promosi wisata Indonesia di luar negeri 1.560 kali. Beberapa perwakilan RI bahkan menyelenggarakan promosi wisata lebih dari satu kali dalam sebulan.

Perlu dimaklumi, bahwa kegiatan promosi wisata Indonesia di luar negeri tidak senantiasa dalam bentuk pameran pariwisata tunggal atau dalam skala besar. Promosi wisata sering pula digandengkan dengan berbagai kegiatan lain di perwakilan RI.

Namun kenyataannya, promosi wisata di luar negeri yang sudah baik itu belum diimbangi kegiatan benah diri secara sempurna di dalam negeri, meski angka kunjungan wisatawan asing naik dari tahun ke tahun. Ekstremnya seakan kita sering menjual kebohongan di luar negeri karena apa yang kita sampaikan tidak selalu sesuai dengan kenyataan di dalam negeri.

Kita selalu menekankan pentingnya pelayanan wisata, paket wisata yang dipasarkan, pengembangan objek wisata khusus dan pembangunan infrastruktur. Namun kita sering lupa akan pentingnya pembinaan karakter, sumber daya manusia, rasa tanggung jawab bersama terutama terhadap mereka yang bersentuhan langsung dengan wisatawan dunia, utamanya para petugas di bandara atau yang bertanggung jawab atas manajemen penerbangan Indonesia. Seakan pariwisata menjadi tanggung jawab Kementerian Pariwisata saja, padahal tidak.

AL BUSYRA BASNUR
Pengamat Internasional
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0783 seconds (0.1#10.140)